Monday, August 3, 2009

Seni Dalam Fatsoen Politik

radhar panca dahana

Berangsur-angsur, kebudayaan terangkat menjadi sup hangat dalam meja wacana kehidupan kita berbangsa, yang belakangan dipenuhi menu (nafsu) politik dan ekonomi saja. Betapapun di dalamnya masih tersimpan komprehensi dan apresiasi yang cukup dangkal, penambahan menu itu menunjukkan minat dan awal yang mengarah pada kesadaran: kebudayaan adalah salah satu kunci penyelesaian masalah bahkan masa depan yang diharapkan.
Kecenderungan yang pantas diapresiasi ini diperlihatkan, misalnya, pada Deklarasi Damai di antara para kontestan Pemilihan Presiden yang diselenggarakan KPU beberapa hari lalu. Dengan memberi waktu terbatas pada tiap kontestan menyuguhkan sebuah nomor kesenian di awal acara, mereka –para petinggi politik—tidak hanya memperlihatkan niat baik di atas. Namun juga memberi wajah unik pada praksis demokrasi kita, dan lebih jauh lagi, sebuah ambisi untuk memproduksi hidup politik yang lebih kultural, lebih beradab.

Namun, begitulah, sebuah refleksi selalu membayang di semua peristiwa publik semacam itu. Kebudayaan yang dipahami sebagai sebuah produk artistik itu, tidak hanya menunjukkan naifitas –dalam kematangan politik mereka—namun juga kekeliruan yang berpotensi merugikan –bahkan menghancurkan—kedua wilayah yang tengah berusaha menjalin honey moon-nya –setelah sekian lama bersitegang atau pisah ranjang—itu: kesenian dan politik.
Hal pertama tampak pada nomor-nomor kesenian yang disuguhkan para kontestan. Kubu Mega-Pro menghadirkan nomor kesenian dari Jawa Tengah, SBY-Boediono menampilkan tarian Melayu, dan JK-Win menghadirkan tarian yang lebih kontemporer. Mungkin ada “maksud” atau pesan tersembunyi di balik itu. Seperti usaha melepaskan citra “terlalu Jawa” bagi SBY-Boediono untuk meraih dukungan non-Jawa. Atau gambaran tentang progresivitas dan kegesitan modern bagi pasangan JK-Win.
Namun, apapun message yang samar dan sumir itu, ketiga kontestan dengan kuat menunjukkan kegagalan yang naif, untuk menyajikan sebuah nomor kesenian yang –setidaknya secara simbolik—mampu merepresentasikan realitas (karakter) dirinya. Atau mungkin realitas keindonesiaan, kenusantaraan, yang menjadi inti ideologis dari semua perjuangan politik.
Kesenian dalam performa atau pemahaman seperti ini pun tinggal menjadi aksesori atau manekin di dalam kaca etalase politik. Keindahan yang segera dapat diganti atau ditinggalkan begitu ia tidak lagi diperlukan. Sebagai buah dari kebudayaan, ia pun menyiratkan bagaimana kesulitan paradigmatis terjadi di kalangan pekerja politik dalam menempatkan kebudayaan (cq kesenian) dalam praksis kerja sehari-harinya. Honey moon itu tidak jua terasa manis, bahkan bisa eksploatatif dan destruktif.

Seni: Arsenal Politik

Kesulitan paradigmatis tersebut, adalah hal kedua dalam realitas relasional yang terlukiskan di atas. Baik kesenian dan politik tidak memahami bila mereka sesungguhnya bermain dalam wilayah kerja yang secara substansial berbeda arasnya. Bila politik lebih banyak bermain di tataran praktis, dimana kepentingan golongan (partai) menjadi pagar untuk menegaskan eksistensi, posisi diri, hingga siapa dan dimana kawan serta lawan. Maka kesenian, sebaliknya berada pada tataran simbolis, dimana kode-kodenya bermain meng’atas’i pagar-pagar kepentingan itu, dan bicara dalam sebuah nilai yang justru memersatukan. Bukan memisahkan, sebagaimana praksis politik.
Maka, jika kemudian kesenian masuk atau dimasukkan ke dalam pagar politik, secara otomatis ia telah diperangkap atau memerangkap dirinya. Ia terpenjara oleh tuntutan praktis yang akan kian mengerdilkan dirinya sendiri. Dalam logika politik, hal ini lumrah bahkan mungkin ia dapat menjadi taktik atau strategi yang jitu.
Sebuah sebuah kekuatan yang menakdirkan dirinya ke dalam konflik atau kompetisi yang frontal, politik membutuhkan berbagai peralatan tempur untuk memenangkan konflik/kompetisi itu. Kesenian pun dapat menjadi satu arsenal yang ampuh. Bukan hanya daya retorik dan simboliknya yang kuat dan tajam. Namun juga, ia bisa jadi tempat persembunyian yang aman untuk, misalnya, menutupi nafsu dan ambisi dominasi di balik apa yang disebut –katakanlah—licensia poetica. Semacam kebebasan (fakultatif) yang memberi ruang kreatif pada kesenian untuk bebas berekspresi tanpa ditelikung oleh batasan-batasan tradisi, konvensi, atau regulasi formal.
Tentu saja, pemanfaat lisensi dengan cara seperti itu adalah sebuah cara yang dangkal bahkan manipulatif. Ia tidak hanya mengancam kebebasan dan kekuatan kreatif seni itu sendiri, namun juga mendangkalkan hidup dan budaya politiknya pula. Lebih jauh lagi, ia akan menciptakan artifisialisasi dalam apresiasi hidup secara kolektif.

Sebuah ‘Fatsoen’

Kerugian atau destruksi yang potensial tercipta dalam relasi seni-politik, kebudayaan dan politik di atas, tentu saja bukanlah intensi umum yang kita harapkan dari sup panas kebudayaan di menu makan kita belakangan ini. Kebudayaan, dalam produk utamanya kesenian, dapat memainkan peran yang penting bahkan menentukan, ketika ia diposisikan –oleh sektor mana pun yang memerlukan keberadaannya: politik, agama, ekonomi, dll—sebagai sebuah ekspresi idea(logis) tentang kebaikan dan kemuliaan manusia secara umum (universal).
Sebagai salah satu puncak dari meditasi, kontemplasi dan komprehensi manusia pada diri dan kehidupannya, kesenian dapat berfungsi untuk mengelevasi ruang sempit dari pagar-pagar politik. Pagar yang membuat nafsu politik hanya menjadi pelayan satu golongan saja dan meminggirkan kepentingan keseluruhan (nation). Inilah pragmatisme politik (demokrasi) yang menjebak: ia hanya membutuhkan sebagian untuk menguasai keseluruhan. Biarpun yang sebagian itu pun palsu atau hasil dagang gaya obralan.
Maka, bila kebudayaan secara umum, dan kesenian secara khusus, hendak kita hidangkan di daftar menu, ia tak cukup menjadi semangkuk sup. Ia sesungguhnya adalah menu itu sendiri. Adalah motif, tujuan, dan cara kita yang paling dasar untuk menghadirkan semua tujuan ilmu atau pelbagai praksis hidup: kemuliaan manusia, kesejatian diri, kedaulatan yang tak terbeli.
Mungkin seperti agama, ilmu, adat, dan lainnya, kesenian sepantasnya menjadi bagian yang inheren dalam semua praksis hidup kita, khususnya politik. Semua ekspresi hidup kita selaiknya unik dan artistik, sehingga ia tidak hanya menyimpan pragmatisme sempit yang –katanya—menjadi imperasi hidup saat ini. Tapi juga menyiratkan idealisme di mana manusia selalu dibayangkan berdaulat terhadap dirinya sendiri. Bukankah manusia bukan hanya homo politicon, namun pula homo aestethicus?
Maka, betapa indahnya, bila kita temukan para petinggi (elit) politik, ekonomi, agama dan sebagainya tampil tidak hanya dengan kecerdasan politik tapi juga dengan keindahan bahasa, keluasan gagasan, sehingga membuat ia ramah, santun dan dicintai publiknya. Bukan sebaliknya, ia nampak kotor, ambisius, licik, manipulatif bahkan nampak satanik di hadapan konstituennya.
Ini mungkin awal dari sebuah fatsoen, sebuah kultur Indonesia dalam politik kita.

Presiden Kebudayaan

Ir. Soekarno membantah tudingan para sejawatnya soal ide Pancasila yang ia cetuskan pada sidang BPUPKI, 1 Juni 1945, sebagai sebuah hasil analisis yang mentah dari data-data yang miskin. Ia menjelaskan dengan panjang lebar, riwayat negeri ini, jauh sebelum Hindu (India) datang; riwayat negeri-negeri yang jauh, dengan cermat, detail, dan di luar kepala. Hingga kutipan ujar-ujar pemikir dan filosof ternama, di masa lalu hingga yang kiwari.
Semua menjadi bahan renungan untuk mendapatkan nilai terdalam dan terbaik dari bangsa-bangsa di kepulauan ini, yang dapat dijadikan landasan hidup bersama mereka dalam masa yang baru, masa merdeka, masa depannya di tengah dunia. Hasil kontemplasi serta ide dasar negara yang –pada awalnya—ia sebut sebagai Panca Dharma itu, sampai pada kita dalam satu pengertian yang jelas dan kuat: Pancasila pada dasar dan pada akhirnya adalah sebuah kerja kebudayaan, bukan sekadar ideologi politik misalnya.

Satu contoh, dharma kelima –yang kemudian menjadi sila pertama—ia rumuskan sejak dini, bukan dalam proposisi baku “Tuhan Yang Mahaesa”, namun sebagai “Tuhan yang berkebudayaan” (garis miring dari cetakan buku pertamanya). Yakni religiusitas bangsa yang dilekatkan dan diintegrasikan dengan realitas kontekstual kehidupan masyarakat yang memilikinya.
Religiusitas yang –dalam pengertian Ir. Soekarno—sangat purba ini, bukan sekadar aturan agama formal, namun inti dari lakon kehidupan bangsa kita dalam menjalankan ritus-ritus kehidupan sehari-harinya. Sebuah pandangan yang modernis, yang pada akhirnya melahirkan –antara lain—gagasan “Islam nusantara”, yang di awal 70-an ide itu turut membesarkan nama-nama seperti Nurcholish Madjid, Bachtiar Effendy, Abdurrahman Wahid, dan sebagainya.
Apa yang dibuktikan Ir. Soekarno lewat paparan dan penjelasan berulang tentang makna kebudayaan Pancasila, tak lain sebuah kapasitas dan kualitas seorang pemimpin bangsa yang berhasil “melampaui” pemahaman, dimensi atau kepentingan yang sektarian/partisan. Seorang pemimpin, sebelum ia menjadi seorang yang mampu meng”atas”i sebuah negara (state-man) alias negarawan, harus terlebih dulu meng”atas”-i kebudayaannya, menjadi budayawan (man of culture).
Seorang presiden kebudayaan (yang budayawan) ini, ditandai oleh kemampuannya melihat keseluruhan permasalahan, semacam komprehensi kultural, dari sebuah hal yang bahkan tampak kecil atau sepele. Terlebih persoalan-persoalan yang substansial atau vital dalam –misalnya—penyelenggaraan negara. Ia tidak cukup hanya ditunjukkan oleh retorika normatif, atau sekadar satu-dua data statistik yang kering dan steril.
Namun keluasan atau komprehensi itu ditunjukkan oleh pemahaman dan pengalaman yang multidimensional. Bukan melulu dari bacaan-bacaan yang luas, akses intelektual pada berbagai ilmu, pengalaman yang kaya, atau kontemplasi yang mendifusi seluruh asupan tersebut dengan kemampuan apresiasi yang tinggi, tapi juga kapabilitas menggunakan khasana simbolik dari (hasil) kerja-kerja kultural yang diapresiasinya.
Maka, bila kerja kultural itu, katakanlah seni atau agama sebagai contoh, seorang Presiden dalam arti tertentu juga seorang yang artistikus dan estetikus, seorang yang mapan dalam religiusitasnya. Itu akan nampak dalam wacana (discourse) yang diutarakannya, dalam kode atau simbol-simbol linguistik (daya literer) yang digunakannya, dalam referensi yang menghiasinya, dalam kristal-kristal bening dan padat gagasannya.
Dari gambaran tidaklah terlalu ideal itu, standar dalam pandangan penulis, kita pun dapat menakar apa yang kita temukan –dan mungkin kita pilih—dalam bursa calon presiden serta wakil presiden di final kompetisi demokrasi belakangan ini. Telah cukup banyak, bahkan over exposure karena ulah media-media yang rakus sensasi, data dan pembuktian kapasitas dan kapabilitas para calon pemimpin bangsa itu, kita dapatkan dalam dua bulan terakhir ini setidaknya.
Dan Anda dapat menilai sendiri, siapa di antara mereka, memenuhi kualitas dasar seorang negarawan, dari kemampuan mereka melihat persoalan; dari komprehensi masalah, visi ke depan: dari nilai kebudayaan dalam diri mereka. Dari berbagai debat, mimbar, panggung kampanye, hingga hasil wawancara mereka yang begitu pragmatis, praktis, kering, bahkan cenderung artifisial, banyak pihak menganggap kita sebenarnya tak memiliki (cukup) pilihan.
Tapi demokrasi mewajibkan kita memilih. Inilah paradoks demokrasi, kekerasannya yang otoriter: kita harus memilih ketika tak ada pilihan. Bagaimana bila hal ini dihadapkan pada siswa yang sedang menghadapi UAN? Apa ia harus membuat pilihan jawaban tambahan? Sistem kita, ternyata, tak mengizinkannya. Tak mengizinkannya.

radhar panca dahana

Presiden yang Bukan Ksatria

Radhar Panca Dahana

Pemilihan umum presiden yang baru saja diselenggarakan, selalu menyisakan persoalan moral, terutama setelah diketahui siapa pemenang dan siapa pecundangnya. Imbauan berulangkali disuarakan banyak kalangan, agar kedua pihak (yang menang dan kalah) dapat menerima hasil dengan hati dingin, damai, dan elegan. Ngeluruk tanpo bolo, menang tanpa ngasorake, kata orang Jawa.

Namun sejarah politik di negeri ini mengajarkan, kehendak dari peribasa di atas tampaknya selesai di tingkat wacana. Berkali-kali pergantian kekuasaan, senantiasa dimaknai dengan pergantian total aparatus puncaknya. Semacam pendekatan zero sum game, terlebih bila pergantian itu diwarnai dengan sebuah keributan, besar dan kecil. The winner takes all, dan yang pecundang siap habis total.
Pendekatan atau tradisi pergantian pimpinan seperti ini sebenarnya memiliki akarnya juga dalam masyarakat kita, terutama dalam tradisi kerajaan konsentris, di Jawa dan berbagai kerajaan beradab “daratan” lainnya. Pendekatan atau tradisi ini berasal dari pemahaman, kekuasaan (politik) dan penguasaan (bangsa/negara) dihasilkan melalui sebuah perjuangan keras dan fisikal dari para ksatria. Raja atau Sultan yang kemudian bertahta adalah mereka berada dalam garis atau kasta itu.
Kekuasaan yang didapat dan dipahami dengan paradigma/tradisi ini tentu saja berkonsekuensi melahirkan pemerintahan yang cenderung totaliter, hegemonik dalam penguasaan infrastruktur, sumberdaya dan berbagai akses sosial. Dan semua itu dilakukan melalui cara-cara yang koersif, represif, baik yang halus maupun kasar, baik dalam bentuk yang tradisional maupun canggih karena menggunakan peralatan modern.
Beberapa negara dunia, seperti Myanmar, Kuba, Lybia, atau negara-negara Timur Tengah, mempraktekkan tradisi kepemimpinan semacam itu. Bahkan hingga busana pemimpinannya, mewakili gambaran ksatria sejati, militer dalam perkembangan modernnya. Di beberapa negara demokrasi-semu, modernitas, teknologi, ilmu, sistem demokratis itu sendiri, dan perangkat canggih lainnya, digunakan semata hanya untuk label, justifikasi, atau hiasan di etalase peradaban internasional.
Bagaimana sebenarnya tradisi (kepemimpinan) politik kita harus dibangun, dengan latar semacam itu? Kenapa kompetisi penuh adab, seperti pemilu pilpres ini, mesti “habis-habisan”, termasuk menghabisi lawannya? Mengapa demokrasi sekadar menjadi dekorasi, menjadi alat pemuas dahaga kekuasaan, bukan sebagai mekanisme pengabdian dan pengadaban negeri? Satu upaya untuk memperluhur derajat kita sebagai bangsa, mempertinggi kualitas kita sebagai manusia?

‘Bun’ dan ‘Bu’

Masalah di atas, mungkin, berawal dari kacau atau bertabrakkannya ukuran atau standar-standar (etik dan emik) perpolitikan kita antara dua kecenderungan paradigmatik, oksidental dan oriental. Umumnya, yang pertama bermain di tingkat akal, dan yang terakhir mengendap di kedalaman mental. Dua dimensi yang sangat berpengaruh pada output perilaku para pelakunya. Bila terjadi semacam ambiguitas atau bahkan skizofrenia politik karenanya, tentu lumrah adanya.
Paradigma oksidental kita paham benar, karena kita terdidik sejak dini dengan itu. Untuk yang oriental, selain tradisi yang terinternalisasi dengan pendekatan “aryan” atau India –melalui kitab-kitab semacam Mahabarata—di atas, juga ada sebuah logika menarik dari Cina. Dalam riwayat maupun legendanya, kultur Cina mengenal dua kecakapan utama yang dapat diraih manusia: “bun” dan “bu”. Yang satu ilmu “surat” (sastra) dan yang lainnya ilmu “silat” (kanuragan/militer).
Dalam dua dunia itu berlaku pemeo, “tidak ada nomor satu dalam bun” (karena siapa yang dapat menentukan karya sastra nomor satu), dan “tidak ada nomor dua dalam bu” (karena pesaing sudah mati oleh pesilat paling tangguh). Ajaran moral itu berhasil membagi dengan cermat kecenderungan idealistis dan pragmatis dari manusia. “Bun” adalah perkara-perkara yang menyangkut idea, dunia abstrak dan simbolik, seperti sastra, ideologi, agama, ilmu, juga politik. Sementara “bu”, adalah dunia yang mewakili kecenderungan praktis-pragmatis, yang kongkret dan material, seperti silat, militer, dagang, dan sebagainya.
Masalah terjadi ketika dunia berkembang semakin mengutamakan penumpukan fasilitas dan ukuran-ukuran yang praktis-pragmatis-material. Dunia “bun” bukan hanya kian tertekan, bahkan terkooptasi, dan akhirnya diperalat sebagai arsenal, dalam kekuasaan misalnya. Urusan politik dan pemerintahan yang sebenarnya berada di wilayah moral “bun”, dimana “tak ada nomor satu” dan respek menjadi etos utama, pada akhirnya mengeras menjadi konflik terbuka, bahkan secara fisik.
Karena politik kemudian diperalat oleh kaum “bu” yang tetap mempertahankan moralitas “tak ada nomor dua” lewat kekerasan fisikalnya. Kaum ksatria mengambil alih otoritas politik dan melakukan hegemonisasi lewat caranya yang keras. Kekacauan standar-standar hidup pun terjadi, karena pertentangan keras sudah terjadi di dalam tubuh kekuasaan –bahkan di level rendah sekalipun—itu sendiri.

Kasta Pangreh Praja

Maka, ketika SBY, selaku capres mengatakan dirinya adalah “ksatria” dalam sebuah pidato publik, untuk menjelaskan bahwa ia mendapat banyak serangan dan tidak membalasnya, bisa dikatakan benar dan keliru sekaligus. Benar, ia memang ksatria (mantan perwira tinggi) dan menjadi pemimpin karena tradisi kekesatriaan dari kerajaan konsentris kita, termasuk juga yang dipahami pendahulunya, mantan presiden Suharto.
Namun ia keliru, bila sebagai ksatria ia tidak “membalas” serangan yang tertuju padanya. Seorang ksatria harus membalas dan menang, sebagaimana etos itu diajarkan oleh tradisi. Dan jadi lebih keliru, bila sebagai pemimpin nasional ia “membalas” serangan itu. Karena terdapat jarak yang menentukan, antara posisi puncak sebagai pemimpin nasional dengan takdirnya sebagai elit dari kasta ksatrianya.
Bisa jadi inilah absensi dalam paradigma/tradisi berpolitik kita. Tidak ada kasta khusus bagi mereka yang “memerintah negara”, yang menjadi politikus, jadi negarawan. Seseorang tidak cukup menjadi ksatria untuk jadi “pemerintah” atau negarawan. Ia harus memiliki beberapa kapasitas dan kapabilitas tersendiri untuk mencapainya. Setidaknya sebuah komprehensi yang “melampaui” logika atau disiplin keksatriaannya. Melihat manusia, bangsa, sejarah dan masa depannya secara lebih utuh, multidimensional.
Untuk kita bisa menggunakan istilah berbeda, kasta baru, bisa diletakkan antara brahmana dan ksatria, yang menempatkan seorang politikus –tepatnya negarawan—hanya seurat di bawah kebijaksanaan non-duniawi dari seorang brahman. Katakanlah untuk sementara –sebelum ada yang lebih tepat—istilah pangreh praja atau pangembating praja kita gunakan untuk posisi atau kasta itu.

Sebuah kasta baru yang tidak mencampuradukan antara kebijaksanaan dan kebijakan yang idealistik dan visioner dengan ambisi-ambisi pragmatis yang material dan temporer. Dengan posisi ini, seorang pemimpin tidak berhenti dalam wacana, retorika dan romantika karena pribadinya yang sudah mampu meng”atas”i kepentingan sektoral dan kecenderungan personalnya. Ia menjadi jabatan puncak, yang diraih lewat cara yang meritokratik, bukan sebuah takdir yang dibawanya sejak lahir.
Karena tak ada manusia yang ditakdirkan selamanya menjadi syudra, waisya, maupun ksatria. Semua berpeluang menapaki jenjang yang lebih tinggi, hingga menjadi pangreh atau pangembating. Sebuah jenjang yang menuntut tanggungjawab dan kemampuan sangat tinggi, bahkan bukan sekadar “bun” dan “bu”. Jenjang yang seharusnya ditempati oleh seorang pemimpin, seorang presiden.
Adakah sang pemenang nanti ada di jenjang itu? Anda semua, juga sejarah, yang akan mencatat dan membuktikannya.

Saturday, June 20, 2009

Memperalat Kebudayaan



radhar panca dahana

Pada misi purbanya, kebudayaan sebenarnya tidak lebih dari usaha manusia untuk survive, mempertahankan diri (spesies)nya. Pada masa lebih kemudian, katakanlah di masa yang kita sebut modern, kebudayaan menjadi sebuah upaya manusia memuliakan dirinya, dengan kesadaran ia adalah spesies terunggul, setidaknya di bumi.

Di kurun akhir ini, keunggulan spesies itu mengalami ujian yang sangat berat, ketika berbagai fenomena alam –juga rekayasa kebudayaannya sendiri-- menunjukkan indikasi-teruji akan adanya semacam “big bang” baru yang memiliki potensi memusnahkan hingga 75% populasi dan hampir seluruh harta peradabannya. Tampaknya misi kebudayaan, dalam jangka dekat, tak tertolak akan kembali pada kondisi purbanya.



Dalam pemahaman ini, semua gerak, aktivitas hingga ambisi hidup manusia, tak terhindarkan dari kewajiban untuk mempertimbangkan kerja-kerja kebudayaan. Kerja yang memberinya dasar eksistensial dan orientasi hasilnya. Kesadaran atau obligasi peradaban ini, malangnya, belum mengisi alam kognisi kita, terutama para elit di segala dimensi; pihak yang sebenarnya menentukan kerja-kerja itu.

Di bagian politik, para penguasa atau pemimpin bangsa, nampaknya kewalahan sekadar untuk menjelaskan pemahaman yang cukup komprehensif mengenai hal tersebut. Terlebih ketika mereka harus mengelaborasinya ke dalam sebuah strategi (kebudayaan) atau program-program kongkret yang harus dilakukan. Dialog yang terjadi antara para budayawan dengan para calon presiden dan calon wakil presiden di Jakarta beberapa waktu lalu, melukiskan kenyataan itu.

Kebudayaan lebih dipahami sebagai sebuah kompleks pernyataan dan produk yang dianggap mampu mendukung penyelenggaraan sebuah pembangunan, lebih tepatnya kekuasaan. Kebudayaan adalah hasil-hasil yang dapat teramati, bahkan terukur, baik dalam produk keras maupun lunaknya; dalam bentuk bangunan, artefak, kedisiplinan, ilmu, karya seni, syariat agama, teknologi, dan sebagainya. Tidak lain, kebudayaan mengalami materialisasi hingga ke tempat yang paling sempit: komodifikasi.

Tidak mengherankan bila muncul kelucuan dan keganjilan dalam pernyataan atau kebijakan, yang bersifat publik, dimana kebudayaan diapresiasi dan ditempatkan begitu saja –katakanlah—di sisi film dan seni (sebagai sebuah Direktorat Jenderal) atau ditautkan dengan pariwisata (sebagai sebuah Departemen). Atau pernah seorang menteri Pendidikan dan Kebudayaan yang meminta statistik dari kemampuan membaca dan menulis murid-murid sekolah dasar dan menengah, dari seorang pengarang yang mengeluhkan krisis di dua kapabiltas dasar itu.

Atau lihatlah catatan prestasi kerja pemerintah di bidang kebudayaan, yang antara lain berisi: jumlah pengunjung museum, jumlah situs, produksi dan penonton film, atau layar bioskop. Kebudayaan pun tertinggal melulu sebagai grafik atau piktogram sederhana, selaiknya gambar serupa yang menunjukkan perkembangan nilai bursa saham, kurs mata uang, atau jumlah simpanan dolar.

Kebudayaan dalam pemaknaan seperti ini, sesungguhnya tidak lebih dari cara mengerikan yang pernah dilakukan rezim Suharto. Yakni ketika, seluruh ekspresi dan produksi kultural kita dibakukan dan sekaligus dibekukan, hanya untuk etalase kegenitan yang didistribusi secara murah meriah keliling pentas-pentas formal ke penjuru dunia. Kita pun mafhum, kebudayaan dalam gerak dan apresiasi itu, sebenarnya sudah terperdaya, diperalat. Kebudayaan di situasi itu sudah menjadi mayat. Menjadi zombi, setidaknya.

Kebudayaan sebagai Proses

Hal yang mungkin lebih substansial dan dilenakan oleh para pelaku kekuasaan, ada di wilayah di mana kebudayaan menjalani geraknya yang paling dinamis: proses. Wilayah dimana semua kerja budaya masih berada dalam tahap pencarian, pertukaran, penemuan dan pembentukan. Tahap yang masih bersifat abstrak, dan kalaupun ada outputnya, ia masih berupa kode-kode atau simbol-simbol dasar.

Dalam tahap atau ruang ini, yang dapat dilakukan –oleh siapa pun—tidak lain adalah keterlibatan. Sikap apresiatif yang berjarak, bahkan menjadi penonton, lebih-lebih bermaksud memperalat atau memperdayanya, akan membuat kerja dan produk kebudayaan itu sendiri jadi berjarak, bahkan teralienasi dari realitas diri sang apresiator/penonton/pemerdaya.

Maka, sebuah kerja kebudayaan yang sifat dasarnya adalah imanen dan semesta –bagi seluruh manusia yang dilingkupi maupun melingkupinya—sewajarnya mengikutsertakan semua elemen kerja dari sebuah bangsa. Termasuk dari para penyelenggara negara. Penafian afirmasi historis itu, justru akan membuat negara terasing dari kerja sejarah ini; merendahkan bahkan melumpuhkan kemampuan atau potensi-potensi terbaiknya.

Wajar dan alamiah pula karenanya, bila pemerintah atau penguasa (politik, ekonomi, dan sebagainya) turut berupaya agar proses kebudayaan dapat berlangsung dengan caranya yang terbaik. Cara yang sebenarnya sudah diwariskan oleh bangsa-bangsa di nusantara ini, yang sudah memiliki kurun –menurut banyak catatan—lebih dari dua milenia ini.

Dalam arti ini, adalah obligasi alamiah bagi pemerintah untuk melengkapi proses itu dengan infrastruktur kebudayaan (kesenian tentu di dalamnya) yang mencukupi, ruang ekspresi yang kondusif, apresiasi (hingga ke tingkat penghargaan material) yang sepadan pada karya/produk maupun pelaku/produsennya, dan seterusnya. Bahkan secara langsung, bagus benar bila mereka terlibat langsung dalam semua tahap prosesus itu. Tidak saja, misalnya, membuka pameran, menonton pentas tari, atau mendukung secara pribadi pertunjukan teater. Namun juga berekspresi menggunakan kekayaan simbolik yang dihasilkan oleh kerja-kerja kebudayaan itu.

Penafian, apalagi penegasian, atas obligasi–yang sebenarnya konstitusional—ini, tidak hanya memberi ancaman bagi pemerintah itu sendiri (bukan sama sekali ancaman konyol yang dianggap berasal dari seniman, misalnya), tapi juga menjadi sumber kecemasan bagi cara hidup kita sebagai sebuah bangsa. Penempatan yang dominatif dari satu sektor pembangunan, katakan ekonomi, adalah jalan terbaik untuk terjadinya hal tersebut.

Senyum Itu

Adagium klasik bagi pemerintahan negara-negara ketiga (berkembang), lebih dulu ekonomi cukup sebelum hidup (kebudayaan) cukup, sekian lama sudah menjadi jebakan yang memerangkap kita berkali-kali dalam krisis. Walau sebenarnya, realitas hidup berbudaya kita yang cukup panjang telah sangat banyak mengajarkan: kebahagian –juga sebagai akhir dari perjuangan ekonomi, di antaranya—tidaklah semata karena limpahan harta.

Bagaimana hidup dapat tersenyum dalam pundi-pundi yang disimpan kecemasan dari kekikiran bahkan kedustaan koruptif? Tidakkah senyum itu dapat timbul saat kita leluasa beraktualisasi, menjalankan ritus mental-intelektual-spiritual, yang disediakan antara lain oleh agama, adat, dan seni, biarpun mungkin hanya sekadar nasi-ikan-sambal di piring makan siang kita, atau pondok, TV 14 inci dan sepeda motor cicilan kita miliki?

Apakah petani, buruh, guru, seniman, siapa pun dari mayoritas bangsa ini mesti didera dan dihela oleh nafsu jadi kaya-raya, jadi orang yang punya kuasa pada orang lain (lebih dari dirinya sendiri)? Saya kira, rakyat banyak itu tak membutuhkan siksa ideologi ekonomi semacam itu. Apa yang lebih mereka, kita, butuhkan adalah sebuah senyum, di bibir kehidupan kita.
Dimanakah senyum itu, di bibir kehidupanmu?

Monday, May 18, 2009

Politik Tanpa Kecerdasan Publik


oleh Radhar Panca Dahana


Sejarawan yang Ketua Akademi Jakarta, Prof. Dr. Taufik Abdullah menggambarkan dengan cukup jitu, bagaimana pembangunan dan kerja keras dimensi hidup –politik, ekonomi, pendidikan, dan sebagainya—selaiknya memiliki platform kultural atau strategi kebudayaan yang kuat dan workable, dalam mewujudkan apa yang oleh konstitusi diamanatkan: “mencerdaskan kehidupan bangsa”.

Dalam sebuah pertemuan kaum budayawan di Jakarta, beberapa hari lalu, mantan menteri pendidikan dan kebudayaan yang memiliki tiga gelar doktor berjenjang dari Prancis, Prof. Dr. Daoed Yoesoef, mengelaborasi “kehidupan yang cerdas” itu sebagai kehidupan yang diisi oleh the educated men. Masyarakat yang berpendidikan, tidak dalam arti sempit sekadar nilai atau jumlah kelas dan tahun yang dijalani, namun lebih pada keterdidikan dalam mengapresiasi, memaknai dan mengisi kehidupan.

Itulah manusia yang berbudaya, man of culture, manusia atau masyarakat yang tidak memandang dan menghayati hidupnya melulu dari kotak dangkal dunia (disiplin)nya sendiri. Manusia yang melihat apa pun yang ia perbuat –juga orang lain perbuat—memiliki dampak terhadap lainnya. Pertimbangan sosial dan kolektif, jika tidak mendahului, setidaknya bersamaan dengan kepentingan pribadi yang dibelanya habis-habisan.

Inilah kapasitas umum, yang tentu saja menjadi prasyarat dasar bagi mereka, siapa pun, yang memiliki peluang, ambisi atau dipercaya memangku jabatan publik; mewakili khalayak atau orang banyak, memiliki obligasi moral, etikal hingga konstitusional untuk tidak hanya menyejahterakan tapi juga membawa khalayak ke masa depan yang pantas dan sesuai dengan apa yang pernah diraihnya secara historis, ratusan bahkan ribuan tahun lalu.

Membodohi Publik

Perkembangan mutakhir kehidupan politik kita belakangan ini, mirisnya, sama sekali tidak mendukung pemahaman di atas. Pemahaman sederhana, tidak terlampau rumit teoritis atau ideologis, namun ideal-pragmatis sebagaimana diamanatkan para founding fathers melalui konstitusi yang mereka lahirkan.
Cermati, misalnya, bagaimana satu kubu yang tengah menggalang koalisi dalam prosesi pemilihan presiden saat ini, dimana masing-masing juragan partai yang berkoalisi tersebut berebut dan tak mau mengalah hanya untuk menerima atau atau tidak sisipan “wa” dari kata capres.

Komitmen kekuasaan, politik dalam artis luas, untuk menjunjung setingginya harkat kemanusiaan dari khalayak atau publik, dalam situasi itu benar-benar seperti irisan daging steak di meja makan. Bisa tak jadi dimakan karena sausnya tak enak, atau terlupa karena sibuk ngobrol atau kenyang oleh makanan lain. Sehingga daging itu akan memucat, dingin, mengeras bisa jadi berjamur, sebelum seekor kucing, mungkin tikus, lalat, boleh jadi belatung menikmatinya.

Terlebih ketika ada kecenderungan dua kekuatan yang selama ini mengambil posisi bertentangan, dalam sebuah permainan keseimbangan yang konstruktif dan mutualistik, berdekatan untuk membuat koalisi. Koalisi yang tidak hanya membuat kekuasaan berlangsung timpang tanpa kekuatan besar mengoreksi diri. Atau semacam pengkhianatan pada pencitraan “ideologis” yang selama ini terjadi –yang satu pro modal dan lainnya pro publik—tapi juga lebih utama, niat koalisi itu meninggalkan pihak yang selama ini menjadi jargon keabsahan mereka: publik atau rakyat.

Mereka yang konon begitu gigih memilih demokrasi barangkali lupa, dalam definisi standar demokrasi, kata publik (rakyat) disebut tiga kali dalam definisi pendek itu: “dari rakyat oleh rakyat untuk rakyat”. Begitupun kata republik yang menjadi harga mati konstitusi serta 230 juta pemeluknya, mengindikasikan semua hal yang kita perbuat harus kembali (“re”) kepada publik.

Di titik ini, tentu saja dengan mudah kita mafhum, betapa permainan politik belakangan ini, alih alih mengarah pada tujuan dasar bernegaranya, “mencerdaskan kehidupan bangsa”, namun justru menegasinya. Bahkan lebih jauh dari sekadar melakukan “pembodohan”, tapi mengeksploatasi kebodohan itu.

Apresiasi Tumpul

Itulah yang tampaknya menjadi cermin terkuat dari wajah politik kita terakhir. Sebagaimana konflik berbagai partai mencuat ke permukaan lautan kesadaran kita. Para elite partai dengan sekehendak hatinya, menuruti nafsu kekuasaannya, melupakan bahkan mengalienasikan begitu saja publik yang telah mendukung, telah memilihnya. Para elite itu bersekongkol dan mengikuti lelang sapi serta saling menawar harga tinggi untuk daging mentah, bahan steak yang hanya mampu sesaat menggoyang lidahnya, mengisi jamban, atau meninggalkannya di ujung dapur, berkawan dengan jamur.

Cermin retak semacam ini disadari oleh banyak kalangan akibat dunia –lebih utama para aktor—politik telah kian jauh meninggalkan fundamen gagasan atau ideal dimana semula politik itu lahir, berkembang dan dirumuskan. Fundamen yang berisi kebijakan, fatsun-fatsun dan tujuan-tujuan yang semata hendak memuliakan spesies yang hidupnya sangat terancam ini: manusia.

Politik kita telah gagal mengidentifikasi (sekurangnya mengacu) diri pada argumen dasar keberadaannya sendiri; pada interaksi nilainya yang intens dengan nilai-nilai dalam dimensi kehidupan lainnya. Hingga kesadaran, empati dan apresiasinya menjadi tumpul. Membuat segala pesan, amanat, peringatan bahkan keindahan atau kebijakan lain mental kembali ketika bersentuhan dengan tubuhnya yang diselimuti sensasi.

Lumrah bila kemudian kebudayaan bukan hanya bermakna sempit di hati dan pikiran mereka, tapi juga terasa mengganggu karena –lebih dari sekadar nyinyir—dirasa menghalangi ambisi-ambisi pragmatis dan temporer mereka. Wajar pula bila tidak ada kebutuhan buat mereka menikmati karya seni bermutu atau menjalin relasi dan dialog dengan para penggerak kebudayaan, sebagaimana dicontohkan para pendahulu atau rekan negarawan mereka di segala bangsa.

Dangdut Politik

Secara logis, dalam arti artistik, mereka hanya akan merasa dekat dengan apa yang kita sebut pop art atau pop culture, dalam arti produk artistik/kultural yang hanya menyentuh pemahaman awam, superfisial, seperti bunyi “pop” dari busa sabun pecah yang mengambang di air. Tak mengherankan bila mereka dekat dengan Jamrud, Kangen, boleh juga ST 12, atau mengukur puncak prestasi film dengan Ayat-ayat Cinta, sastra dengan Laskar Pelangi, lukisan dengan gambar buah-buahan taman Suropati. Bukan sebuah kesalahan, bukan. Sebagaimana pengalaman saya berikut.

Saat kampanye partai Golkar, melihat penyanyi dangdut di panggung menyanyikan karya Rhoma Irama yang terkenal, Kegagalan Cinta, berbunyi antara lain: “Kau yang mulai kau yang mengakhiri, kau yang berjanji kau yang mengingkari”. Sambil mata “merem-melek” rakyat bergoyang begitu khusyuk. Sekhusyuk penghayatan pada nasib partainya...maksud saya, nasib hidupnya sendiri.

Saya harus mengoreksi kata terakhir itu, karena seorang teman mencolek untuk melihat kampanye partai PDI-P yang juga berdangdut dengan lagu yang dipopulerkan penyanyi cantik Kristina, “Jatuh bangun aku mengejarmu, namun dirimu tak mau mengerti...”. Saya hendak tersenyum, dan ingin segera pergi. Tapi kaca mobil berdengung saat seorang anak kecil mengamen persis di sisi menyanyikan lagu Caca Handika, Angka Satu: “Masak masak sendiri, makan makan sendiri, cuci baju sendiri, tidur pun sendiri...” Saya hanya menggeleng dan seraya memberi receh sempat melirik lambang di kaos anak itu, bergambar garuda Gerindra.

Ah, gara-gara koalisi aneh dua partai besar tadi. Sambil senyum, saya tancap gas.


Saturday, April 25, 2009

Politik Tanpa Budaya


sumber:Kompas, Sabtu, 25 April 2009


Radhar Panca Dahana


Dia bukan hanya telah menghabiskan tabungan yang tak seberapa. Menjual sepetak sawah suaminya. Minta pinjaman kanan kiri dengan janji kiri kanan. Bahkan menggadaikan surat rumah, harta tertinggal satu-satunya. Hasilnya?

Perempuan mendekati paruh baya itu ditinggal suami, tak ditengok anak lagi, dan hidup menanggung sedih serta malu (apalagi di depan warga sekampung). Ia menyendiri, tak keluar sejenak pun, meringkuk kecut dan pucat di sebuah rumah panggung di belahan bukit di satu wilayah Jawa Barat bagian selatan.

Anda tentu telah menyangka. Kisah itu hanya satu dari ratusan atau ribuan kasus para caleg Pemilu 2009. Mungkin banyak yang lebih tragis. Namun, yang lebih tragis dari itu adalah ketidakpedulian dari mereka yang paling bertanggung jawab pada proses demokrasi: para pemimpin pemerintah, elite politik, dan pengamat. Bahwa kasus-kasus semacam itu bukan saja tidak pantas dinafikan apalagi diremehkan, tetapi ia pantas juga mendapat perhatian karena mungkin menyangkut soal yang lebih dalam, lebih substansial.


Namun, kenyataan mengabarkan, belakangan para petinggi politik melulu sibuk dengan hasil pemilu, dengan perselisihan DPT hingga proses penghitungan suara, plus intrik, konflik, dan permainan wacana di headline media massa. Masalah perempuan di belahan bukit tadi seakan tinggal menjadi konsekuensi pribadi.
Meski sebenarnya di balik kasus-kasus ”kegilaan” para caleg gagal tersembul masalah bukan saja soal tradisi dan kultur politik yang tidak matang, tetapi juga praktik demokrasi yang hampir tidak manusiawi dan perlahan menghancurkan karakter kemanusiaan, baik sebagai individu maupun satuan kolektif.

Hal pertama yang mungkin paling nyata bagi kita adalah bagaimana cara mereka yang berambisi menjadi anggota legislatif memandang peluang atau kekuasaan yang ingin diraih. Prinsip-prinsip ideal yang membuat kursi legislatif dihormati sejarah, tidak menjadi cahaya hati para calon pemiliknya. Jabatan seperti itu juga mungkin jabatan politik lainnya, diukur hanya dari kekuatannya sebagai legitimator dan pengakses sumber-sumber kuasa (tidak hanya politis, tetapi juga) sosial, ekonomis, dan sebagainya.

Bahkan mungkin ia tidak lebih dari sebuah simbol eksistensial, atau lebih rendah lagi sebagai simbol status atau gengsi. Semacam seri mobil, telepon genggam, atau perangkat hifi terbaru. Nilainya nominal, ekonomis, dan material. Untuk itu material cost dibutuhkan. Perhitungan saldonya pun material. Tidak aneh bila kebangkrutan caleg mirip pemain valas yang rudin: keduanya langsung lari ke dukun, Gunung Kawi, atau paling sehat terjerembap di pusat rehabilitasi mental.
Fundamen kebudayaan

Hal kedua, sebuah tradisi yang sebenarnya baru: memilih. Khususnya memilih pemimpin yang secara langsung mengatur bagaimana kita harus hidup pada zaman yang penuh gejolak ini. Kemiskinan tradisi (politik) memilih, karena tiadanya kultur yang melandasi, membuat perilaku pemilih di negeri ini menjadi aneh.

Preferensi figural mereka karena absennya budaya tadi cenderung ditentukan oleh ukuran-ukuran pragmatis, bahkan artifisial. Bukan rasional tetapi psikologis-mental. Bukan pada isi dan visi, tetapi pada artifisialisasi. Bukan pada rekam jejak, tapi performance. Seperti publik sebuah tontonan. Jadi tidak peduli, siapa, apa, dan bagaimana riwayat seorang tokoh pilihan, asal ia memenuhi prasyarat tampilan (dalam fisik, jargon, hingga entertainment yang ditawarkan, termasuk pembagian beras atau sumbangan uang), ia memiliki peluang besar menjadi populer.

Preferensi yang selebratikal ini memiliki ancaman serius bagi ideal-ideal yang ditanamkan founding fathers dan pemikirannya dikembangkan oleh segelintir pemikir. Bukan saja kemungkinan kita mendapat pemimpin yang tidak kapabel, lemah hati, bahkan otoriter, tetapi juga peluang kembalinya budaya politik yang korup, manipulatif, dan represif (meski bentuknya lebih soft dan ”modern”).
Persoalan ketiga, kita lalai pada proses pembangunan yang kini menjadi krisis, yaitu fundamen kebudayaan. Fundamen yang membuat semua proses dan penegakan demokrasi harus melayani hajat utama dan asalinya: mempertahankan dan mengembangkan harkat dan kedaulatan manusia; garansi pada kemuliaan dan survive-nya spesies utama di bumi ini. Tak ada produk kebudayaan mana pun yang tidak bekerja dalam tujuan itu.

Dan, fundamen itu tidak selamanya harus diadopsi begitu saja dari latar historis dan sosiologis masyarakat Eropa, tempat demokrasi bersemai. Tak bisa dielak, bukan sekadar karena keberlanjutan atau romantisme, tetapi karena realitas obyektif dari kondisi mental-psikologi masyarakat, fundamen budaya harus ditegakkan dari sejarah kebudayaan negeri ini sendiri. Modusnya, demokrasi mencocokkan diri, bukan sebaliknya, kebudayaan yang dicocok-cocokkan dengan proforma demokrasi, seperti yang kini terjadi.
Sejarah yang kalah

Ingar-bingar pesta demokrasi kali ini, harus diakui, terlampau mahal biaya (ekonomi, politik, sosial, dan kulturalnya) bila hanya untuk membayar pergulatan kepentingan segelintir elite, yang memaksakan wacananya ke dalam diskursus publik. Ia akan menjadi bencana, saat absennya kebudayaan dalam diskursus itu, bukan hanya karena alpa, tetapi juga karena kesengajaan untuk menepikan, menafikan, bahkan mengalienasinya, karena secara politis dianggap justru merugikan.

Hampir semua gejala minor, negatif, dan destruktif dalam praksis politik belakangan ini dengan mudah kita mafhumi karena ketidakmampuan kita, secara sadar dan di bawah sadar, menghayati, dan mewujudkan standar nilai, moral, dan etis yang ada dalam ruang kebudayaan kita.


Dalam masyarakat yang masih melihat Tukul atau Eko Patrio sebagai panutan, bahkan ideal type, peran para petinggi yang selebratikal masih kuat. Sungguh tragis bila mereka tidak menggunakan potensi itu untuk perbaikan yang fundamental, tetapi justru mengeksploitasinya untuk kepentingan temporal dan artifisial.

Tidak heran bila perempuan di belahan bukit itu akan segera mendapatkan banyak teman. Bukan dari sejawatnya dari kampung lain. Tapi juga mereka yang berrumah mewah, bersedan megah, berfasilitas melimpah, dan pernah duduk di kursi yang indah. Di situkah kita akan menuliskan sejarah? Sejarah bangsa yang selalu kalah?

Radhar Panca Dahana Sastrawan; Tinggal di Tangerang

Thursday, March 19, 2009

Rumah (yang) Sakit

Banyak orang bilang, salah satu bisnis yang kini pasti menguntungkan adalah mendirikan rumah sakit. Pernyataan ini menggelikan, namun bila benar, menggiriskan.
Keuntungan dalam bisnis itu seperti memerah kebahagiaan dari derita/tangis orang lain: menampung uang dari darah atau nanah luka yang terbuka.


Namun, begitulah kenyataannya. Sakit dan penyakit tak ada musimnya, tak ada grafik menurunnya di negeri penuh gejolak ini. Bahkan di saat krisis—politik dan ekonomi—orang sakit tidak berkurang; justru meningkat, baik yang fisis, terlebih psikis. Dan itu membuat pebisnis kesehatan kian bergairah. Kita mafhum, banyak berita mengabarkan, dalam situasi seperti itu, para pebisnis kesehatan masih ”memainkan” bahkan ”menciptakan” varian penyakit baru demi jenis obat baru.
Kita pun sama paham, bagaimana bisnis rumah sakit kini memiliki performa, iming-iming, atau gimmick yang tidak kalah keren ketimbang wisata pantai, restoran mewah, atau karaoke keluarga kelas premium. Rasa sakit, penderitaan, dijadikan motif untuk menguras lebih dalam kantong penderita, dengan tawaran-tawaran leisure yang kadang menggelikan.

Lebih menggelikan para pelaku bisnis di negeri kita. Alih-alih meningkatkan pelayanan medisnya kepada publik, mereka mereaksi tren melimpahnya pasien lokal yang berobat ke luar negeri, dengan mendirikan rumah-rumah sakit mewah berkelas internasional. Bisnis itu ”dipindahkan” dari luar ke dalam. Esensi pelayanan termanipulasi fasilitas dan harga, dan diskriminasi pasien justru kian ditegakkan: ”Hei orang miskin dan sakit, bukan bagianmu mendapat pelayanan baik ini”.


”Fait accompli” pasien

Kita, sekali lagi mengerti, siapa paling diuntungkan dari kecenderungan ini. Dari semua aparat medis yang ada, tentu para birokrat kesehatan, terutama para dokter, yang mengais keuntungan terbesar. Bukan hanya dari tarif, harga obat, dan fasilitas yang disediakan. Sebagai sarjana dengan lima tahun waktu studi, para dokter mendapat imbalan luar biasa, berlipat-lipat dibanding kaum paramedis, misalnya, yang juga sekolah tiga hingga lima tahun.

Mungkin dalam tanggung jawab, dokter adalah pemeran utama. Namun, dalam praktik medis di rumah sakit, kaum paramedis inilah yang sebenarnya menggerakkan atau mengoperasikan mesin kesehatan. Berjaga menit ke menit, mengantisipasi situasi paling kritis di detik awal, mengayomi pasien, termasuk diserapahi keluarganya. Namun, untuk kesejahteraan, mungkin tiap bulan ia mendapat gaji yang didapat dokter hanya dalam sehari.

Pasien? Ia adalah obyek dari semua fait accompli. Ilustrasi kecil, saya meminta resep bisul kepada seorang dokter spesialis. Setelah saya cek harganya hampir Rp 300.000. Saya kembali dan bertanya, mengapa semahal itu? Dokter menukas, ”Bapak tidak percaya saya?” Saya ragu. Saya bertanya kepada dokter lain, yang memberi resep salep. Harganya: Rp 1.600. Dengan itu, dua hari kemudian bisul saya lenyap.

Berapa banyak pasien yang ragu seperti saya. Berapa nilai uang hasil diagnosis atau resep fait accompli itu. Ilustrasi ini lebih seru: satu kali saya operasi mengangkat tumor di pundak. Saya diperbolehkan pulang sesegera usai operasi, betapapun saya minta diinapkan. Belum setengah perjalanan pulang, luka operasi terbuka dan darah mengalir. Saya kembali. Dan dilakukan operasi ulang. Ternyata, luka tetap terbuka dan darah tiada henti mengalir.

Saya diinapkan. Dan diberi pilihan untuk operasi ketiga dengan kondisi: bius total. Sebuah kondisi yang bagi saya—pemilik penyakit akut lainnya—hanya memiliki dua opsi (menurut dokter bedah yang menjadi kepala tim): hilang sadar total (maut) atau masuk ruang ICCU. Saya terpana: karena kesalahan operasi saya mesti berada pada sebuah dilema yang komikal: maut dan hampir maut.

”Di mana tanggung jawab Anda, dokter? Kondisi ini bukan saya yang membuatnya, tapi Anda. Saya harus menerima tanpa kecuali. Saya tanggung semua risiko. Termasuk, mati atau tidak, saya harus tetap bayar Anda,” saya protes. Mereka tak bisa menjawab, hanya bertukas pendek, ”Semua terserah pada keputusan, Bapak.”

Saya terdiam. Mereka pergi. Beberapa dokter lain saya hubungi, tak ada advis yang melegakan. Semua bimbang. Nalar saya bergeser menjadi mistis: menyerahkan nasib pada yang memestikannya. Dan Dia menjawab. Operasi ketiga berlangsung 1,5 jam, terasa 1,5 detik buat saya. Saya langsung bangkit duduk dan berjalan, begitu usai dan sadar. Keadaan yang konon tak bisa terjadi, biarpun efek bius hilang (seharusnya) beberapa jam kemudian.


Orang miskin

Terlampau banyak kasus semacam bisa ditulis. Di mana posisi pasien, dirugikan seberat apa pun—hingga nyawa—tak ada pilihan. Dalam diagnosis, dalam peraturan tiap rumah sakit yang berubah-ubah, dalam resep, dalam biaya, dan lainnya. Beruntung bila satu-dua pasien cukup kritis, ia bisa menemukan hak-haknya yang umumnya kabur. Bagi masyarakat awam, hanya pasrah menerima fait accompli.

Inilah yang juga terjadi pada mereka yang sepatutnya mendapat asuransi atau jaminan kesehatan dari negara. Mereka harus dinyatakan benar-benar miskin untuk mendapat jaminan itu. Dan kebijakan baru menetapkan kemiskinan itu harus diumumkan di tiap kelurahan. Masalahnya bukan harga diri yang diobral oleh kebijakan negara, tetapi kategori ”miskin” sebagai kriteria dasar.

Orang miskin tentu membutuhkan kesehatan. Namun, tidak semua orang miskin. Beberapa orang miskin memilih harga diri ketimbang jaminan itu. Beberapa orang miskin tidak membutuhkan karena tidak percaya atau kecewa pada pelayanan medis yang ada. Ada pula orang ”tidak miskin” tetapi amat membutuhkan jaminan itu, demi pelaksanaan tanggung jawab keluarga, sosial; demi aktualisasi dan produktivitasnya.

Inilah golongan yang tidak dijamin siapa pun. Tidak oleh askes pegawai negeri, tidak oleh askes perusahaan, juga tidak askes perusahaan asuransi. Mereka adalah pekerja profesional dan bebas yang tidak terikat apa pun. Seperti pekerja kreatif, atau seniman. Dibilang kaya tidak, miskin bukan. Seorang penyair asal Medan memilih mati ketimbang harus menjalani cuci darah yang tak tertanggung olehnya.

Kasus seperti itu menjadi obligasi sosial kita, dan negara sebagai penanggung jawab utama. (Jaminan) Kesehatan harus diberikan kepada siapa pun yang membutuhkan, terlebih karena itu menjadi jaminan produktivitas serta kontribusinya kepada masyarakat. Dana jaminan dari rakyat harus dikembalikan sesuai situasi dan proporsi. Kasus mesti diperhatikan.

Bahkan setiap kebutuhan, setiap pasien harus diperlakukan sebagai unikum, sebagai kasus. Karena setiap penyakit pada akhirnya menyangkut sang korban, yang notabene seorang manusia, yang pada dasarnya unik, tersendiri. Negara mestinya paham, bahaya bila manusia ditempatkan hanya sebagai konstanta. Apalagi dipasrahkan pada logika bisnis rumah sakit di atas. Bisa-bisa negeri inilah rumah (yang) sakit itu.

Radhar Panca Dahana Sastrawan; Tinggal di Tangerang

Monday, March 2, 2009

Lima Pertanyaan Untuk Pemilihan

Barangkali media atau forum komunikasi virtual seperti Facebook yang populer itu bukanlah tempat paling tepat untuk mendapatkan kebenaran. Atau setidaknya menggambarkan kenyataan sesungguhnya.Namun media virtual paling terpakai di dunia itu dapat digunakan untuk melihat, mengetahui, dan menyadari bagaimana sebagian opini publik dan impulsimpulsnya berkembang. Tidak peduli,konon sukses Obama juga dibantu efektivitas informasi yang disebarkan via Facebook ke sekitar lima juta anggotanya.

Berbagai pendapat yang muncul di media itu, atas sebuah isu,kadang mengejutkan dan memberi kesadaran lain. Seperti saat saya mencoba menyodorkan beberapa pertanyaan sederhana seperti, “Apakah demokrasi di negeri ini harus diongkosi semahal itu?”; “Benarkah demokrasi itu pilihan satusatunya, bahkan given?”; “Jangan jangan demokrasi itu hanya semacam stiker,topeng,atau sekadar perban?”, dan lain-lain.

Jawaban-jawaban yang muncul sebagian nakal,menggelikan,konyol, dan mungkin terasa bodoh.Namun tak satu pun yang kekurangan nada serius di dalamnya.Hampir 100% dari para facebookers itu menjawab dengan— bila tidak sinis atau nyinyir— pesimistis bahkan tidak percaya sama sekali pada kata sakti itu: demokrasi. Ini mungkin hanya impuls. Tapi sekecil apa pun,dia tetap berharga,dan pantas direnungkan. Setidaknya untuk mereaksi perkembangan mutakhir dunia politik yang memanas karena mendekatnya pemilu. Pemilu, bukan kemenangan yang ada di puncaknya, kini seperti sudah menjadi tujuan dari keterlibatan tokoh-tokoh dan publiknya. Bahkan yang sadar,yakin,dan tidak bebal, mengetahui tiada potensi apa pun yang dimilikinya untuk menang,tetap ngeyel berpartisipasi dalam kompetisi ajaib ini. Pemilu, seperti lotre atau kasino, di mana setiap orang yang— sengaja atau tak—masuk ke dalamnya, tergiur dan terjebak mengikuti permainannya.

Berbekal hasrat yang sebenarnya dia tahu ilusif,hanya ilusi. Itulah yang terjadi, saat berbagai figur yang merasa dirinya tokoh, entah dengan wangsit atau dasar keberanian dari mana, mencatatkan dirinya sebagai calon presiden.Bukan hanya politikus tangguh, karbitan, mentah dan murahan, tapi juga pedagang/ pengusaha, praktisi hukum, pekerja sosial, aktor, pengangguran, hingga dia yang mengaku “kafir”. Apa yang umumnya mereka lakukan? Tipikal. Bahkan sangat sederhana. Menjual kebolehan dirinya, seperti penjual sepatu obral di pinggir jalan. Memamerkan kelebihan, jasa, atau pahala sosial yang katanya mereka miliki.Dan kita tahu,tidak lebih semua itu adalah sepatu obralan. Penggelembungan citra,untuk menggelembungkan nilai, lalu harga pada akhirnya. Syukur ada yang membeli atau tertipu.Jika tak ada,ya memang demikian realitasnya. Tapi siapa tahu?

Kalimat tanya terakhir di atas memberi indikasi penting dalam psikologi (masyarakat dan para “tokoh”) kita: memandang hidup tak kurang dari sebuah probabilitas yang tak membutuhkan statistik dan matematika kalkulus.


Melulu insting, intuisi, nasib baik, atau hoki.Persis gambling di meja kasino. Seperti orang tak menyangka PKS bisa menang di sentra PDIP dan Golkar (Jawa Timur dan Tengah),Dede Yusuf atau Rano Karno menang, atau bahkan SBY dahulu bisa terpilih jadi presiden. Kunci—katakanlah yang agak rasional—hanyalah pertanyaan: apa atau siapa yang dipilih? Adalah dia yang memiliki performa terbaik. Kemasan terbaik, yang memuaskan hasrat, mimpi bahkan ilusi konstituennya. Inilah masyarakat yang dibentuk oleh tradisi menonton atau visual di masa kini.Penampakan atau kemasan lebih penting dari (esensi) di baliknya. Maka, satu, tampilkan dirimu selembut dan seramah mungkin: senyum, belahan rambut rapi (kalau perlu ke kanan),busana terang,sikap rileks dan pandangan yang mengayomi. Kedua, jangan katakan yang buruk, apa pun, tentang diri sendiri, orang lain, apalagi publik (senegatif apa pun realitasnya).
Ketiga,gunakan semua media visual sebanyak-banyaknya, agar lubuk publik memendam kesan paling dalam padamu, ketimbang yang lain. Terus terang, ini resep seorang yang ingin jadi artis, selebritis, bintang sinetron misalnya. Karenanya tak heran, aktor sinetron Deddy Mizwar segera menangguk dukungan banyak partai,ketimbang ekonom kritis Rizal Ramli, misalnya, yang sudah begitu hebat berusaha melakukan penyadaran publik.


Banyak sebenarnya, orang yang cukup cerdas menyadari realitas publik seperti ini.Namun jangankan mereka prihatin dan berusaha memperbaiki, tidak hanya membiarkan, tapi justru mereka memanfaatkan. Kata sopan dari mengeksploitasi.Realitas publik itulah jawaban kedua dari pertanyaan yang harus diajukan bagi kualitas sebuah pemilihan (c/o demokrasi): siapa yang memilih? Mereka yang memilih adalah masyarakat yang telah dihancurkan dasar dan standar-standar penilaian mereka atas mutu hidup yang sebenarnya.Mereka yang digelapkan dari orientasi, kecuali pemenuhan kebutuhan yang hyper-pragmatis, luxuries, dan melulu leisure. Mereka yang kalah dan diperkosadankinidimintamenjadipemilih, aktivis demokrasi. Sistem yang tidak lagi memberikan pilihan untuk dirinya sendiri, karena itu sebenarnya menentang dirinya sendiri,demokrasi. Sistem yang paradoksal atau menyimpan pertentangan dalam diri itulah jawaban untuk pertanyaan dasar ketiga: kenapa memilih? Karena harus memilih.Namun paradoks itu sampai pada tingkat yang akut: harus memilih tanpa ada pilihan.

Pilihannya buntu hanya pada dua opsi: memilih atau tidak memilih. Dengan kondisi, pilihan kedua di-judge sebagai deviasi,menyalahi aturan, negatif, bahkan diharamkan. Pilihan itu tak bisa berkembang menjadi tiga, empat, dan seterusnya. Atau lebih esensial: tidak ada pilihan untuk memilih cara, sistem, atau logika pemilihan itu sendiri. Demokrasi itu sendiri. Ia akan menjadi aib sejarah, dosa adab. Hal inilah yang membutakan kita dari kemampuan dan kemungkinan menjawab pertanyaan di tingkat berikut: apa sebenarnya pemilihan atau pilihan itu?

Ketidakmampuan tersebut sungguh akan membuat kita asing pada pertanyaan yang lebih substansial, pertanyaan kelima: apakah hidup ini sebuah pilihan atau yang (telah) dipilihkan? Pertanyaan purba itu sudah lenyap dari saku atau berbagai gadget penyempurna hidup kita saat ini. Tak ada lagi kontemplasi mendasar tentang hidup kita saat ini.Yang ada adalah realitas yang harus—tak bisa tidak— diterima.Tak ada pilihan lain. Dan kodrat manusia, yang mendapat sedikit anugerah sifat jaiz dari Penciptanya, tak lagi bekerja.Manusia telah membekukan dirinya sendiri. Merobotkan dirinya sendiri. Membuat dunia, semesta, dan hidup yang bergulir bersama waktu di dalamnya, menjadi begitu sempit.Semacam tempurung virtual, hologram, yang merekayasa satu dunia, semesta, hidup, waktu,bahkan tuhannya yang baru. Betapa mahal,ongkos kultural (cultural cost) bahkan spiritual cost yang harus kita bayar ini.Yang tak tertanggungkan oleh anak cucu.

Wajar bila bumi, ibu kehidupan kita, menangis. Dan air matanya membuat kita tak berdaya.Tapi mana peduli kita?

Radhar Panca Dahana
Budayawan

sumber: Koran Sindo 27 Februari 2009

Thursday, February 19, 2009

Tak Lari Mengejar Hillary

Radhar Panca Dahana

Kalau perempuan perkasa menjadi duta sebuah negeri, seperti Amerika, mengunjungi negeri seperti Indonesia, apa maknanya, secara budaya khususnya? Apa ini momen untuk menegaskan sikap dan adab kita sendiri?

Sejatinya orang Indonesia, bila ia kedatangan tamu, betapapun tamu itu pernah atau masih memiliki masalah dengan tuan rumah, kegembiraan dan keramahtamahan semestinya terpancar di wajah. Terlebih bila yang datang seorang perempuan, yang tak hanya charming, cerdas, penuh reputasi, bahkan menjadi duta dari tetangga yang memiliki performance tinggi seperti Amerika Serikat. Banyaknya komentar dan liputan media lokal memperlihatkan hal itu. Seakan yang akan datang lebih dari sekadar seorang menteri luar negeri, tapi pemimpin sebuah bangsa.

Bagaimana seorang Hillary Clinton, sebagai pribadi dan figur sosial-politik, tentu saja membuat kita merasa wajar dengan sambutan hebat itu. Walaupun Hizbut Tahir sempat menyuarakan suara penolakan terhadap kedatangannya, hampir umum kalangan memandang kunjungan diplomatis pembantu yang mantan lawan Barack Obama ini memiliki peluang memberi keuntungan taktis dan strategis pada tuan rumah.

Sebagai negara kedua yang dikunjungi –setelah Jepang—dalam lawatan perdana Hillary sebagai Menlu Amerika Serikat (AS), Indonesia segera berhitung akan posisinya yang ternyata begitu vital dalam perhitungan AS. Setidaknya bersama tiga negara lain, Jepang, Korea Selatan dan Cina, Indonesia dianggap sebagai salah satu faktor kunci dalam proses perbaikan citra AS sebagai negara adidaya dan super demokrasi. Sebuah posisi yang sebenarnya cukup mengejutkan, ketika negeri-negeri seperti Thailand, Filipina, bahkan Australia –yang merupakan sekutu dekat—justru dilewati.

Tentu bukan karena alasan romantis Hillary, menjambangi tempat dimana dulu bossnya pernah menyimpan memori. Atau sekadar ingatan saat ia mendampingi suaminya, mantan presiden Bill Clinton. Dimana menurut cerita, ia sempat berkunjung ke Temanggung, satu-satunya tempat yang sengaja ia datangi, karena rasa hormat dan respeknya pada keberdayaan kaum wanita di kota Jawa Tengah itu. Terutama dalam memperjuangkan hidup keluarga, aktualisasi diri hingga kontribusinya pada kebersian kota.

Hillary mungkin politisi tangguh, tajam dan keras. Namun dengan airmata yang dikeluarkannya di atas mimbar kampanye politik, kegiatan sosial, atau pembelaannya pada anak-anak, Hillary memberi sentuhan kemanusiaan yang lebih dalam, ketimbang misalnya wajah besi Menlu AS perempuan pendahulunya, Madeleine Albright. Dan biarpun semua hal itu tidak dapat digunakan sebagai alasan adekuat dalam diplomasi, tetap saja ia memberi dimensi tersendiri pada kunjungannya kali ini sebagai duta utama AS dan Obama, sang boss.

Hal itu pula yang akan menjadi modalnya, untuk “meminjam” Indonesia yang kini dianggap penting untuk mengobati luka-luka sejarah dan sentimen negatif dunia Islam yang diproduksi George W.Bush. Tentu saja “peminjaman” atau pemanfaatan citra ini bukan hanya karena Indonesia adalah teras depan peradaban atau komunitas Islam yang relatif lebih mudah didekati. Antara lain karena sistem politik dan ekonominya memiliki basis sama dengan mereka –demokrasi dan pasar bebas—sikap agamanya yang moderat, masyarakatnya yang mudah diajak bicara (bahkan diiming-imingi), tapi juga karena faktor historis: keterlibatan pemerintah (dan intelijen) AS yang cukup dalam di sejarah modern republik ini.

Tetap Problematik

Faktor terakhir di atas menjadi krusial karena faktor itulah yang membuat hubungan Amerika Serikat dan Indonesia (begitupun dengan kebanyakan negara lain) sebenarnya senantiasa problematis, baik ia laten maupun manifes. Semua bisa jadi bermula pada ambisi atau nafsu dasar sebuah negara yang menganggap dirinya besar, untuk mendesakkan kepentingan nasional, membenamkan pengaruh, hingga menanamkan peradaban yang ia anggap milik atau hasil kreasi bangsanya.

Dalam beberapa ukuran, AS tampaknya sukses merealisir ambisi itu, menjadi adidaya, kekuatan yang memengaruhi dan (seperti) tak terpengaruhi. Kebijakan unilateral yang kerap diambilnya, sebagai ekspose dari kuasa-tunggalnya (setelah Uni Soviet luluh lantak), secara ekonomi dan politik memberinya banyak profit. Tapi hal itu harus dibayar bukan hanya oleh perlawanan keras dari lawan-lawannya, ketidakpuasan sekutunya, tapi juga hancurnya wajah kebudayaan mereka sendiri, yang –konon—demokratis, toleran, egaliterian, dan sebagainya.

Bagi Indonesia, bagi rakyat umumnya, hal itu menciptakan refleksi yang ambiguistik, bahkan paradoksal. Dalam hal sistem politik dan ekonomi, misalnya. Basis yang sama di antara kedua negara dalam kedua sistem itu, tidak pernah secara utuh diterima sebagai sebuah garansi bagi –misalnya—pemuliaan manusia. Kapitalisme melahirkan keserakahan dan neo-kolonialisme. Demokrasi juga melahirkan kekerasan, menyuburkan prasangka dan tidak mengendurkan konflik.

Dalam refleksi itulah, kunjungan Nyonya Clinton ini juga harus diperhitungkan signifikansinya. Hidup kita belakangan ini, sungguh merasakan bagaimana tekanan yang bersifat sistemik hampir membuat rakyat tak berdaya. Kerakusan kapitalisme, katakanlah, membuat kemiskinan tercipta secara struktural. Dan bagi sebagian rakyat ia tak memberi jalan keluar. Frustrasi, tindakan bodoh, kriminal hingga kebiadaban terjadi hanya karena sebagian dari kita tak mampu menanggung tekanan sistemik tersebut.

Kasus internal AS, subprime mortgage, juga menciptakan dampak rumah kartu yang luar biasa, yang dirasakan Sutarno penjual mebel di Jepara, atau Karsinah buruh pabrik sepatu di Tangerang. Stimulus sekitar 8.000 triliun rupiah (delapan kali APBN kita) yang disetujui Senat AS, ternyata hanya berfungsi untuk menetralisir bencana ekonomi mereka sendiri. Ditambah lagi dengan kecenderungan proteksionisme AS yang kian membuat Sutarno dan Karsinah kian pupus harapan.

Hal itu perlu ditambah sederet kasus, mulai dari masih enggannya mereka pada kesepakatan penurunan emisi karbon (yang sangat merugikan negeri berkembang), kontrak-kontrak eksploatasi sumberdaya alam yang timpang, hingga tekanan politik tingkat tinggi yang memengaruhi kebijakan-kebijakan dalam negeri. Di sini keterlibatan intelijen AS yang kontroversial, sejak masa revolusi, era 65, hingga kasus “Adam Malik” bahkan masa reformasi, juga perlu diletakkan dengan jelas di atas piring diplomasi.

Tak Lari Hillary

Karena itu kunjungan Hillary kali ini akan sangat menarik untuk kian menegaskan posisi Indonesia atas semua masalah di atas. Menegakkan kepentingan, juga harkat kebudayaan kita, di depan gerak infiltratif manapun, dari AS sekalipun. Sebagai seorang mantan senator, diplomat ulung, dan mantan calon presiden yang berderajat tinggi, tentu kita bisa bicara dengan elegan dan secara “gentleman” mendapatkan kesepakatan atau persertujuan yang beradab dari Hillary. Untuk klarifikasi berbagai hal, untuk menghormati cara kita hidup dan bertetangga, untuk juga mendapatkan kompensasi dari ulah-ulah ambisius para pendahulunya. Sebagai sesama negara majemuk, kerjasama harus terjalin berdasarkan pertukaran setimbang antara kekuatan-kekuatan kultural masing-masing negara. Bagaimanapun AS, juga Hillary, tentu sangat mafhum, kekuatan sebuah bangsa tidak hanya ditentukan oleh jumlah simpanan emas atau misil nuklirnya saja. Namun lebih utama pada integritas adab dan kulturalnya. Pada kekuatan manusia yang termuliakan oleh keluhuran nilai-nilai budaya yang sama-sama berhadapan dengan gerusan teknologi dan globalisasi.

Momen ini sungguh menarik. Kecerdasan dan keuletan diplomasi kita yang pernah terbukti dalam sejarah, sebenarnya dapat kembali bekerja untuk mengejar rasa hormat dan respek Hillary atas kedaulatan utuh kita sebagai bangsa. Ia seperti membalik logika lawatan diplomatis semacam ini: mengejar teman atau lawan untuk mau beriring atau berlari di belakang kita. Tidak. Kita tak akan meminta Hillary lelah mengejar kita. Kita yang akan mengejarnya, justru dengan kedatangannya. Dan untuk itu yakinlah, dengan segala respek, Hillary tak akan lari.

sumber: sindo, 18 februari 2009

Adab Politik

Politik macam apa yang menyuguhkan gosip atau isyu kosong di headlinesmedia massa. Seakan publikasi gratis untuk partai. Padahal sebenarnya rakyat banyaklah yang membiayainya.

Radhar Panca Dahana

Beberapa kalangan menengarai pernyataan Mubarok, Wakil Ketua Umum Partai Demokrat, tentang kemungkinan Partai Golkar hanya akan memperoleh 2,5% suara dalam pemilu legislatif mendatang, adalah sebuah kesengajaan yang direstui elit partai. Ada sebuah skenario yang tertulis di baliknya. Spekulasi pun berkembang di seputar skenario tersebut. Salah satunya menyatakan, pernyataan itu disengaja untuk melihat reaksi Jusuf Kalla, yang karena memiliki pembawaan spontan –karena itu kadang kurang taktis—akan membuat Ketua Umum Golkar itu dalam posisi defensif. Secara psikologis ia akan terlihat nervous, karena ia pun tahu analisis sebagian pengamat tentang akan merosotnya perolehan suara Golkar. Kondisi itu akan kian melemahkan posisi Golkar dalam power bargaining dengan Partai Demokrat. Alhasil, Demokrat akan semakin mudah mendesakkan kepentingannya, atau bahkan “mengendalikan” Golkar.

Namun di luar perhitungan itu, sengaja atau tidak, pernyataan Mubarok dapat dipahami sebagai semacam psychological offensive yang memproduksi wacana politik tidak produktif, kurang sehat, untuk tidak mengatakan lemah moralitasnya. Karena wacana itu dimunculkan semata sebagai rumor yang kotor, lantaran tidak dilandasi data atau analisis yang adekuat. Semacam missile strike, dalam perang terbuka, yang tak memperhitungkan sasarannya mengenai sekolahan atau rumah yatim piatu.

Yang dikejar adalah efek atau efektivitas tujuan. Tak peduli dengan dampak, yang dengan mudah disebut “sampingan”. Dan itulah yang belakangan terjadi dalam kuali panas politik-demokrasi kita belakangan ini. Rumors atau gosip-gosip diproduksi dan berseliweran, hanya berupa impresi, dugaan, praduga, atau kiasan-kiasan yang involutif dan tak ada peduli pada usaha pendewasaan kultur politik kita.Maka lihat, dengar dan bacalah headlines media massa utama kita, yang dipenuhi oleh “tomat kuning”, “main yo yo”, “main gasing”, “A dan B berkelahi C tertawa”, dan berbagai kampanye negatif lainnya. Apa yang tidak diperhitungkan dalam usaha menggodok demokrasi dalam kuali panas politik ini adalah: posisi publik sebagai konsumen langsung dari produksi wacana-wacana di atas.

Berapa waktu yang dicurahkan publik untuk mencermati wacana kosong berisi nafsu-nafsu politik kaum elit itu? Berapa energi, ruang pikiran hingga kemampuan kreatif publik yang diboroskan untuk itu? Diboroskan elit yang mengira dengan itu mereka pun mendapatkan publikasi gratis. Gratis? Tidak, tentu saja tidak. Karena publiklah yang membayar itu semua. Membayar halaman-halaman suratkabar, time slot di TV dan radio, lewat iklan-iklan yang sebenarnya mendapat biaya dari publik.

Kitalah yang mengongkosi pesta itu, pesta demokrasi semata untuk kegembiraan para pestawan, sekitar hanya 40.000-an elit itu. Betapa mahal. Bayangkan satu propinsi saja, Jawa Timur, mengeluarkan ongkos (uang publik) Rp 800 milyar. Belum dihitung pengeluaran masing-masing kandidat, para pendukung, relawan, dan akhirnya publik luas yang ruang-ruang hidup mereka dimanfaatkan atau dieksploatasi oleh kampanye kandidat. Jika semua ongkos sosial dan kultural dihitung, satu propinsi itu bisa meminta ongkos publik 4-5 kali lipat dari angka formalnya; alhasil Rp 3-4 triliun. Bisa Anda bayangkan pesta di tingkat nasionalnya? Dan dengan biaya puluhan triliun, setara bujet beberapa departemen itu, demokrasi dan proses politik yang mengiringnya, memberi kita kompensasi beberapa wacana kosong yang hampir tidak peduli dengan proses atau fungsi pembelajaran yang inheren ada dalam kerja politik. Politik sebagai sebuah kultur, perannya dalam sejarah adalah juga melakukan semacam pemberadaban pada publik yang menjadi konstituen, menjadi subyek utama kerjanya.

Namun dengan “adab” politik yang berkembang di atas, fungsi itu berlangsung atau terjadi secara negatif. Publik tidak pernah bertambah cerdas, tapi justru menjadi kian konyol, asosial, licik, penuh prasangka, bahkan keji dalam menjalankan fitrah politisnya. Meninggalkan semua nilai utama dan luhur dimana sejak awal politik digagas manusia beradab.

Jika demikiran, betapa demokrasi sungguh menjadi produk impor yang sangat mewah, super maha. Semacam lamborghini bagi rakyat jelata: kebutuhan supra-lux yang harus dibeli oleh rupiah-rupiah dari tetesan keringat rakyat kecil kita. Jika hal ini dianggap fair, dianggap sebagai wajib ain bagi bangsa yang konon ingin modern, bahkan sebagai hal yang taken for granted, maka kita pun harus menerima logika: rakyat berkorban dan bekerjalah keras demi kepentingan dan kesejahteraan kami, para elit.

Betapa memilukan, jika janji demokrasi pada esensiya sudah berisi pengingkaran terhadap subyek atau tujuannya sendiri. Sungguh lebih menggiriskan, bila deviasi ini pada akhirnya rakyat banyak juga yang harus menanggung dan menambal luka yang dihasilkannya. Dan bila elit sudah tidak memiliki lagi sayap hati untuk mengubahnya, tiada lain, rakyat itulah yang tidak boleh berdiam diri. Ia harus bicara. Bergerak. Menentukan dirinya sendiri. Bagaimana? Kapan? Jangan paksa tulisan ini menjawabnya.

sumber: gatra, edisi 19 februari 2009

Tuesday, January 20, 2009

Indonesia dan Revolusi Kata

Barangkali manusia ada ketika Adam jatuh dari surga ke sebuah daratan di Asia Tengah. Bisa jadi pula ia bermula dari seekor monyet yang berkembang menjadi pelbagai jenis hominid hingga homo sapiens sapiens alias manusia modern, sebagai perwujudan akhirnya. Semua penjelasan itu masih dapat dianggap kontroversial, ratusan hingga ribuan tahun setelah penjelasan awalnya.
Tapi satu hal yang tak lagi ditolak adalah proposisi yang menyatakan: manusia ditemukan oleh kata, oleh bahasa. Bahkan sebagian pemikiran, purba maupun modern, mengafirmasi bagaimana semesta ini ada –dalam arti bermakna—ketika ada kata-kata yang memberinya sebutan, memberi nama dan makna. Bukan hanya kata “kun” (jadilah) –dan homonimnya di berbagai bahasa—melukiskan bagaimana semesta ini berihwal dari sebuah mantra. Kata pertama dari ayat pertama kitab suci Islam pun menyebutkan “iqra” (bacalah), yang menjadi imperasi manusia untuk memahami bahasa (kalam) yang tersebar di tiap mili semesta ini, sebagai perangkat dasar manusia untuk mengetahui makna, menyadari keberadaannya.
Riwayat orang Jawa mungkin dapat menjadi cermin ontologis banyak sukubangsa. Walau hanya berasal dari penuturan seorang raja di salah satu kraton Solo –cerita yang berselubung mitos yang kental—orang Jawa mengakui bahkan menemukan diri eksistensialnya pada tarikh 78 M. Ketika Ajisaka, seorang Prabu dari India Selatan, ke pulau besar di Selatan ini. Ketika raja muda itu menaklukan raja lokal Dewata Cengkar, menganeksasi wilayahnya, merangkum riwayat itu dalam serangkum alfabet penuh makna: “hana caraka data sawala maga batanga pada jayanya”.
Maka dengan huruf-huruf itulah (penggalan dari setiap suku katanya), orang Jawa kemudian menyusun dirinya: hidup, sejarah, jatidiri, mimpi, hingga pemahaman-pemahaman filsafat dan spiritualnya, penyatuan mikro dan makrokosmosnya. Jawa, hanyalah sebuah allegori dari kekuatan kata/bahasa dalam menemukan manusia, menempatkannya sebagai khalifah bagi semua yang ada di bumi, juga semesta.
Kata atau bahasalah yang melucuti manusia dari kegelapan akal bahkan spiritual, bahkan keterputusan abadi dengan: “kebinatangan” homo sapiens yang hidup 30-35 ribu tahun SM. “Dan manusia”, sebagaimana dikatakan Julia Kristeva, dalam karya awalnya, Le Langage, cet inconnu, (Seuil, 1981), “seperti bahasa, (dan) bahasa di tempat manusia adalah sebuah gerak demistfikasi yang sempurna”. Bahasa, sebuah ruang tertutup dan terbuka sekaligus, dimana manusia henyak dan senyap di dalamnya. Dalam Les Mots (Gallimard, 1964), novel autobiografis tentang masa kanak-kanaknya, Jean-Paul Sartre menulis, “J’ai commencé mau vie vomme je la finirai sans doute: au milieu des livres” (“kumulai hidupku sebagaimana aku akan mengakhirinya dengan sebuah kepastian: di kerumunan buku-buku”). Sartre menemukan sekujur diri, hidup, dan makna yang berputar sekitar dirinya, dari kata-kata (les mots).
Apa jadinya hidup pendek yang sangat panjang ini tanpa kata? Tak ada manusia.

***

Dan apa jadinya kata tanpa pikiran di dalamnya? Tanpa gagasan yang memberinya isi, memberinya hidup, pertumbuhan dan apa yang disebut dengan “kekinian”? Sejak tulisan pertama di temukan di masa Sumeria, 4.000 tahun SM, manusia sadar: kebudayaan yang disusun dan peradaban yang terbentuk adalah hasil sublimasi dari kerja keras akal mereka ke dalam sublimasi medium komunikasi mereka, tanda-tanda simbolik bernama bahasa. Bahasa dan kata adalah tubuh dari pikiran dan gagasan manusia, pengambilalihan arti alam ini ke dalam dirinya.
Dua hal itu bukan saja tak terpisahkan, bahkan kesatuan yang akan membuat satu sisinya terpotong jika kita mengiris bagian lainnya. “Seperti satu lembar kertas,” kata Ferdinand de Saussure dalam kanonnya, Cours de linguistique générale, (1965: 157), “pikiran adalah recto dan suara adalah verso; seseorang tak dapat memotong satu sisinya tanpa memotong sisi lainnya di waktu yang sama; dan di dalam arti yang sama, dalam bahasa, seseorang tak dapat mengisolasi suara dari pikiran maupun pikiran dari suara (kata)”.
Maka, sejarah keberadaan –dengan kata lain penemuan dan berulangkali penemuan-penemuan baru setelahnya—manusia, adalah sebuah perjalanan dari pikiran, dari gagasan. Sebagaimana –juga disebut Yudi Latif—kata aqala (akal/pikiran) disebut hingga 50 kali dalam al-quran, begitupun baik Kristeva yang menyatakan, “pour saisir de langage”, untuk meraih (makna) bahasa, “il nous foudrait suivre le trace de la pensée,” (mau tak mau) kita harus mengikuti jejak pemikiran, Frederic Jameson di belahan dunia lain, menegaskan “sejarah pemikiran ada dalam sejarah modelnya...(dimana) model itu adalah bahasa” (The Prison-House of Language, Princeton, 1972).
Bila kata dan bahasa kemudian menjadi rumah di mana akal/gagasan berdiam dan menjelaskan dirinya, maka di tempat itu pula “the house of being”, rumah kenyataan dan keberadaan manusia. Rumah dimana kekuatan terbaik manusia, kebudayaan dalam makna luasnya, mendapatkan markasnya. Peradaban akhirnya terbentuk sebagai manifestasi material dari adab bahasa.

Apa yang terjadi kemudian adalah lalu lintas, dalam berbagai carrefour (perlintasan), adu kepentingan hingga kemacetan, diskursus bahasa yang ketat, yang memberi manusia sejarah, juga selebrasi atas kejayaan dan kedegilannya. Inilah sebuah sejarah bahasa, sejarah kata-kata, dalam arti politik (kekuasaan) adalah riwayat pertarungan antara diksi. Dalam rumah atau panggung itu, politik memang menjadi bagian yang sangat penting, karena ia juga menggunakan bahasa sebagai arsenal utamanya. Di samping kegiatan artistik (sastra khususnya), politik juga adalah prajurit tangguh bersenjata bahasa.
Di saat politik begitu kuat, menentukan hampir semua arah kehidupan, sesungguhnya pilihan kata dalam bahasa pulalah yang turut menentukan politik itu. Inilah motif yang membuat Cicero, bangsawan kata-kata, pindah dari Roma ke Yunani, mempertajam kemampuan bahasa, menyusun senjata mematikannya, retorika, dan meyakini, “tak ada satu hal pun yang tak dapat diciptakan atau dihancurkan atau diperbaiki dengan kata-kata”.
Dan betapa kita mafhum, bagaimana retorika, sebagaimana dinyatakan Antoine Compagnon, kritikus sastra yang berdiam paralel di Paris dan New York, telah kembali mendapat momentum dan kejayaannya di milenium ketiga ini. Setelah seratus tahun lalu ia dicurigai di Eropa daratan sebagai penyebab stagnasi bahkan kemunduran. Seratus tahun lalu rerotika pernah diturunkan dari panggung-panggung sucinya di jurusan-jurusan sastra dan humaniora lainnya.
Kini, dengan perluasan teknologi canggih informasi, yang memberi peluang kepada manusia –seperti iklan global minuman Amerika: siapa, dimana dan kapan saja—dapat mengaktualisasi diri lewat berbagai medium bahasa (suara, abjad, visual, hologramik, dan sebagainya), retorika dalam arti bahasa yang lebih luas, mengambil posisi yang sangat signifikan bahkan vital untuk sebuah penjelasan eksistensial, bahkan menciptakan kebenaran yang mengiringinya.
Politik bahasa ternyata mendapatkan kelanjutan atau kesinambungan yang penuh tenaga pada masa kini, bukan hanya untuk merebut perhatian publik, bahkan afirmasi publik demi terwujudnya pasar yang diinginkan, wilayah dominasi yang diinginkan, kekuasaan yang diinginkan. Maka sejarah bahasa dalam politik ini, sesungguhnya tetap menyimpan kerentanan paling purbanya sendiri: dunia politik rapuh dan cemas justru pada (kekuatan) bahasa lain. Pada kata atau diksi yang lain. Karena dalam logika politik, paling tradisional hingga paska-modern pun, bahasa dan diksi yang ada di dalamnya adalah penyangga dan benteng bagi pertahanan sebuah kekuasaan (status quo).


Dalam pemahaman terakhir di ataslah mungkin poin utama dimana kumpulan tujuh esai Yudi Latif dalam buku ini, mendapatkan sasaran panahnya. Ia tidak hanya memulai buku ini dengan sebuah aforisma, “setiap gerakan kebangkitan selalu bermula dari kata”, tapi juga menyitir di banyak bagian tulisannya, bagaimana berbagai kitab, teks utama atau babon-babon sastra menunjukan posisi kata atau bahasa sebagai “tuhan”, atau sebaliknya (the Word-God).
Dalam refleksinya tentang kebangkitan masyarakat kepulauan ini menuju sebuah bangsa, Yudi menunjukkan bagaimana bahasa yang tergunakan, pilihan diksional di dalamnya, menentukan tidak hanya cara berpikir, alternatif dalam memandang kenyataan, tapi juga stimulus pergerakan bagi sebuah kemajuan atau pembebasan. Kata kemadjoean atau perubahan kata indische menjadi indonesische hingga indonesia, memainkan atau menciptakan diskursus yang sangat penting dalam cara orang-orang kepulauan ini merumuskan diri, kenyataan sekitar, serta tujuan-tujuan hidupnya.
Karenanya, dengan pilihan kata yang hampir imperatif dan berulang, buku ini menegaskan pilihan terbaik bagi sebuah perubahan atau reformasi apa pun (di tingkat apa pun), tidak dapat terjadi secara substansial dan signifikan tanpa sukses kita menginisiasi sebuah gerakan kebudayaan. “Gerakan kebudayaan merupakan jantung reformasi sosial,” tulisnya seraya meneguhkan kebudayaan di sini dilandasi oleh sebuah arsenal terpenting: bahasa. Sastra dan keberaksaraan dalam arti praktisnya.
Dan betapa pentingnya bahasa/sastra/keberaksaraan sebagai landasan kebudayaan dari sebuah kebangkitan dan perubahan, membuatnya juga memiliki posisi sentral dan fundamental dalam diri manusia sebagai kekuataan terbaik dalam proses kebangkitan itu. Kualitas manusia yang tumbuh sebagai karakter kuat, yang mampu menolak atau meminggirkan dua bahasa mediatik paling dominan, sebagaimana dikutip Yudi dari Rushworth Kidler: politik (who’s the wining, siapa yang menang) atau ekonomi (where’s the bottom line, dimana untungnya), dan menggantinya dengan satu bahasa dominan baru, bahasa kebudayaan, tentang what’s right (dimana kebenarannya).
Pada pertarungan kekuasaan, yang sekali lagi tak lain adalah pertarungan bahasa ini, kata-kata dan diksi menjadi prajurit di garda depannya (avant-garde). Dimana kekuatan dan kekuasaan tradisional, seperti dijelaskan di atas, mendapat ancaman terkerasnya dari munculnya kata, diksi dan bahasa baru di wilayah kekuasaan, di tengah publik yang didominasinya. Kita tahu, di banyak dekade mutakhir, pilihan-pilihan kata yang dipilih penguasa (politik-ekonomi-militer-agama, dsb) –yang juga didistribusi oleh media massa yang berkepentingan sama—menciptakan sebuah pola kesadaran tertentu. Pola dimana kenyataan ternyata sudah dikonstitusi lebih dulu, menjadi sesuatu yang semu, ilusif dan pada akhirnya menciptakan sebuah kesadaran semu dalam bentuk lain.
Diksi-diksi seperti “separatisme”, “teror”, “penyesuaian harga”, “penyalahgunaan wewenang”, “ganti rugi”, “narapidana”, “PSK”, “BLT” hingga pada terma-terma seperti “demokrasi”, “pemilu langsung” atau “keterwakilan”, sebenarnya tidak lain adalah ruang-ruang tertutup dimana kepentingan politik dan status quo bersembunyi di dalamnya. Bila di masa lalu kata kemadjoean dapat memainkan peran penting dalam meneguhkan diri masyarakat sebagai sebuah bangsa, mungkin pada saat ini hanya dengan kata, misalnya, “wakil” atau “perwakilan”, sebuah perubahan radikal bisa dilakukan. Dengan misalnya, mengubah makna kata tersebut, atau menggantinya dengan istilah lain, karena kata tersebut sudah tidak lagi mewakili makna otentiknya, di saat mereka yang disebut “wakil (rakyat)” atau orang dipercaya rakyat, justru mengkhianati mereka yang telah memberinya kepercayaan dan kekuasaan.
Maka siapa pun yang menyatakan dirinya sebagai “wakil” pun pantas ditolak bahkan dikhianati. Apapun yang dilakukan dan diproduksi oleh “wakil” tersebut juga pantas ditolak, diingkari. Maka, dari sebuah diksi pun, perubahan radikal bisa dibayangkan terjadi: masyarakat menolak semua produk yang dihasilkan parlemennya! Satu gerakan bahasa, sebagai inti dari gerakan kebudayaan, landasan dari satu kebangkitan dan perubahan pada akhirnya, akan terjadi: dimulai dari beroperasinya, bergeraknya kaki-kaki dari kata-kata.
Itulah makna yang membuat buku renungan esaik Yudi Latif ini pantas dikunjungi dan juga direnungi lebih dalam. Gerak manusia, gerak sebuah bangsa, tidak lain berhulu pada satu gerak kebudayaan, dimana bahasa sebagai intinya. Revolusi pun terjadi, bermula dari kata-kata yang melawan, karena kaki-kakinya yang perkasa mulai melangkah dengan penuh tenaga.
pamulang, 2008

Sunday, January 11, 2009

Metamorfosa Kosong 5


( 5 )
DI RUANG PERTAMA. CAHAYA LEBIH TERANG. FITRI DAN DARMO DAN SEGELAS KOPI. ROKOK YANG MENYALA. DUA MINGGU KEMUDIAN.

FITRI : (MONDAR MANDIR) Dingin sekali....
DARMO : Kau kedinginan. Masih terlalu pagi, memang. Mendekatlah sini. Biar kau kena cahaya dan bisa merasa lebih hangat.
FITRI : Ponco juga pasti merasa kedinginan. Biar aku di sini saja. Aku ingin merasakan apa yang Ponco rasakan.
DARMO : Tapi di situ terlampau gelap, Fitri.
FITRI : Sel Ponco pasti lebih gelap lagi.
DARMO : Kau tidak merasa takut di situ?
FITRI : Apa yang dihadapi Ponco tentu lebih mengerikan.
DARMO : Terlampau larut kau dibawa perasaanmu sendiri.
FITRI : Ponco pagi ini akan ditembak mati.
DARMO : Sudahlah, Fitri. Sudah. (BERDIRI DAN BERJALAN KE SUDUT YANG LAIN)
FITRI : Kenapa sudah, Darmo? Apanya yang sudah? Kau pikir kita sudah bisa tenang dengan Ponco dilahap peluru panas di lehernya? Sementara badannya tentu terlalu dingin untuk itu.
DARMO : Aku tidak berkata begitu. Aku cuma memintamu untuk mengerti dan tenang, bahwa ini memang mesti terjadi.
FITRI : Jangan mendakwa aku, Darmo. Aku sangat mengerti. Mengerti sekali bahwa ini memang harus terjadi. Ponco ditembak mati. Keyakinan yang begitu besar, semangat yang begitu tinggi, kejujuran hati. Semua itu harus ditembak mati.
DARMO : Ia mati untuk menghidupkan yang lebih banyak lagi.

FITRI : Ponco adalah patriot besar. Negeri ini tak boleh melupakannya. Juga darah darah lain yang tumpah untuknya. (MENUNDUK) Aku hanya merasa ngeri, banyak orang setelah kita, duduk di atas darah Ponco, mengatasnamakannya untuk mendapatkan posisi dan memperoleh keuntungan-keuntungan politik, ekonomi, atau sosial karenanya.
DARMO : Terkutuklah orang seperti itu.
FITRI : Zaman selalu diisi oleh jenis-jenis manusia seperti itu.
DARMO : Dan kitalah yang menentangnya. Tanpa boleh menyerah.
FITRI : Dengan tubuh dingin dan peluru panas.
DARMO : (MENGHELA NAFAS) Tenangkan jiwa dan pikiranmu, Fitri. Ponco bisa saja bebas. Kalau Gubernur Jenderal mau mema'afkan dia. Dan rekan-rekan kita di Volksraad tentu tak berhenti bersuara dan berusaha untuk membebaskannya. Aku yakin, Thamrin, Yamin dan yang lainnya akan membelanya terus. Dan ...kita tahu, orang seperti Ponco masih kita butuhkan.
FITRI : Tidak. Ia akan mati. (DARMO MENOLEH KE ARAH FITRI) Inilah jalan yang memang sudah diinginkannya. Ponco akan merasa lebih bahagia dengan kematian ini. Aku bisa merasakannya. Dalam hitungan mundur ini, aku rasakan tubuhnya yang dingin sudah jadi kosong. Tanpa lagi diderita rasa dingin atau kekecewaan pada kita yang mungkin tak mampu melanjutkan perjuangannya dengan lebih baik.
DARMO : Kita tidak akan pernah berhenti berjuang, Fitri.

SUTRIS TIBA-TIBA SUDAH MUNCUL DI PINTU.

SUTRIS : Kita tidak akan pernah berhenti berjuang, Fitri.
DARMO : (MENOLEH) Kau kembali, Sutris.
SUTRIS : (MELANGKAH MASUK) Aku akan menggantikan tempatnya, setelah dulu aku gagal menjadi pendampingnya. (DUDUK) Aku tak bisa menahan getar tubuhku, saat di sidang kudengar Ponco berkata lantang, "kematian akan merupakan protesku yang tertinggi terhadap dunia yang penuh darah dan airmata ini."
FITRI : “Dunia yang penuh darah dan airmata”.
SUTRIS : Ponco kemudian berteriak seperti sebuah sangkakala, "Protes yang menyerap segenap kemanusiaan yang kumiliki ini, akan memanggil seluruh jiwa yang jujur untuk membela dan memperjuangkan apa yang sebenarnya menjadi haknya." Pada saat itu aku mengambil keputusan untuk kembali. Aku tak bisa mema'afkan kepengecutanku yang lalu. Aku berlari. Dan membunuh bergundal kolonial yang memperkosa seorang gadis. Kini, bom sudah kutanam di jantung dan benakku. Aku siap melemparkannya, kapan pun. Aku siap menerima tugasmu, Darmo. Apa pun.
DARMO : Aku bahagia dan bangga, Sutris. Kuterima baik kau kembali.
FITRI : Ponco pasti merasa senang. Dari semula tak pernah luntur kepercayaannya padamu, Sutris. Tubuhnya tentu akan sedikit lebih hangat jika ia bisa mendengar kata-katamu ini.
SUTRIS : Mestinya aku bisa menyelusup ke tempat hukuman tembak dilangsungkan. Tapi aku bertemu Wali di sana. Ia minta aku ke sini. Dan aku kembali.
FITRI : Waktunya sudah dekat. Mestinya kini ia tengah digiring dengan mata tertutup ke lapangan hukuman. Dan bibirnya pasti takkan pernah berhenti menyenandungkan, "Indonesia merdeka...!"
WALI : (MEMBUKA PINTU DAN MASUK) Dia memang rekan dan pahlawan yang dapat dibanggakan. Kita keliru kalau selama ini sering menyangsikannya. Aku merasa bersalah karena itu.
FITRI : Kau dari sana, Wali?
WALI : Aku menyaksikan semuanya.
FITRI : Adakah ia gemetar?
WALI : Ia tegar dan menolak matanya ditutup.
FITRI : (PADA DIRI SENDIRI) Tubuhnya mesti kedinginn. (PADA WALI LAGI) Adakah yang dikatakannya.
WALI : Ia mendengar apa yang dikatakan oleh seorang ahli agama di depannya. Tapi kemudian ia bicara dengan lantang, "Aku tidak menolak adanya Tuhan. Tapi kematian seperti ini sudah kupilih. Aku tidak membutuhkan petuah-petuah cengeng. Aku tidak butuh Tuhan. Apalagi jika ia diucapkan hanya sebagai hiburan".
FITRI : Dan peluru ditembakkan.
WALI : Dan peluru diletuskan.
FITRI : Dan tak ada keluhan sedikit pun keluar dari bibirnya.
WALI : Tak ada keluhan keluar dari hatinya.
FITRI : Tubuhnya layu dengan darah di sekujur tubuhnya.
WALI : Cukup, Fitri! Buat apa kau menyayat-nyayat dirimu sendiri dengan cara seperti itu.
FITRI : Dengar, Wali. Kau harus menceritakan lebih rinci, dan lebih rinci lagi. Bagaimana semua itu berlangsung dan terjadi. Karena aku mau kepahitan itu berarti. Karena Ponco tidak boleh mati sia-sia.
DARMO : Diam!!
FITRI : (LEBIH KERAS LAGI) Tidak!! Kau harus bicara. Kita harus bicara. Ceritakan padaku sekarang, Wali, bahwa Ponco melangkah dengan kaki menapak lantai yang ia jejak. Bahwa Ponco menegaskan perjuangannya sampai detik terakhir ia bisa merasakan dingin tanah negeri yang dicintainya ini. Sampai detik terakhir keindahan dunia bisa ia hisap!

WALI DIAM SAJA.

FITRI : Kau harus mengatakannya, Wali. Kau harus katakan!
DARMO : (MENGHELA NAFAS) Katakan, Wali!
WALI : Ia masih bicara satu kalimat di akhir kesempatannya.
FITRI : Terus, katakanlah Wali.
WALI : Ia berkata lurus, seolah pada moncong senapan yang diacungkan padanya, "Tak ada lagi yang kukenang sekarang. Urusanku dengan hidup sudah selesai. Dan aku sudah menyiapkan tempat untuk kematian".
FITRI : Ia telah dapatkan kedamaian. Terus, Wali.
WALI : Sampai kapan kita lanjutkan perkosaan bathin ini, Fitri.
FITRI : Aku punya hak untuk mendengarnya. Aku berhak. Mungkin bagimu hal itu jadi sebuah perkosaan. Karena kau cemburu padanya. Kau tak dapat berbuat seperti dia. Apalagi memperoleh apa yang telah dia peroleh. Kau takkan mendapat kemurnian, kejujuran, dan penyatuan diri sebagaimana Ponco telah dapatkan. Kau tak bisa berdamai dengan apa saja. Sebagaimana Ponco telah berdamai dengan hidup ini. Bahkan dengan semua derita yang ia peroleh, semua airmata yang mengalir di kakinya. Kau takkan memperolehnya. (MENGHADAP SEMUA) Juga kita.

SEMUA DIAM

FITRI : Kosong. Ia sampai pada kekosongan dimana segala unsur hidup bersatu. (MENUNDUK) Bertahun-tahun aku mencitakan hal itu. (PADA DARMO) Bertahun aku tak berbuat salah pada perjuangan ini. Bukan begitu, Darmo?
DARMO : Kau adalah wakil yang sempurna dari perjuangan kita, Fitri.
FITRI : Aku belum pernah meminta pertolongan padamu, bukan?
DARMO : Belum.
FITRI : Dan kau akan menolongku sekarang, Darmo.
DARMO : Ya.
FITRI : Berikan aku bom. Biar aku yang akan merakitnya sendiri. Tapi atas izinmu, Darmo, aku akan melemparkannya.
DARMO : Itu tidak mungkin, Fitri.
FITRI : Mengapa tidak? Mengapa Darmo?
DARMO : Peraturan organisasi kita melarang wanita melakukan itu.
FITRI : Aku tahu itu. Aku tahu, sejak tadi aku sudah melupakannya. Aku harus melempar bom, dan aku berhak. Dan kau akan mengizinkannya, kasihku.

DARMO GELISAH.

FITRI : Aku tahu kau akan mengizinkan, Darmo. Karena kau tidak akan terlampau memikirkan kepentinganmu sendiri. Ketiadaanku akan justru menolongmu nantinya, sebagai pimpinan, sebagai pejuang. Sebagai orang yang mencintai...
DARMO : Fitri!
FITRI : Kau memberiku ijin? Aku tak salah dengar?

DARMO SANGAT GELISAH.

SUTRIS : Berikan ijin itu, Darmo.
WALI : Ia kini punya hak untuk itu.

DARMO MEMANDANG SEMUANYA DENGAN GELISAH. TERKAHIR PADA FITRI YANG MATANYA LURUS TAJAM MENATAP MATANYA.

DARMO : Aku tak mengerti, apakah aku telah mengambil keputusan yang tepat atau tidak. Tapi...memang, tak ada yang bisa menghalangi kau untuk melakukannya, Fitri.
FITRI : Bagus!

FITRI KE SUDUT. DUDUK MEMBERESKAN PERKAKAS. SUARA SIRENE MERAUNG TIBA-TIBA. SEMUA GELISAH. SALING BERTANYA DALAM HATI. SIRENE DAN SUARA RIBUT MENGURUNG. PESAWAT SEPERTI MENDERU DI ATAS KEGELISAHAN MEMUNCAK..DAN...SUARA BOM BESAR MENGGELEGAR. SEMUA HANCUR. FITRI MASIH MEMBERESKAN PERKAKAS.

LALU GELAP.

Jakarta, 03 Oktober 1990/Teater Kosong

Metamorfosa Kosong 4


( 4 )
SEBUAH PENJARA. LELAKI SETENGAH TUA DAN GEMPAL MENGEPEL LANTAI. HENING. HANYA KERESEK SANDAL LELAKI TUA DAN KAIN PEL YANG BERADU DENGAN LANTAI. DI SATU SUDUT, DI BALIK TERALI, PONCO DUDUK.

PONCO : (MENGHAMPIRI LELAKI) Kau tentu orangh hukuman juga.
LELAKI : Siapa di sini yang tak mengalami hukuman.
PONCO : Apa perkaramu?
LELAKI : Biasanya lelaki yang ada di sini. (PAUSE) Kubunuh tiga orang dalam satu gerakan.
PONCO : Kau rampok mereka?
LELAKI : Begitulah. Tapi...ah sudahlah. Di sini tahanan dilarang bicara sebenarnya.
PONCO : Kau sebenarnya tidak merampok.
LELAKI : (MEMANDANG PONCO. LALU CELINGUKAN) Anakku belum makan dua hari. Kalau aku dan istriku tak persoalan. Tapi uang panenku, seluruhnya untuk bayar lintah darat. Itu soalnya. Kuminta sebagian, tak boleh. Ya, aku kesel, kuambil semuanya.
PONCO : Dia melawan.
LELAKI : (TERKEKEH) He..he.. Ronggo kok dilawan. Entek kabeh.

LELAKI TERTAWA. JUGA PONCO. SUARA PENJAGA TERDENGAR DI BALIK PINTU MEMBENTAK. KEDUANYA MENUTUP MULUT.

LELAKI : (CELINGUKAN) Kalau kau? Berapa?
PONCO : Satu orang.
LELAKI : Umurmu?
PONCO : Sekarang jalan dua empat.
LELAKI : Belum kawin?
PONCO : Belum.
LELAKI : Selamat.
PONCO : Aku takkan beruban di sini?
LELAKI : Aku saja belum. (TERKEKEH) Kau pasti akan merasakan enaknya kawin. Pasti. Mudah-mudahan pada saat itu aku bisa datang. (TERKEKEH. TIBA-TIBA) Siapa yang kau bunuh, anak muda?
PONCO : Residen.
LELAKI : (TERLONCAT) Diamput! Diamput!
PONCO : Kenapa, pak?
LELAKI : (MATANYA NYALANG) Diamput. (GELENG-GELENG) Berat, berat.
PONCO : Aku sudah tahu. Itu yang aku pengen.
LELAKI : Bajingan! Tapi aku ndak rela..ndak rela.
PONCO : Kenapa?
LELAKI : Kau orang organisasi?
PONCO : Ya. Kenapa?
LELAKI : (MENDEKATKAN WAJAHNYA) Aku algojonya di sini.
PONCO : (TERTAWA) Selamat...selamat!
LELAKI : (BINGUNG) Kurang ajar. Kok malah ngakak. Kok ndak tahu kau bikin repot saja.
PONCO : Kenapa?
LELAKI : Kalau aku memenggal satu kepala atau menembak mati, satu tahun hukumanku berkurang. Tapi tiga tahun bertambah kalau aku menolak tugas itu.
PONCO : (TERTAWA)
LELAKI : Dan aku sudah mau bebas!
PONCO : (TERTAWA)
LELAKI : Padahal aku nggak mau membunuhmu, goblok!
PONCO : (TERTAWA LEBIH KERAS)

SEORANG PERWIRA DAN DUA PENJAGA TIBA-TIBA SUDAH MASUK. BERSAMA SEORANG WANITA.

PERWIRA : Diam!

PONCO MASIH TERKIKIH. LELAKI SURUT, MEMBUNGKUKKAN BADAN, MENENGOK SEBENTAR PONCO. DAN PERGI.

PERWIRA : Apa yang dibicarakan?
PONCO : Bapak itu cerita, dia terkencing di celana waktu pertama kali melihat Anda. (TERTAWA)
PERWIRA : (MARAH) Diam!!

PERWIRA INGIN MEMUKUL PONCO DENGAN POPOR SENJATANYA. TAPI DICEGAH WANITA. LALU IA MENGUSIR LELAKI, MENGHAMPIRI PONCO DAN MEMBUKA PINTU SEL.

PERWIRA : (MEMPERSILAKAN WANITA MASUK KE DALAM SEL) Nyai ingin bicara padamu. Dia tak bermaksud jelek. Kuminta, kau juga bersikap sama. Bahkan bisa bekerjasama. (MENETI REAKSI PONCO) Silakan, Nyai.

PERWIRA KELUAR. MENGUNCI SEL DAN PERGI. DIIKUTI PENJAGA.

NYAI : Selamat siang, anak muda.
PONCO : Aku belum kenal Anda. Aku tak terbiasa meladeni orang tanpa tahu lebih dahulu siapa dia.
NYAI `: Aku Tuminah. Orang biasa panggil aku Nyai Tumi. Aku istri Residen yang kau bunuh.
PONCO : (TERKEJUT) Oohh...
NYAI : Aku ingin bicara padamu.
PONCO : (MENGENDALIKAN DIRI) Kalau aku bersedia atau menyediakan waktu untuk itu. Tapi rasanya aku ragu.
NYAI : Aku tak perduli itu. Aku mau bicara. Itu saja. Apa terlalu sulit kau menerimanya.
PONCO : Tak ada waktu untuk kompromi.
NYAI : Untuk orang yang telah kehilangan sebagian hidupnya karena kau. Untuk anak-anak yang jadi yatim karenamu?
PONCO : Tak ada sempat untuk menghasut.
NYAI : Kau berhadapan dengan wanita yang tiga puluh tahun capek menderita. Dan baru sebentar saja menerima ketenangan. Bersama lelaki yang seluruh hidupnya ia baktikan untuk mengabdi pada pendidikan orang kecil. Kau berhadapan dengan orang yang hendak mewakili anak-anak yang kini ragu akan masa depannya. Dan itu kau bilang menghasut?
PONCO : Pengkhianat punya seratus bibir, dan ribuan lidah untuk membasahinya.
NYAI : Bagaimana kau bisa bilang begitu pada seorang wanita yang berhari-hari tak mampu menahan dirinya untuk tidak merasa kehilangan? Pada seseorang yang tiba-tiba kehilangan seluruh temannya. Dan ia butuh bicara. Hanya untuk mencari teman. Bukan musuh, bukan. (PAUSE) Barangkali aku tidak dendam padamu. Orang yang sudah menghancurkan harapan yang baru saja muncul. Habis, habis sudah dayaku untuk membenci. Untuk dendam. Aku hanya ingin bicara.
PONCO : Sedari tadi kau sudah bicara.
NYAI : Ya, tapi bukan pada telinga. Aku ingin telinga. Hal yang di zaman ini tak lagi bisa kudapatkan. (MENGHAMPIRI PONCO) Katakanlah, anak muda, bahwa kau mendengar apa yang kukatakan!
PONCO : Aku mendengar. Karena aku bertelinga. Tapi buat apa?
NYAI : Buat apa? Buat kau gunakan, tentunya. Untuk menjawab pertanyaanku. Meredakan kegelisahanku. Memberiku sedikit saja perhatian.
PONCO : Aku menolak. Semua itu percuma. Untukku, juga bagimu.
NYAI : Barangkali wajahku sudah tak berujud manusia. Ya, bisa jadi. Beberapa hari ini kurasakan sudah hal itu. Tepatnya, ada sesuatu yang hilang dari diriku. Diriku sendiri...Lalu buat apa memberi perhatian pada orang yang telah kehilangan dirinya sendiri?
PONCO : Kau hadir di sini. Dan ada.
NYAI : Seorang nyai, bekas seorang istri residen. Itulah kenyataan yang hadir di depanmu. Dan ia tak memiliki apa-apa. Sebenarnya hal itu sangat kau mengerti. Apa yang dimiliki seorang nyai jika ia sudah menjadi janda? Kosong. Bahkan kehinaan. Mungkin anak-anakku sendiri takkan mengakui aku lagi sebagai ibunya. Hanya lantaran kulitku lebih gelap dari mereka. Nyai sepertiku sebenarnya tak lebih dari selembar foto. Mungkin menarik jika ia dihias pigura dan menempel pada satu dinding. Ia akan jatuh dan pecah jika dinding itu hilang. Tinggal foto yang ada. Tinggal foto, yang kau lihat sekarang. Ia bukan lagi manusia.
PONCO : Segala kehormatan telah dilucuti dari tubuhmu.
NYAI : Kau mengetahui itu, anak muda. Tapi lebih dari itu, ada hutang darah di antara kita. Aku tidak mau menagihnya. Cuma mengharap simpati dari seseorang yang tiba-tiba aku merasa dekat. Yang ternyata simpati itu tak bisa kudapat.
PONCO : Perhatianku kini terpusat antara mencari dan kehilangan diriku sendiri.
NYAI : Kita senasib. Itu aku tahu. Bukankah hal itu yang membuat kita kini ada di sini.
PONCO : Tapi aku tak membutuhkanmu. Aku mau sendiri. Aku mau kau pergi!
NYAI : Kenapa? Aku tidak tahu, sekonyong aku merasa kehadiran suamiku di ruangan ini. Adakah kau kau masih menyimpan sedikit darah suamiku. Mungkin di lengan bajumu, atau di ujung cahaya matamu.
PONCO : Aku tahu, besok aku akan menjalani hukuman tembak mati. Saat yang memang kutunggu sebenarnya. Karena dengan itu lengkap sudah, apa yang bisa kuberikan pada revolusi ini. Aku merasa bahagia. Perjalanan waktu menuju hukuman itu terasa abadi untukku. Aku seperti melihat jelas diriku sendiri. Aku ada. Karena ada sesuatu yang besar meluap dari ruang di ubun-ubunku, ruang di bathin, dan ruang yang diisi seluruh tubuhku. Tapi untuk itu aku harus sendiri. Aku tidak membutuhkan siapa pun. Tidak juga kau. Barangkali tidak juga teman-teman seperjuanganku. Aku memang mencintai mereka. Seluruh semangatku seakan masih bergentayangan di antara kawan-kawanku, di dalam rumah kecil di mana kami memulai perjuangan. Dan kehadiranmu di sini membuat aku merasa berkhianat pada mereka.
NYAI : Aku melihat sesuatu yang hidup. Meletup-letup. Aku melihat darah suamiku di situ. Aku seperti dibangkitkan. Suara itu, suaramu itu, anak muda. Mirip sekali suara suamiku jika ia sedang marah, melihat petani yang terlalu miskin dan tak berpendidikan.
PONCO : Tak ada kata-kata lagi yang dapat kudengar. Aku merasa hilang. Aku lenyap. Tapi ada. Aku ditelan oleh ruang ini, oleh penantian abadi ini. Atau akulah yang menelan semuanya.
NYAI : Suara itu, ya suara itu, milik suamiku. Juga matamu, gerak kecil tanganmu. Tarikan bibirmu. Tubuhmu. Rambutmu, lubang hidungmu...(MENDEKAT) Aku melihat suamiku hidup kembali.
PONCO : Seluruh inderaku mati. Mendengar dan merasa aku tak bisa. Tubuhku membesar. Ooh...membesar. Ruangan ini menjadi sempit. Kulit-kulitku menyentuh semua ruangan ini. Aku harus berkata, ruang ini sudah jadi tenggorokan nafasku. Dan kau perempuan, seperti duri ikan yang menyangkut di dalamnya.
NYAI : (TERSENYUM) Darahku bergolak. Semangatku menggelegak. Jangan-jangan aku sudah tak ada lagi di dunia. Ini seperti surga. Atau neraka? Persetan! (MEMBELAI PONCO) Aku tak mau kembali. Aku tak mau pergi dari sini. Di luar sana terlalu banyak masalah. Biarlah aku di sini, walau aku harus jadi masalah, jadi duri di tenggorokanmu. Biarkan aku hadir bersamamu, suamiku. Biarkan aku ada.
PONCO : (MEMEJAMKAN MATA) Tubuhku kian besar saja. Aku tak mampu menahannya. Ia mengambil ruang di luar penjara ini. Membesar terus. Mengisi segala ruang. Membuat padat udara seluruh negeri. Aku melihat diriku menjadi negeri. Kebebasan...Adakah itu kemerdekaan bangsaku? Adakah kulihat kebebasan bagi Indonesia? Oh... (DIBELAI-BELAI NYAI) Rasanya sesak dan lapang. Rasanya aku penuh dan kosong. Penuh dan kosong...kosong.
NYAI : Suamiku...suamiku... (MEMBELAI-BELAI, MERANGKUL, MENELUSURI SELURUH TUBUH PONCO)

LAMAT-LAMAT.

LALU PUDAR.

DAN GELAP.