Thursday, March 19, 2009

Rumah (yang) Sakit

Banyak orang bilang, salah satu bisnis yang kini pasti menguntungkan adalah mendirikan rumah sakit. Pernyataan ini menggelikan, namun bila benar, menggiriskan.
Keuntungan dalam bisnis itu seperti memerah kebahagiaan dari derita/tangis orang lain: menampung uang dari darah atau nanah luka yang terbuka.


Namun, begitulah kenyataannya. Sakit dan penyakit tak ada musimnya, tak ada grafik menurunnya di negeri penuh gejolak ini. Bahkan di saat krisis—politik dan ekonomi—orang sakit tidak berkurang; justru meningkat, baik yang fisis, terlebih psikis. Dan itu membuat pebisnis kesehatan kian bergairah. Kita mafhum, banyak berita mengabarkan, dalam situasi seperti itu, para pebisnis kesehatan masih ”memainkan” bahkan ”menciptakan” varian penyakit baru demi jenis obat baru.
Kita pun sama paham, bagaimana bisnis rumah sakit kini memiliki performa, iming-iming, atau gimmick yang tidak kalah keren ketimbang wisata pantai, restoran mewah, atau karaoke keluarga kelas premium. Rasa sakit, penderitaan, dijadikan motif untuk menguras lebih dalam kantong penderita, dengan tawaran-tawaran leisure yang kadang menggelikan.

Lebih menggelikan para pelaku bisnis di negeri kita. Alih-alih meningkatkan pelayanan medisnya kepada publik, mereka mereaksi tren melimpahnya pasien lokal yang berobat ke luar negeri, dengan mendirikan rumah-rumah sakit mewah berkelas internasional. Bisnis itu ”dipindahkan” dari luar ke dalam. Esensi pelayanan termanipulasi fasilitas dan harga, dan diskriminasi pasien justru kian ditegakkan: ”Hei orang miskin dan sakit, bukan bagianmu mendapat pelayanan baik ini”.


”Fait accompli” pasien

Kita, sekali lagi mengerti, siapa paling diuntungkan dari kecenderungan ini. Dari semua aparat medis yang ada, tentu para birokrat kesehatan, terutama para dokter, yang mengais keuntungan terbesar. Bukan hanya dari tarif, harga obat, dan fasilitas yang disediakan. Sebagai sarjana dengan lima tahun waktu studi, para dokter mendapat imbalan luar biasa, berlipat-lipat dibanding kaum paramedis, misalnya, yang juga sekolah tiga hingga lima tahun.

Mungkin dalam tanggung jawab, dokter adalah pemeran utama. Namun, dalam praktik medis di rumah sakit, kaum paramedis inilah yang sebenarnya menggerakkan atau mengoperasikan mesin kesehatan. Berjaga menit ke menit, mengantisipasi situasi paling kritis di detik awal, mengayomi pasien, termasuk diserapahi keluarganya. Namun, untuk kesejahteraan, mungkin tiap bulan ia mendapat gaji yang didapat dokter hanya dalam sehari.

Pasien? Ia adalah obyek dari semua fait accompli. Ilustrasi kecil, saya meminta resep bisul kepada seorang dokter spesialis. Setelah saya cek harganya hampir Rp 300.000. Saya kembali dan bertanya, mengapa semahal itu? Dokter menukas, ”Bapak tidak percaya saya?” Saya ragu. Saya bertanya kepada dokter lain, yang memberi resep salep. Harganya: Rp 1.600. Dengan itu, dua hari kemudian bisul saya lenyap.

Berapa banyak pasien yang ragu seperti saya. Berapa nilai uang hasil diagnosis atau resep fait accompli itu. Ilustrasi ini lebih seru: satu kali saya operasi mengangkat tumor di pundak. Saya diperbolehkan pulang sesegera usai operasi, betapapun saya minta diinapkan. Belum setengah perjalanan pulang, luka operasi terbuka dan darah mengalir. Saya kembali. Dan dilakukan operasi ulang. Ternyata, luka tetap terbuka dan darah tiada henti mengalir.

Saya diinapkan. Dan diberi pilihan untuk operasi ketiga dengan kondisi: bius total. Sebuah kondisi yang bagi saya—pemilik penyakit akut lainnya—hanya memiliki dua opsi (menurut dokter bedah yang menjadi kepala tim): hilang sadar total (maut) atau masuk ruang ICCU. Saya terpana: karena kesalahan operasi saya mesti berada pada sebuah dilema yang komikal: maut dan hampir maut.

”Di mana tanggung jawab Anda, dokter? Kondisi ini bukan saya yang membuatnya, tapi Anda. Saya harus menerima tanpa kecuali. Saya tanggung semua risiko. Termasuk, mati atau tidak, saya harus tetap bayar Anda,” saya protes. Mereka tak bisa menjawab, hanya bertukas pendek, ”Semua terserah pada keputusan, Bapak.”

Saya terdiam. Mereka pergi. Beberapa dokter lain saya hubungi, tak ada advis yang melegakan. Semua bimbang. Nalar saya bergeser menjadi mistis: menyerahkan nasib pada yang memestikannya. Dan Dia menjawab. Operasi ketiga berlangsung 1,5 jam, terasa 1,5 detik buat saya. Saya langsung bangkit duduk dan berjalan, begitu usai dan sadar. Keadaan yang konon tak bisa terjadi, biarpun efek bius hilang (seharusnya) beberapa jam kemudian.


Orang miskin

Terlampau banyak kasus semacam bisa ditulis. Di mana posisi pasien, dirugikan seberat apa pun—hingga nyawa—tak ada pilihan. Dalam diagnosis, dalam peraturan tiap rumah sakit yang berubah-ubah, dalam resep, dalam biaya, dan lainnya. Beruntung bila satu-dua pasien cukup kritis, ia bisa menemukan hak-haknya yang umumnya kabur. Bagi masyarakat awam, hanya pasrah menerima fait accompli.

Inilah yang juga terjadi pada mereka yang sepatutnya mendapat asuransi atau jaminan kesehatan dari negara. Mereka harus dinyatakan benar-benar miskin untuk mendapat jaminan itu. Dan kebijakan baru menetapkan kemiskinan itu harus diumumkan di tiap kelurahan. Masalahnya bukan harga diri yang diobral oleh kebijakan negara, tetapi kategori ”miskin” sebagai kriteria dasar.

Orang miskin tentu membutuhkan kesehatan. Namun, tidak semua orang miskin. Beberapa orang miskin memilih harga diri ketimbang jaminan itu. Beberapa orang miskin tidak membutuhkan karena tidak percaya atau kecewa pada pelayanan medis yang ada. Ada pula orang ”tidak miskin” tetapi amat membutuhkan jaminan itu, demi pelaksanaan tanggung jawab keluarga, sosial; demi aktualisasi dan produktivitasnya.

Inilah golongan yang tidak dijamin siapa pun. Tidak oleh askes pegawai negeri, tidak oleh askes perusahaan, juga tidak askes perusahaan asuransi. Mereka adalah pekerja profesional dan bebas yang tidak terikat apa pun. Seperti pekerja kreatif, atau seniman. Dibilang kaya tidak, miskin bukan. Seorang penyair asal Medan memilih mati ketimbang harus menjalani cuci darah yang tak tertanggung olehnya.

Kasus seperti itu menjadi obligasi sosial kita, dan negara sebagai penanggung jawab utama. (Jaminan) Kesehatan harus diberikan kepada siapa pun yang membutuhkan, terlebih karena itu menjadi jaminan produktivitas serta kontribusinya kepada masyarakat. Dana jaminan dari rakyat harus dikembalikan sesuai situasi dan proporsi. Kasus mesti diperhatikan.

Bahkan setiap kebutuhan, setiap pasien harus diperlakukan sebagai unikum, sebagai kasus. Karena setiap penyakit pada akhirnya menyangkut sang korban, yang notabene seorang manusia, yang pada dasarnya unik, tersendiri. Negara mestinya paham, bahaya bila manusia ditempatkan hanya sebagai konstanta. Apalagi dipasrahkan pada logika bisnis rumah sakit di atas. Bisa-bisa negeri inilah rumah (yang) sakit itu.

Radhar Panca Dahana Sastrawan; Tinggal di Tangerang

Monday, March 2, 2009

Lima Pertanyaan Untuk Pemilihan

Barangkali media atau forum komunikasi virtual seperti Facebook yang populer itu bukanlah tempat paling tepat untuk mendapatkan kebenaran. Atau setidaknya menggambarkan kenyataan sesungguhnya.Namun media virtual paling terpakai di dunia itu dapat digunakan untuk melihat, mengetahui, dan menyadari bagaimana sebagian opini publik dan impulsimpulsnya berkembang. Tidak peduli,konon sukses Obama juga dibantu efektivitas informasi yang disebarkan via Facebook ke sekitar lima juta anggotanya.

Berbagai pendapat yang muncul di media itu, atas sebuah isu,kadang mengejutkan dan memberi kesadaran lain. Seperti saat saya mencoba menyodorkan beberapa pertanyaan sederhana seperti, “Apakah demokrasi di negeri ini harus diongkosi semahal itu?”; “Benarkah demokrasi itu pilihan satusatunya, bahkan given?”; “Jangan jangan demokrasi itu hanya semacam stiker,topeng,atau sekadar perban?”, dan lain-lain.

Jawaban-jawaban yang muncul sebagian nakal,menggelikan,konyol, dan mungkin terasa bodoh.Namun tak satu pun yang kekurangan nada serius di dalamnya.Hampir 100% dari para facebookers itu menjawab dengan— bila tidak sinis atau nyinyir— pesimistis bahkan tidak percaya sama sekali pada kata sakti itu: demokrasi. Ini mungkin hanya impuls. Tapi sekecil apa pun,dia tetap berharga,dan pantas direnungkan. Setidaknya untuk mereaksi perkembangan mutakhir dunia politik yang memanas karena mendekatnya pemilu. Pemilu, bukan kemenangan yang ada di puncaknya, kini seperti sudah menjadi tujuan dari keterlibatan tokoh-tokoh dan publiknya. Bahkan yang sadar,yakin,dan tidak bebal, mengetahui tiada potensi apa pun yang dimilikinya untuk menang,tetap ngeyel berpartisipasi dalam kompetisi ajaib ini. Pemilu, seperti lotre atau kasino, di mana setiap orang yang— sengaja atau tak—masuk ke dalamnya, tergiur dan terjebak mengikuti permainannya.

Berbekal hasrat yang sebenarnya dia tahu ilusif,hanya ilusi. Itulah yang terjadi, saat berbagai figur yang merasa dirinya tokoh, entah dengan wangsit atau dasar keberanian dari mana, mencatatkan dirinya sebagai calon presiden.Bukan hanya politikus tangguh, karbitan, mentah dan murahan, tapi juga pedagang/ pengusaha, praktisi hukum, pekerja sosial, aktor, pengangguran, hingga dia yang mengaku “kafir”. Apa yang umumnya mereka lakukan? Tipikal. Bahkan sangat sederhana. Menjual kebolehan dirinya, seperti penjual sepatu obral di pinggir jalan. Memamerkan kelebihan, jasa, atau pahala sosial yang katanya mereka miliki.Dan kita tahu,tidak lebih semua itu adalah sepatu obralan. Penggelembungan citra,untuk menggelembungkan nilai, lalu harga pada akhirnya. Syukur ada yang membeli atau tertipu.Jika tak ada,ya memang demikian realitasnya. Tapi siapa tahu?

Kalimat tanya terakhir di atas memberi indikasi penting dalam psikologi (masyarakat dan para “tokoh”) kita: memandang hidup tak kurang dari sebuah probabilitas yang tak membutuhkan statistik dan matematika kalkulus.


Melulu insting, intuisi, nasib baik, atau hoki.Persis gambling di meja kasino. Seperti orang tak menyangka PKS bisa menang di sentra PDIP dan Golkar (Jawa Timur dan Tengah),Dede Yusuf atau Rano Karno menang, atau bahkan SBY dahulu bisa terpilih jadi presiden. Kunci—katakanlah yang agak rasional—hanyalah pertanyaan: apa atau siapa yang dipilih? Adalah dia yang memiliki performa terbaik. Kemasan terbaik, yang memuaskan hasrat, mimpi bahkan ilusi konstituennya. Inilah masyarakat yang dibentuk oleh tradisi menonton atau visual di masa kini.Penampakan atau kemasan lebih penting dari (esensi) di baliknya. Maka, satu, tampilkan dirimu selembut dan seramah mungkin: senyum, belahan rambut rapi (kalau perlu ke kanan),busana terang,sikap rileks dan pandangan yang mengayomi. Kedua, jangan katakan yang buruk, apa pun, tentang diri sendiri, orang lain, apalagi publik (senegatif apa pun realitasnya).
Ketiga,gunakan semua media visual sebanyak-banyaknya, agar lubuk publik memendam kesan paling dalam padamu, ketimbang yang lain. Terus terang, ini resep seorang yang ingin jadi artis, selebritis, bintang sinetron misalnya. Karenanya tak heran, aktor sinetron Deddy Mizwar segera menangguk dukungan banyak partai,ketimbang ekonom kritis Rizal Ramli, misalnya, yang sudah begitu hebat berusaha melakukan penyadaran publik.


Banyak sebenarnya, orang yang cukup cerdas menyadari realitas publik seperti ini.Namun jangankan mereka prihatin dan berusaha memperbaiki, tidak hanya membiarkan, tapi justru mereka memanfaatkan. Kata sopan dari mengeksploitasi.Realitas publik itulah jawaban kedua dari pertanyaan yang harus diajukan bagi kualitas sebuah pemilihan (c/o demokrasi): siapa yang memilih? Mereka yang memilih adalah masyarakat yang telah dihancurkan dasar dan standar-standar penilaian mereka atas mutu hidup yang sebenarnya.Mereka yang digelapkan dari orientasi, kecuali pemenuhan kebutuhan yang hyper-pragmatis, luxuries, dan melulu leisure. Mereka yang kalah dan diperkosadankinidimintamenjadipemilih, aktivis demokrasi. Sistem yang tidak lagi memberikan pilihan untuk dirinya sendiri, karena itu sebenarnya menentang dirinya sendiri,demokrasi. Sistem yang paradoksal atau menyimpan pertentangan dalam diri itulah jawaban untuk pertanyaan dasar ketiga: kenapa memilih? Karena harus memilih.Namun paradoks itu sampai pada tingkat yang akut: harus memilih tanpa ada pilihan.

Pilihannya buntu hanya pada dua opsi: memilih atau tidak memilih. Dengan kondisi, pilihan kedua di-judge sebagai deviasi,menyalahi aturan, negatif, bahkan diharamkan. Pilihan itu tak bisa berkembang menjadi tiga, empat, dan seterusnya. Atau lebih esensial: tidak ada pilihan untuk memilih cara, sistem, atau logika pemilihan itu sendiri. Demokrasi itu sendiri. Ia akan menjadi aib sejarah, dosa adab. Hal inilah yang membutakan kita dari kemampuan dan kemungkinan menjawab pertanyaan di tingkat berikut: apa sebenarnya pemilihan atau pilihan itu?

Ketidakmampuan tersebut sungguh akan membuat kita asing pada pertanyaan yang lebih substansial, pertanyaan kelima: apakah hidup ini sebuah pilihan atau yang (telah) dipilihkan? Pertanyaan purba itu sudah lenyap dari saku atau berbagai gadget penyempurna hidup kita saat ini. Tak ada lagi kontemplasi mendasar tentang hidup kita saat ini.Yang ada adalah realitas yang harus—tak bisa tidak— diterima.Tak ada pilihan lain. Dan kodrat manusia, yang mendapat sedikit anugerah sifat jaiz dari Penciptanya, tak lagi bekerja.Manusia telah membekukan dirinya sendiri. Merobotkan dirinya sendiri. Membuat dunia, semesta, dan hidup yang bergulir bersama waktu di dalamnya, menjadi begitu sempit.Semacam tempurung virtual, hologram, yang merekayasa satu dunia, semesta, hidup, waktu,bahkan tuhannya yang baru. Betapa mahal,ongkos kultural (cultural cost) bahkan spiritual cost yang harus kita bayar ini.Yang tak tertanggungkan oleh anak cucu.

Wajar bila bumi, ibu kehidupan kita, menangis. Dan air matanya membuat kita tak berdaya.Tapi mana peduli kita?

Radhar Panca Dahana
Budayawan

sumber: Koran Sindo 27 Februari 2009