Wednesday, December 31, 2008

Buku Saya


Berikut ini beberapa buku saya yang sudah beredar. Dapatkan di toko buku kesayangan Anda...




Monday, December 29, 2008

Demokrasi Negatif

Jika abad ke-20 ditandai oleh souvenirs yang berisi penemuan-penemuan luar biasa dan mencengangkan, yang membuat hidup manusia menjadi lebih mudah, nikmat, dan tak terduga, maka paruh awal milenium ketiga ini ditandai oleh berbagai kecemasan hingga ketakutan yang mencekam. Sebagian adalah hasil negatif atau ekses souvenirs itu, sebagian lagi memang tampak (bahkan terbukti) direkayasa, sengaja maupun tidak oleh peradaban yang bagiannya sudah out of control ini.

Umumnya kita kini merasa terancam oleh pemanasan global, yang telah mengubah iklim hingga pola hidup. Kita pun dicekam oleh munculnya penyakit-penyakit mematikan yang belum ada presedennya (sebagian diyakini sebagai rekayasa genetik yang jadi bagian dari uji coba senjata kimia), mulai AIDS, ebola, hingga flu burung belakangan ini. Beberapa perang dan ketegangan regional --buah konstelasi politik baru pasca-Perang Dingin-- seperti terjadi di Afghanistan, Irak, Iran, Korea Utara, dan terakhir Georgia-Rusia juga turut menciptakan kecemasan yang kelamaan menjadi global sifatnya.
Belum lagi kisruh-kisruh yang diakibatkan oleh sistem perdagangan tak adil, kerapnya bencana alam, kriminalitas modern, dan sebagainya, menandai awal abad ke-21 ini dengan global fearness yang tak pernah terbayangkan sebelumnya. Masih ada satu hal yang paling mencekam, seolah belati yang mengancam urat leher kita, sebuah istilah yang kini begitu populer, bahkan menyaingi kata demokrasi dan pasar bebas --dua mantra ajaib adab modern-yakni: terorisme.
Distribusi informasi, fakta-data, propaganda, slogan, dan retorika seputar terorisme yang dilansir pihak tertentu membuat masyarakat dunia menghadapi terorisme seperti pandemi yang tiap saat dapat datang dengan aksi yang mematikan.
Hal menarik terjadi ketika umumnya masyarakat dunia memafhumi, terorisme modern ini sesungguhnya tak lebih dari satu image atau ikon yang direkayasa Amerika Serikat demi memenuhi ambisinya menjadi "penguasa dunia", great kingdom atau bangsa penakluk (sebagaimana tertulis di banyak buku sejarah). Mereka membutuhkan musuh, karena mereka membutuhkan perang, karena bisnis perang (dan senjata di dalamnya, tentu) adalah bisnis dunia (baca: mereka) nomor satu. Karena perang juga menjaga semangat progresif, kompetitif, dan persatuan rakyat mereka. Terorisme direkayasa ternyata hanya sebagai bagian dari strategi national interest mereka.
Namun, betapapun kita mafhum, kita tetap tercekam karenanya. Tetap bereaksi positif karenanya. Tetap mengikuti logika dan paradigma insinuatifnya. Bahkan begerak mendukungnya, moral-material, militer-politik, bahkan kultural. Dan terorisme pun hidup di sekujur pori kenyataan kita sehari-hari. Seperti makan siang, sinetron malam, atau koran pagi yang menggelisahkan jika ia tak datang.
Maka, sebenarnya jadilah Amerika Serikat (bersama strategi, national interest, terorisme, dan berbagai rekayasa citranya) sebagai bagian utama dari kecemasan atau ketakutan itu: ia telah menjadi teror itu sendiri. Bagaimana tidak, jika berbagai kebijakannya di belakangan tahun telah menempatkan Amerika dalam posisi yang diametral oposisional dengan mayoritas publik dunia. Ia seperti merasa berhak menetapkan aturan dan ketentuan sendiri, walaupun itu bertentangan dengan kesepakatan multilateral dalam fora global apa pun: PBB, Bank Dunia, WTO, dan sebagainya.
Maka teror Amerika itu pun melanda kita, melalui dunia perdagangan, seperti enggannya ia melepas subsidi bagi petani mereka sendiri --sebagaimana yang lucunya ia tuntut pada banyak negeri berkembang. Teror penolakan mereka pada Protokol Tokyo tentang pengurangan "efek kaca" sebagai penyebab pemanasan global. Teror Amerika dalam aksi-aksi militer pre-emptive yang diterapkan membabi buta tanpa kesepakatan multilateral. Teror politik yang memaksakan gaya demokrasi Amerika pada negeri-negeri demokratis lainnya. Teror Amerika dalam rekayasa konflik regional dan penciptaan kompetisi senjata di banyak belahan dunia.
Betapa degil, egoistik, sewenang-wenang, dan --sebenarnya-- "kurang ajar"-nya aturan yang seakan melihat manusia lain di luar rumah sendiri sebagai pesakitan, sebagai alien, monster, makhluk purba tiada guna itu. Ameika Serikat kini sungguh telah menjelma menjadi ancaman gergasi dan gigantik melebihi ancaman teror yang ia fiksikan sendiri. Dan marilah kita amati, berbagai hal, souvenirs abad ke-21 ala Amerika itu, diproduksi oleh sebuah negeri yang meklaim dirinya sebagai panutan demokrasi, penghasil dan pengolah demokrasi terbaik di atas bumi ini.
Hasilnya, ternyata, adalah adab-adab negatif, yang menegasikan sekian banyak norma dan nilai kemanusiaan yang disepakati dunia dalam berbagai wadah multilateral. Mengangkangi adab yang umumnya manusia akui sebagai dasar pemanusiaan kita di tengah ketandusan robotik dunia teknologi. Tapi Amerika Serikat tak peduli. Bagi mereka, semua menjadi tak penting. Termasuk demokrasi. Apa pun akan baik jika positif bagi mereka. Tak peduli ia jadi negatif bagian liyan, bagi lainnya.
Demokrasi negatif, karenanya, telah menjadi souvenirs terpenting yang akan diingat anak-cucu kita.

Radhar Panca Dahana
Pekerja seni
Perpektif, Gatra Nomor 48, Beredar Kamis, 16 Oktober 2006]

Dunia Teror yang Diteror


Radhar Panca Dahana


BETAPA gagah dan heroik saat Presiden Amerika Serikat (AS) George W Bush menyerukan, "perang terhadap terorisme", beberapa saat setelah terjadi tragedi WTC New York setahun lalu. Tidak kita sadari, bersamaan dengan itu sebenarnya telah dideklarasikan satu "musuh baru" bagi dunia, lewat salah satu propaganda paling dahsyat sepanjang sejarah modern Bumi ini.
Boleh jadi, musuh baru ini tidak lain adalah antitesis baru bagi kapitalisme Amerika, yang sengaja direkayasa bukan untuk dihancurkan, tetapi lebih untuk mengekalkan, memberi alasan-alasan baru, atau memperkuat institusi-institusi dari kapitalisme gaya Amerika itu.
Model penciptaan lawan, musuh atau antitesis secara sengaja macam ini, bukanlah hal baru dalam sejarah politk, ekonomi, dan kebudayaan di bumi ini. Keberadaan lawan tak perlu dicemaskan, justru dibutuhkan untuk menjadi alasan pembelaan atau pertahanan diri. Ketika lawan atau antitesis tiada, justru eksistensi protagonis atau tesis jadi kian diragukan. Lawan atau musuh memang kerap perlu ditemukan, direkayasa jila perlu. Begitulah kisah serikat buruh pada akhirnya, fasisme di masa Perang Dunia II, Blok Timur di masa Perang Dingin, Poros Setan, dan sebagainya.

Betapa licinnya Cina saat berkelit menghindar dari logika sadis yang penuh perangkap. Dengan memainkan diplomasi "musuh baru" negara adidaya itu, setelah runtuhnya Uni Soviet, Cina berhasil tidak menjadi sekutu sekaligus musuh yang secara diametral berhadapan dengan AS.
Namun, tidak semua negeri secerdik Cina dengan pengalaman politik ribuan tahun. Sebagian besar negara di dunia, mau tak mau terseret kampanye besar AS itu dengan gaya reaksi masing-masing. Ada yang tergesa mendukung, ada yang berpura-pura atau menjilat, ada yang retorik, ada yang putus asa dan tak kuasa. Satu hal yang banyak tidak kita sadari, kampanye war on terorrism ini sebenarnya telah menebar teror sendiri, bahkan sebelum teror atau teroris yang sesungguhnya berhasil diindentifikasi.
Lewat operasi intelijen, di-plomasi politik, ekonomi, bahkan budaya yang dilakukan AS dan para pendukungnya, berkait dengan teror-teroran ini, masyarakat di banyak negeri dibuat begitu waspada bahkan amat waspada. Seolah teror dan teroris sudah menginjak halaman depan bahkan kamar tidur kita. Hingga bungkusan berisi buku, atau plastik sampah dapat membuat ratusan orang dan sepasukan polisi tegang. Bukan karena bungkusan atau tas plastik, namun karena kata kerja teror itu. Kata kerja yang merasuk, tersosialisasi bahkan terinternalisasi dengan baik, mulai dari anak SD hingga pengemis di sudut kota. Dunia dan hidup telah menjadi teror, sebelum kita tahu apa teror itu sendiri, apakah teror itu ada atau tidak.
Siapa yang dirugikan dalam kondisi ini? Siapa pula yang diuntungkan? Tak perlu banyak kecerdasan untuk bisa menjawabnya.

BAGI sebuah negeri seperti Indonesia, dunia teror semacam itu lebih banyak mengundang kerugian ketimbang manfaat. Dalam hitungan angka kuantitatif maupun kualitatif, teror yang imanen membutuhkan semua cost alias harga yang belum tentu terbayar anak cucu. Karena dunia teror yang tercipta sebenarnya sudah bertunas cukup lama. Keruwetan hidup di segala lapisan, kemunduran dan kekurangan di semua lapangan, bahkan kekacaubalauan cara berpikir masyarakat dan elitenya, sudah menciptakan teror tersendiri bagi rakyat kebanyakan.
Ketika pengangguran meningkat drastis, penghasilan merosot di hadapan kenaikan harga-harga, anggota DPR dan DPRD berbagi uang rakyat dalam jumlah menakjubkan, suap milyaran rupiah masuk kantung mereka yang dipilih rakyat untuk membela rakyat, dan koruptor besar masih bebas mengonsumsi kendaraan mewah jutaan dollar. Tidak hanya harapan yang habis dan kecewa, pikiran tak berdaya untuk bekerja. Hidup tidak lagi sekedar ganjil dan menyangkal logika, tetapi semua yang menyimpang akal didesak untuk diterima sebagai kebenaran.
Maka, boleh jadi Presiden Megawati berseru "lautan luas kita asin beragam, kenapa kita masih mengimpor garam", mengapa kita membeli apa yang kita miliki sendiri. Di detik lain kita melihat gaya hidup Presiden dan menteri-menterinya yang tak bersahaja. Bukan hanya fasilitas negara yang diterima, dari minuman rapat kabinet, hotel yang disediakan, kendaraan, rumah dinas, hingga kemeja atau busana yang dikenakan (dapat disaksikan di televisi tiap hari) sungguh berkelas hartawan besar. Dunia kontras kalangan elite bukan cuma merestui kerancuan dan chaos-nya pikiran sehat publik, namun seperti mengesahkan penyimpangan yang dalam arti lain kriminalitas.
Tekanan hidup, terutama tekanan harga-harga selama puasa yang meningkat menjelang Lebaran, Natal dan Tahun Baru, tidak saja membuat hidup kian tak nyaman. Sungsangnya alam pikiran dan dunia psikis publik telah membuat hidup kian mencekam. Berita-berita yang penuh intrik, kepalsuan dan khianat setiap detik menghujam mata, hati dan kepala kita, seperti ancaman yang tiada habisnya. Menjadi semacam teror, ketika publik tak berdaya mengatasinya (sebagaimana pemahaman teror umumnya).
Oleh karena itu, ketika teror fisik terjadi dengan bom di Legian, Bali, amat mengherankan dan menyentuh hati, ketika masyarakat justru kalem-kalem. Tragedi yang membuat separuh dunia bangkit dari kursi, bahkan membentak dan memakinya, seperti hanya membuat senyum kecut di wajah rakyat negeri ini. Profesor I Made Bandem mengisahkan, dua peristiwa besar seni dan budaya bahkan diselenggarakan dengan rileksnya sesuai jadwal, dua hari setelah tragedi. Bom dahsyat itu seakan melulu "riak kecil" di gelombang pasang negeri riuh ini.
Barangkali hanya mereka di elite kekuasaan yang terganggu, nervous dan tergopoh-gopoh menyikapi tragedi itu. Barangkali itu yang diinginkan pelaku bom: orang yang nervous akan tergopoh, orang tergopoh keputusannya tak adekuat bahkan mudah diperalat. Namun, tidak bagi publik. Koran-koran mengisahkan, ancaman bom ada di mana-mana di Jakarta, namun pengunjung mal dan plaza tetap sibuk tak peduli. Sungguhkah kita lagi peduli teror? Atau kita dan hidup kita adalah teror itu sendiri? Untuk apa takut pada diri sendiri?

SAYANG, pemikir Nurcholish Madjid tak melanjutkan analisisnya saat ia mengetahui salah satu terkaannya yang mengenaskan terbukti. Dalam sebuah seminar, ia menyebut tiga kemungkinan pelaku bom Bali: dinas intelijen asing (yang tak mungkin terungkap kebenarannya sampai 30 tahun mendatang), atau jaringan teroris internasional, atau orang dalam sendiri. Jika kemungkinan ketiga yang terjadi, itu tragedi mengenaskan. Dan polisi ternyata menangkap Amrozi, WNI, sebagai pelaku.
Bagaimana "tragedi mengenaskan" itu adanya? Nurcholish mungkin tak perlu menjawabnya, karena siapa pun dapat menyuguhkan jawaban dengan kata-katanya sendiri. Dunia dan hidup yang telah menjadi teror, kini kita teror sendiri. Bagi yang optimistis, ini sebuah ujian berat. Bagi yang pesimistis, inilah malapetaka peradaban, di mana kita melulu jadi korban. Hal yang sama bagi keduanya, tak ada lagi siasat pemikiran yang cukup jernih untuk mengatasinya. Jika masyarakat di ambang frustrasi, inikah tragedi?
Sebuah ilustrasi, seorang mahasiswa sospol perguruan tinggi negeri saling ber-e-mail dengan penulis untuk menyatakan: "kebenaran yang ada adalah kebenaran lewat kuasa, lewat senjata, dan itulah alasan kita berjuang, sebagaimana alasan kita untuk kuat dan maju menjadi kewajiban kita bersama". Sebuah logika purba, tentu saja. Lebih dari 2.000 tahun, ribuan pemikir, filosof dan politikus coba memperbaikinya lewat ribuan jilid buku. Hasilnya adalah pemuda yang kembali dalam logika rimba, "yang kuat, dia menang", mengapa harus jadi rusa jika bisa menjadi singa.
Kita masih bisa berbahagia, karena sebagian akan mengatakan, itu hanya pendapat dan emosi sebagian orang. Sebagian lain? Macam-macam reaksinya. Seperti matematika, minus dikali minus menjadi positif, dunia teror yang diteror bisa jadi membuat kita arif. Membuat kita kian berani, bukan untuk melawan musuh atau menciptakan musuh diluar, namun mengenali dan melawan musuh di dalam sendiri.
Bisa saja momentum kita berani mengurus diri sendiri, dengan cara sendiri, oleh dia sendiri. Sebuah hak primitif yang kini makin direnggut oleh apa yang kita sebut "pergaulan internasional". Kita sama tahu, keberanian macam ini punya risiko tersendiri. Juga tak kalah hebatnya dengan perjuangan bersenjata, bahkan dengan dahsyatnya revolusi di masa lalu. Ramadhan kali ini datang diam-diam, sebagai waktu yang memberi ruang.

esai ini dimuat di Kompas

Saturday, December 13, 2008

ZIARAH COGITO

Radhar Panca Dahana
dataran melengkung yang kutapaki ini adalah: waktu.
sementara batubatu yang mengonggok,
keras, bebal, dan memantul cahaya itu adalah: kamu.
dan pasir yang menggenang mengembara tanpa gelombang, itulah: aku.
gelap dan matahari menjadi pintu kedua mataku, bahwa: kau di situ.

sejak dulu, sejak udara bergerak memberiku ombak,
menciptakan perjalanan
menawarkan kejutan dan perubahan.

ia membawa tujuan, bagai daun di udara: menyeret ombak ke tepian.
kukenal benar ia, seperti irama yang membuat pucuk cemara berdansa,
awan-awan melata, hingga
kuhapal lengkung dataran ini di tiap incinya.
kukenal benar ia, bahasa di mulutku yang terbuka.
kukenal ia, namanya cinta.
tapi kau, menatap selalu,
tak meliuk bersama lengkungan itu,
mengonggokan tak tentu,
kesombongan tak berirama,
melulu nama berdiam dan mengkhianati kami;
karena itu, tak pernah kau mengenalinya.
tanpa pernah kita jalan bersama
tiada pemah kita menikah.
bagiku, kau adalah keletihan bagi waktu, kau pemberhentian.
dan cinta mengenalmu sebagai bosan.
kau sibuk menciptakan jejak, memberi sebutan,
menghitung tiap nada yang kami nyanyikan,
menawarkan melulu keletihan dan kekaguman.
aneh ! bagi kami kekaguman adalah kita,
bagi kau adalah kau : jarak jarak-jarak
yang meluputkan kita selalu.

ahh... betapa menyusahkan, tiada habis kau sebar kesulitan.
bagaimana mungkin aku menolak kau;
kau menolak aku.
sementara lengkung waktu dan angin cinta memberiku selalu rindu.
begitupun kau;
biarpun kau tipu, kau tak mengaku

aku tahu, lengkung dan angin ini
menawarkan selalu: sabar dan kesetiaan.
aku tahu, biarpun angin dan lengkung ini
menggoyangku selalu : aku mesti menunggumu.
tahu, aku sangat tahu,
di tepi dataran ini, kita mesti bersama,
biar waktu pergi berlalu
biar cinta kabur tak tentu,
aku harus menunggumu
(sekali lagi) menunggumu.

Besancon, 1998