Thursday, February 19, 2009

Tak Lari Mengejar Hillary

Radhar Panca Dahana

Kalau perempuan perkasa menjadi duta sebuah negeri, seperti Amerika, mengunjungi negeri seperti Indonesia, apa maknanya, secara budaya khususnya? Apa ini momen untuk menegaskan sikap dan adab kita sendiri?

Sejatinya orang Indonesia, bila ia kedatangan tamu, betapapun tamu itu pernah atau masih memiliki masalah dengan tuan rumah, kegembiraan dan keramahtamahan semestinya terpancar di wajah. Terlebih bila yang datang seorang perempuan, yang tak hanya charming, cerdas, penuh reputasi, bahkan menjadi duta dari tetangga yang memiliki performance tinggi seperti Amerika Serikat. Banyaknya komentar dan liputan media lokal memperlihatkan hal itu. Seakan yang akan datang lebih dari sekadar seorang menteri luar negeri, tapi pemimpin sebuah bangsa.

Bagaimana seorang Hillary Clinton, sebagai pribadi dan figur sosial-politik, tentu saja membuat kita merasa wajar dengan sambutan hebat itu. Walaupun Hizbut Tahir sempat menyuarakan suara penolakan terhadap kedatangannya, hampir umum kalangan memandang kunjungan diplomatis pembantu yang mantan lawan Barack Obama ini memiliki peluang memberi keuntungan taktis dan strategis pada tuan rumah.

Sebagai negara kedua yang dikunjungi –setelah Jepang—dalam lawatan perdana Hillary sebagai Menlu Amerika Serikat (AS), Indonesia segera berhitung akan posisinya yang ternyata begitu vital dalam perhitungan AS. Setidaknya bersama tiga negara lain, Jepang, Korea Selatan dan Cina, Indonesia dianggap sebagai salah satu faktor kunci dalam proses perbaikan citra AS sebagai negara adidaya dan super demokrasi. Sebuah posisi yang sebenarnya cukup mengejutkan, ketika negeri-negeri seperti Thailand, Filipina, bahkan Australia –yang merupakan sekutu dekat—justru dilewati.

Tentu bukan karena alasan romantis Hillary, menjambangi tempat dimana dulu bossnya pernah menyimpan memori. Atau sekadar ingatan saat ia mendampingi suaminya, mantan presiden Bill Clinton. Dimana menurut cerita, ia sempat berkunjung ke Temanggung, satu-satunya tempat yang sengaja ia datangi, karena rasa hormat dan respeknya pada keberdayaan kaum wanita di kota Jawa Tengah itu. Terutama dalam memperjuangkan hidup keluarga, aktualisasi diri hingga kontribusinya pada kebersian kota.

Hillary mungkin politisi tangguh, tajam dan keras. Namun dengan airmata yang dikeluarkannya di atas mimbar kampanye politik, kegiatan sosial, atau pembelaannya pada anak-anak, Hillary memberi sentuhan kemanusiaan yang lebih dalam, ketimbang misalnya wajah besi Menlu AS perempuan pendahulunya, Madeleine Albright. Dan biarpun semua hal itu tidak dapat digunakan sebagai alasan adekuat dalam diplomasi, tetap saja ia memberi dimensi tersendiri pada kunjungannya kali ini sebagai duta utama AS dan Obama, sang boss.

Hal itu pula yang akan menjadi modalnya, untuk “meminjam” Indonesia yang kini dianggap penting untuk mengobati luka-luka sejarah dan sentimen negatif dunia Islam yang diproduksi George W.Bush. Tentu saja “peminjaman” atau pemanfaatan citra ini bukan hanya karena Indonesia adalah teras depan peradaban atau komunitas Islam yang relatif lebih mudah didekati. Antara lain karena sistem politik dan ekonominya memiliki basis sama dengan mereka –demokrasi dan pasar bebas—sikap agamanya yang moderat, masyarakatnya yang mudah diajak bicara (bahkan diiming-imingi), tapi juga karena faktor historis: keterlibatan pemerintah (dan intelijen) AS yang cukup dalam di sejarah modern republik ini.

Tetap Problematik

Faktor terakhir di atas menjadi krusial karena faktor itulah yang membuat hubungan Amerika Serikat dan Indonesia (begitupun dengan kebanyakan negara lain) sebenarnya senantiasa problematis, baik ia laten maupun manifes. Semua bisa jadi bermula pada ambisi atau nafsu dasar sebuah negara yang menganggap dirinya besar, untuk mendesakkan kepentingan nasional, membenamkan pengaruh, hingga menanamkan peradaban yang ia anggap milik atau hasil kreasi bangsanya.

Dalam beberapa ukuran, AS tampaknya sukses merealisir ambisi itu, menjadi adidaya, kekuatan yang memengaruhi dan (seperti) tak terpengaruhi. Kebijakan unilateral yang kerap diambilnya, sebagai ekspose dari kuasa-tunggalnya (setelah Uni Soviet luluh lantak), secara ekonomi dan politik memberinya banyak profit. Tapi hal itu harus dibayar bukan hanya oleh perlawanan keras dari lawan-lawannya, ketidakpuasan sekutunya, tapi juga hancurnya wajah kebudayaan mereka sendiri, yang –konon—demokratis, toleran, egaliterian, dan sebagainya.

Bagi Indonesia, bagi rakyat umumnya, hal itu menciptakan refleksi yang ambiguistik, bahkan paradoksal. Dalam hal sistem politik dan ekonomi, misalnya. Basis yang sama di antara kedua negara dalam kedua sistem itu, tidak pernah secara utuh diterima sebagai sebuah garansi bagi –misalnya—pemuliaan manusia. Kapitalisme melahirkan keserakahan dan neo-kolonialisme. Demokrasi juga melahirkan kekerasan, menyuburkan prasangka dan tidak mengendurkan konflik.

Dalam refleksi itulah, kunjungan Nyonya Clinton ini juga harus diperhitungkan signifikansinya. Hidup kita belakangan ini, sungguh merasakan bagaimana tekanan yang bersifat sistemik hampir membuat rakyat tak berdaya. Kerakusan kapitalisme, katakanlah, membuat kemiskinan tercipta secara struktural. Dan bagi sebagian rakyat ia tak memberi jalan keluar. Frustrasi, tindakan bodoh, kriminal hingga kebiadaban terjadi hanya karena sebagian dari kita tak mampu menanggung tekanan sistemik tersebut.

Kasus internal AS, subprime mortgage, juga menciptakan dampak rumah kartu yang luar biasa, yang dirasakan Sutarno penjual mebel di Jepara, atau Karsinah buruh pabrik sepatu di Tangerang. Stimulus sekitar 8.000 triliun rupiah (delapan kali APBN kita) yang disetujui Senat AS, ternyata hanya berfungsi untuk menetralisir bencana ekonomi mereka sendiri. Ditambah lagi dengan kecenderungan proteksionisme AS yang kian membuat Sutarno dan Karsinah kian pupus harapan.

Hal itu perlu ditambah sederet kasus, mulai dari masih enggannya mereka pada kesepakatan penurunan emisi karbon (yang sangat merugikan negeri berkembang), kontrak-kontrak eksploatasi sumberdaya alam yang timpang, hingga tekanan politik tingkat tinggi yang memengaruhi kebijakan-kebijakan dalam negeri. Di sini keterlibatan intelijen AS yang kontroversial, sejak masa revolusi, era 65, hingga kasus “Adam Malik” bahkan masa reformasi, juga perlu diletakkan dengan jelas di atas piring diplomasi.

Tak Lari Hillary

Karena itu kunjungan Hillary kali ini akan sangat menarik untuk kian menegaskan posisi Indonesia atas semua masalah di atas. Menegakkan kepentingan, juga harkat kebudayaan kita, di depan gerak infiltratif manapun, dari AS sekalipun. Sebagai seorang mantan senator, diplomat ulung, dan mantan calon presiden yang berderajat tinggi, tentu kita bisa bicara dengan elegan dan secara “gentleman” mendapatkan kesepakatan atau persertujuan yang beradab dari Hillary. Untuk klarifikasi berbagai hal, untuk menghormati cara kita hidup dan bertetangga, untuk juga mendapatkan kompensasi dari ulah-ulah ambisius para pendahulunya. Sebagai sesama negara majemuk, kerjasama harus terjalin berdasarkan pertukaran setimbang antara kekuatan-kekuatan kultural masing-masing negara. Bagaimanapun AS, juga Hillary, tentu sangat mafhum, kekuatan sebuah bangsa tidak hanya ditentukan oleh jumlah simpanan emas atau misil nuklirnya saja. Namun lebih utama pada integritas adab dan kulturalnya. Pada kekuatan manusia yang termuliakan oleh keluhuran nilai-nilai budaya yang sama-sama berhadapan dengan gerusan teknologi dan globalisasi.

Momen ini sungguh menarik. Kecerdasan dan keuletan diplomasi kita yang pernah terbukti dalam sejarah, sebenarnya dapat kembali bekerja untuk mengejar rasa hormat dan respek Hillary atas kedaulatan utuh kita sebagai bangsa. Ia seperti membalik logika lawatan diplomatis semacam ini: mengejar teman atau lawan untuk mau beriring atau berlari di belakang kita. Tidak. Kita tak akan meminta Hillary lelah mengejar kita. Kita yang akan mengejarnya, justru dengan kedatangannya. Dan untuk itu yakinlah, dengan segala respek, Hillary tak akan lari.

sumber: sindo, 18 februari 2009

Adab Politik

Politik macam apa yang menyuguhkan gosip atau isyu kosong di headlinesmedia massa. Seakan publikasi gratis untuk partai. Padahal sebenarnya rakyat banyaklah yang membiayainya.

Radhar Panca Dahana

Beberapa kalangan menengarai pernyataan Mubarok, Wakil Ketua Umum Partai Demokrat, tentang kemungkinan Partai Golkar hanya akan memperoleh 2,5% suara dalam pemilu legislatif mendatang, adalah sebuah kesengajaan yang direstui elit partai. Ada sebuah skenario yang tertulis di baliknya. Spekulasi pun berkembang di seputar skenario tersebut. Salah satunya menyatakan, pernyataan itu disengaja untuk melihat reaksi Jusuf Kalla, yang karena memiliki pembawaan spontan –karena itu kadang kurang taktis—akan membuat Ketua Umum Golkar itu dalam posisi defensif. Secara psikologis ia akan terlihat nervous, karena ia pun tahu analisis sebagian pengamat tentang akan merosotnya perolehan suara Golkar. Kondisi itu akan kian melemahkan posisi Golkar dalam power bargaining dengan Partai Demokrat. Alhasil, Demokrat akan semakin mudah mendesakkan kepentingannya, atau bahkan “mengendalikan” Golkar.

Namun di luar perhitungan itu, sengaja atau tidak, pernyataan Mubarok dapat dipahami sebagai semacam psychological offensive yang memproduksi wacana politik tidak produktif, kurang sehat, untuk tidak mengatakan lemah moralitasnya. Karena wacana itu dimunculkan semata sebagai rumor yang kotor, lantaran tidak dilandasi data atau analisis yang adekuat. Semacam missile strike, dalam perang terbuka, yang tak memperhitungkan sasarannya mengenai sekolahan atau rumah yatim piatu.

Yang dikejar adalah efek atau efektivitas tujuan. Tak peduli dengan dampak, yang dengan mudah disebut “sampingan”. Dan itulah yang belakangan terjadi dalam kuali panas politik-demokrasi kita belakangan ini. Rumors atau gosip-gosip diproduksi dan berseliweran, hanya berupa impresi, dugaan, praduga, atau kiasan-kiasan yang involutif dan tak ada peduli pada usaha pendewasaan kultur politik kita.Maka lihat, dengar dan bacalah headlines media massa utama kita, yang dipenuhi oleh “tomat kuning”, “main yo yo”, “main gasing”, “A dan B berkelahi C tertawa”, dan berbagai kampanye negatif lainnya. Apa yang tidak diperhitungkan dalam usaha menggodok demokrasi dalam kuali panas politik ini adalah: posisi publik sebagai konsumen langsung dari produksi wacana-wacana di atas.

Berapa waktu yang dicurahkan publik untuk mencermati wacana kosong berisi nafsu-nafsu politik kaum elit itu? Berapa energi, ruang pikiran hingga kemampuan kreatif publik yang diboroskan untuk itu? Diboroskan elit yang mengira dengan itu mereka pun mendapatkan publikasi gratis. Gratis? Tidak, tentu saja tidak. Karena publiklah yang membayar itu semua. Membayar halaman-halaman suratkabar, time slot di TV dan radio, lewat iklan-iklan yang sebenarnya mendapat biaya dari publik.

Kitalah yang mengongkosi pesta itu, pesta demokrasi semata untuk kegembiraan para pestawan, sekitar hanya 40.000-an elit itu. Betapa mahal. Bayangkan satu propinsi saja, Jawa Timur, mengeluarkan ongkos (uang publik) Rp 800 milyar. Belum dihitung pengeluaran masing-masing kandidat, para pendukung, relawan, dan akhirnya publik luas yang ruang-ruang hidup mereka dimanfaatkan atau dieksploatasi oleh kampanye kandidat. Jika semua ongkos sosial dan kultural dihitung, satu propinsi itu bisa meminta ongkos publik 4-5 kali lipat dari angka formalnya; alhasil Rp 3-4 triliun. Bisa Anda bayangkan pesta di tingkat nasionalnya? Dan dengan biaya puluhan triliun, setara bujet beberapa departemen itu, demokrasi dan proses politik yang mengiringnya, memberi kita kompensasi beberapa wacana kosong yang hampir tidak peduli dengan proses atau fungsi pembelajaran yang inheren ada dalam kerja politik. Politik sebagai sebuah kultur, perannya dalam sejarah adalah juga melakukan semacam pemberadaban pada publik yang menjadi konstituen, menjadi subyek utama kerjanya.

Namun dengan “adab” politik yang berkembang di atas, fungsi itu berlangsung atau terjadi secara negatif. Publik tidak pernah bertambah cerdas, tapi justru menjadi kian konyol, asosial, licik, penuh prasangka, bahkan keji dalam menjalankan fitrah politisnya. Meninggalkan semua nilai utama dan luhur dimana sejak awal politik digagas manusia beradab.

Jika demikiran, betapa demokrasi sungguh menjadi produk impor yang sangat mewah, super maha. Semacam lamborghini bagi rakyat jelata: kebutuhan supra-lux yang harus dibeli oleh rupiah-rupiah dari tetesan keringat rakyat kecil kita. Jika hal ini dianggap fair, dianggap sebagai wajib ain bagi bangsa yang konon ingin modern, bahkan sebagai hal yang taken for granted, maka kita pun harus menerima logika: rakyat berkorban dan bekerjalah keras demi kepentingan dan kesejahteraan kami, para elit.

Betapa memilukan, jika janji demokrasi pada esensiya sudah berisi pengingkaran terhadap subyek atau tujuannya sendiri. Sungguh lebih menggiriskan, bila deviasi ini pada akhirnya rakyat banyak juga yang harus menanggung dan menambal luka yang dihasilkannya. Dan bila elit sudah tidak memiliki lagi sayap hati untuk mengubahnya, tiada lain, rakyat itulah yang tidak boleh berdiam diri. Ia harus bicara. Bergerak. Menentukan dirinya sendiri. Bagaimana? Kapan? Jangan paksa tulisan ini menjawabnya.

sumber: gatra, edisi 19 februari 2009