Wednesday, November 26, 2008

Kolonialisme Jasa

Radhar Panca Dahana
Apa yang terjadi, ketika tiga minggu lalu terpetik berita dari Surabaya, ditemukan tujuh bayi (enam di antaranya tewas) yang dibuang ibunya karena alasan “tak mampu menghidupi”? Apa yang terjadi, dalam kontrasnya, ketika hampir sepanjang hari, mal, plasa dan jalan raya di pinggir hingga pusat Jakarta, dipenuhi manusia dan kendaraan, bahkan hingga kurang seminggu dari Lebaran?

Apa yang terjadi, saat –dunia sibuk melakukannya—rakyat di negeri ini sulit menciptakan perubahan yang bermakna lebih dari sekadar retorika? Apa yang terjadi, saat sebagian elit Indonesia mengalami disorientasi “apa yang terbaik bisa kulakukan untuk negeri ini?”, sementara sebagian lainnya sibuk menjadi drakula ekonomi bangsanya sendiri?
Barangkali tak ada jawaban tunggal untuk itu. Namun setidaknya, perlu diperhitungkan sebuah kemungkinan yang melihat manusia Indonesia –sebagai subyek tak berdaya dari semua hal di atas—telah terjebak dalam satu kondisi akut sebagai: korban. Tentu saja korban dari mesin gigantik perubahan dekade-dekade terakhir ini. Namun saya coba sedikit memperjelasnya dengan menyatakan: mereka adalah korban dari sebuah gejala (hipotetis) baru, bernama: kolonialisme jasa.
Kenyataan yang sama pahit dan kelamnya dengan bentuk penjajahan apa pun ini, mungkin dapat dijelaskan dengan sedikit menarik garis waktu ke belakang. Dimana kita mengenal dengan baik kolonialisme (modern) dengan slogannya: gold, gospel dan glory. Kolonialisme yang telah menenggelamkan ratusan bangsa di benua Asia dan Afrika dalam kegelapan selama ratusan tahun.Inilah kolonialisme tahap pertama, dimana terjadi pengalihan secara paksa dan kejam atas sumber-sumber daya natural, baik tangible maupun intangible, dari negeri kaya di dua benua itu ke negeri penuh keterbatasan alam Eropa. Hasilnya? Tentu saja, Eropa yang gemah ripah, yang segera mendominasi dunia, tak hanya dalam perdagangan, tapi juga politik, militer hingga kebudayaan.
Bentuk pertama kolonialisme itu kemudian mengalami keruntuhannya, ketika abad 20, dunia menyaksikan puluhan negara baru bermunculan, memerdekakan diri. Negara-negara muda yang umumnya tertatih (hingga saat ini) mengikuti bahkan meniru habis sukses para kolonialnya sendiri. Ini diakibatkan, antara lain, oleh bentuk kolonialisme kedua: kolonialisme produksi, khususnya pada bidang manufaktur.
Penjajahan Konsumsi
Dalam bentuk keduanya ini, kekuatan kolonial lama melanjutkan dominasi bahkan nafsu eksploatasinya dengan menggunakan logika industri (kapitalisme produksi). Eksploatasi dilakukan tidak lagi dengan merampas sumber-sumber natural, tapi dengan mengolahnya menjadi barang produksi (olahan) yang bernilai tambah.
Dengan pabrik-pabrik pengolahan berteknologi tinggi, kolonialisme kedua ini berlangsung dengan cara mengembalikan sumber natural terolah itu kepada negeri asalnya. Membentuk negeri-negeri asal itu sebagai gergasi pembeli (konsumen) yang memberi keuntungan nilai-tambah itu berlipat ganda ketimbang harga sumber natural mereka sendiri.
Dari proses ini, kita menyaksikan melambungnya kekayaan para kolonialis oksidental. Terlebih ketika di tingkat selanjutnya, kolonialisme dalam bentuk ini memindahkan pusat pengolahan (pabrik-pabrik) itu ke negara asal sumber daya, ke negeri jajahannya. Maka lengkaplah derita kolonial itu. Kita menghisap bumi dan diri kita sendiri, kita mengolahnya menjadi produk baru, lalu kita membelinya dengan rakus. Sementara sang kolonialis hidup nyaman menikmati udara bebas polusi pabrik, bebas keruwetan buruh, ngopi di kafe kota yang permai sambil menghitung profit yang melonjak. Ungkapan lama Bung Karno, “kita akan menjadi budak di negeri sendiri” sesungguhnya sudah lama terbukti. Dan sebagian kita mungkin menyadari. Sebagian besar tidak (peduli). Karena hidup kita sudah terjebak, sudah live in di dalamnya. Kolonialisme ini sudah taken for granted.
Penjajahan Jasa
Ketika sebagian dari negeri terjajah itu mulai memperlihatkan taringnya sendiri, dengan kemampuan produksi yang sama canggihnya –Korea, Brasil, Cina atau India belakangan— para kolonialis tradisional itu, setidaknya sejak era-80-an, mulai berpikir ulang. Menciptakan modus dan sistem baru untuk mempertahankan supremasi, kekuasaan kolonialnya yang ekspoatatif itu.Mereka tidak lagi mengandalkan moda produksi (pabrik-pabrik manufaktur) untuk meraih keuntungan, mengeruk kekayaan dunia jajahannya. Mereka menciptakan sebuah “nilai” (tambah) baru ke dalam semua produk itu: jasa. Pada tahap/bentuk kolonialisme baru ini, gergasi pembeli tidak hanya disodori produk bermutu tapi juga service, citra (image), gengsi (prestige) atau fitur-fitur yang menawan. Serangkaian produk yang abstrak/tak berwujud, yang ternyata meminta ongkos hingga hingga sepuluh kali lipat biaya pabriknya.
Kita mafhum, betapa perdagangan asbtrak dan virtual itu kini begitu luas varian terapannya. Dan dominan. Setidaknya 60% dari nilai perdagangan global saat ini dikuasai oleh perdagangan jasa. Bisnis keuangan juga perdagangan derivatif, dengan nilai triliunan dolar AS tiap tahunnya, tentu termasuk di dalamnya.
Dan sebagian besar negeri ketiga masih tergagap, saat moda kolonialistik terbaru ini menciptakan jerat sistemik yang sangat terukur, melalui WTO (Worl Trade Organisation) dengan anak kandungnya yang khusus mengurusi jasa, seperti GATS (Global Agreement on Trade and Services), serta beberapa derivat lainnya. Sebuah upaya cerdas untuk kembali menciptakan korban, yang bukan hanya tak sadar, tapi merasa “turut menikmati” bahkan ikut memperjuangkannya.
Maka demikianlah yang terjadi. Secangkir kopi yang dapat kita hirup panas-panas Rp 2.000 di sebuah kedai tradisional, kita bayar 1.000 % lebih mahal jika kita menikmatinya di mal atau plasa atau square. Begitupun saat kita membeli baju Lebaran, kebutuhan puasa, mengganti mobil, perangkat hi-fi, berwisata, berinternet, beli pulsa, hingga menyelenggarakan khitanan atau menyekolahkan anak kita.
Sebuah kenyataan yang kian terasa wajar. Sewajar kita antre untuk sepotong Bread Talk, untuk setor uang ke bank, untuk satu unit New Toyota Camry dengan harga indent, dan seterusnya. Untuk kenyataan-kenyataan dengan dampak seperti tergambar di awal tulisan ini. Sebagaimana bentuknya yang abstrak, soft, kolonialisme mutakhir ini memang lembut, sehalus cinta yang merasuki diri kita.

Tuesday, November 25, 2008

Pahalawan

Radhar Panca Dahana


Seusai Barack Hussein Obama menyelesaikan pidato kemenangannya yang indah, humanis, dan sarat visi, segera orang-orang dari pelbagai warna kulit, usia, golongan serta jabatan, juga –walau begitu anehnya—dari segala penjuru dunia, mengucurkan airmata haru. Sebagian dari mereka bahkan mendesiskan kata penuh harap dan makna, “he’s my hero”.

Begitupun saat Christopher Reeve turun di limousine-nya, seseorang yang selalu terharu saat Superman menyelamatkan nyawa yang terancam, menghambur padanya dan berseru, “you’re my hero”. Hero di sini, tentu bukan sebuah supermarket. Namun sebuah transendensi personal ke sebuah tingkatan dimana person itu memiliki kemampuan yang supra-human dalam menyelamat human(itas) dari ancaman kehancuran.

Manusia seperti itu bagaikan sebuah kantung ajaib yang bila dibuka isinya hanya pahala. Buah perbuatan yang semata bermakna kebajikan bagi banyak orang. Dan manusia berpahala, pahalawan inilah, yang akan mengisi indeks dan tinta tebal buku-buku sejarah. Sejarah yang sampai hari ini masih secara sempit, bahkan diskriminatif, mengategorisir pahala itu hanya pada satu-dua segmen atau dimensi hidup saja. Buku-buku sejarah itu, di mana-mana, juga di negeri ini, menderetkan puluhan hingga ratusan pah(a)lawan, semata dari kalangan mereka yang berjuang di lapangan politik dan militer. Mereka yang diakui melakukan perjuangan fisik, hingga dipenjara hingga disiksa, demi membela keberadaan dan kelahiran sebuah negara/bangsa.
Tiga nama yang beberapa hari lalu dianugerahi gelar “pahlawan nasional” oleh presiden negeri ini (Bung Tomo, M. Natsir, dan Abdul Halim) tentu saja memiliki riwayat patriotik semacam. Satu tradisi modern yang kita warisi, memproduksi perbendaharaan nama jalan nasional, dari kurun sejarah pendek, 30-40 tahunan di awal abad ini, di masa pergerakan dan perjuangan revolusi kemerdekaan.Setelah kurun waktu itu, mesin produksi itu mati. Tepatnya: tidak cukup memiliki alasan untuk terus berproduksi. Sementara dunia tumbuh dan mengembangkan pikiran dan standar hidup yang baru. Termasuk bagaimana seorang pahalawan harus diseleksi, diakui dan ditetapkan.
Sebagaimana ilustrasi kecil yang terlukis di awal tulisan ini.Pahalawan, atau pahlawan kita menyebutnya kerap, tidak cukup lagi dimaknai oleh kapasitas dan perjuangannya dalam merebut atau menciptakan kemerdekaan (sebuah bangsa). Tapi juga mereka yang mempertahankannya. Juga mereka yang mengisinya. Juga mereka mendedikasikan diri (dan mengorbankan kepentingan pribadinya) bagi kepentingan yang jauh lebih luas. Bagi mereka, dalam moral yang lebih luas, senantiasa berbuat demi keselamatan manusia, keselamatan spesies terbaik di semesta ini.
Maka, bukan saja Neil Arsmtrong, Ibu Theresa, Aung San Su Kyi, tapi juga Deng Xiao Ping, Mikhail Gorbachev, bahkan Hun Sen, Hugo Chavez hingga Bono, Bob Geldof, atau petani yang melubangi gunung demi pengairan sawah di kampungnya, atau jelata yang membakaukan ratusan hektar pantai yang terancam abrasi, adalah pahlawan. Mereka yang tiada hentinya melawan keterbatasan manusia, ancaman alam, dan kedegilan peradaban, yang semuanya mengancam martabat serta keberlangsungan makhluk paling kompleks ini.Pahlawan tak dapat lagi disempitkan oleh ukuran-ukuran apalagi kepentingan politik dan militer belaka. Siapa pun yang melakukan tindakan dengan kapasitas, kapabiltas dan jangkauan makna yang jauh lebih luas dari ruang dirinya sendiri, dalam segmen dan dimensi hidup apa pun, juga seorang pahlawan. Baik yang berbuat di lapangan ekonomi, akademik, agama, kebudayaan atau kesenian. Tanpa harus berembel-embel melawan musuh negara, dalam arti politik atau militer.
Dan berapa banyak nama yang harus berderet dalam pengertian itu. Yang secara diskriminatif kita nafikan. Figur seperti Sutan Takdir Alisjahbana, Chairil Anwar, Sudjojono, Affandi hingga Usmar Ismail atau Soedjatmoko, Rooseno, bahkan Tan Malaka atau Semaun, sesungguhnya cukup pantas mendapat martabat dan kehormatan itu. Bila Natsir dengan kontroversi “pengingkarannya” pada republik kita akui, dua tokoh terakhir –betapapun kontroversial pemikiran serta cara berjuangnya— juga memiliki jiwa dan tekad yang sungguh bulat dalam penciptaan kemerdekaan, penciptaan negara dan bangsa ini. Itu tak bisa ditolak. Sementara pikiran dan cara begitu relatif, sebagaimana relatifnya –katakanlah Suharto—dalam meraih kekuasaan.
Sejarah perlahan akan mendudukkan soal pada kursi sebenarnya. Tapi, negeri yang sudah menikmati kebebasan pikiran dan tindakan ini, yang sudah mencerna semua puncak peradaban mutakhir ini, masih saja tenggelam dalam ukuran-ukuran yang naif bahkan konyol. Pahlawan diakui dan digelarkan, setidaknya secara informal, justru pada mahasiswa yang tanpa sengaja melewati kumpulan demonstran dan mati tertembak peluru nyasar. Atau calon mahasiswa yang naif namun tewas karena kekejian seniornya. Atau mungkin koruptor besar, bahkan pengkhianat negara, yang karena berdana besar tampil kerap seperti selebritis dalam kampanye televisi. Bila sudah demikian rendah apresiasi dan cara kita menakar pahlawan, dan akhirnya mereka yang pantas memimpin negeri ini, bagaimana kemudian kita dapat menakar diri sendiri, menakar negeri sendiri, masa depan kita sendiri. Banyak sungguh pekerjaan mental yang harus jalani. Tanggungjawab –yang ironisnya—tak bisa lagi kita tuntut pada elit, pemimpin: mereka yang semestinya paling bertanggungjawab pada ini negeri. Cuma kita, kita yang jelata, mesti menjawab ini semua.

Wednesday, November 19, 2008

Bienvenue

Ini halaman orang yang gaptek. Belum tahu benar memfungsikannya. jadi pelan-pelan. Mau memberi saran? Terima kasih sekali. Pokoknya: mari kita bertemu di dunia virtual, dunia abstrak dimana segala kemungkinan menjadi mungkin...