Saturday, April 25, 2009

Politik Tanpa Budaya


sumber:Kompas, Sabtu, 25 April 2009


Radhar Panca Dahana


Dia bukan hanya telah menghabiskan tabungan yang tak seberapa. Menjual sepetak sawah suaminya. Minta pinjaman kanan kiri dengan janji kiri kanan. Bahkan menggadaikan surat rumah, harta tertinggal satu-satunya. Hasilnya?

Perempuan mendekati paruh baya itu ditinggal suami, tak ditengok anak lagi, dan hidup menanggung sedih serta malu (apalagi di depan warga sekampung). Ia menyendiri, tak keluar sejenak pun, meringkuk kecut dan pucat di sebuah rumah panggung di belahan bukit di satu wilayah Jawa Barat bagian selatan.

Anda tentu telah menyangka. Kisah itu hanya satu dari ratusan atau ribuan kasus para caleg Pemilu 2009. Mungkin banyak yang lebih tragis. Namun, yang lebih tragis dari itu adalah ketidakpedulian dari mereka yang paling bertanggung jawab pada proses demokrasi: para pemimpin pemerintah, elite politik, dan pengamat. Bahwa kasus-kasus semacam itu bukan saja tidak pantas dinafikan apalagi diremehkan, tetapi ia pantas juga mendapat perhatian karena mungkin menyangkut soal yang lebih dalam, lebih substansial.


Namun, kenyataan mengabarkan, belakangan para petinggi politik melulu sibuk dengan hasil pemilu, dengan perselisihan DPT hingga proses penghitungan suara, plus intrik, konflik, dan permainan wacana di headline media massa. Masalah perempuan di belahan bukit tadi seakan tinggal menjadi konsekuensi pribadi.
Meski sebenarnya di balik kasus-kasus ”kegilaan” para caleg gagal tersembul masalah bukan saja soal tradisi dan kultur politik yang tidak matang, tetapi juga praktik demokrasi yang hampir tidak manusiawi dan perlahan menghancurkan karakter kemanusiaan, baik sebagai individu maupun satuan kolektif.

Hal pertama yang mungkin paling nyata bagi kita adalah bagaimana cara mereka yang berambisi menjadi anggota legislatif memandang peluang atau kekuasaan yang ingin diraih. Prinsip-prinsip ideal yang membuat kursi legislatif dihormati sejarah, tidak menjadi cahaya hati para calon pemiliknya. Jabatan seperti itu juga mungkin jabatan politik lainnya, diukur hanya dari kekuatannya sebagai legitimator dan pengakses sumber-sumber kuasa (tidak hanya politis, tetapi juga) sosial, ekonomis, dan sebagainya.

Bahkan mungkin ia tidak lebih dari sebuah simbol eksistensial, atau lebih rendah lagi sebagai simbol status atau gengsi. Semacam seri mobil, telepon genggam, atau perangkat hifi terbaru. Nilainya nominal, ekonomis, dan material. Untuk itu material cost dibutuhkan. Perhitungan saldonya pun material. Tidak aneh bila kebangkrutan caleg mirip pemain valas yang rudin: keduanya langsung lari ke dukun, Gunung Kawi, atau paling sehat terjerembap di pusat rehabilitasi mental.
Fundamen kebudayaan

Hal kedua, sebuah tradisi yang sebenarnya baru: memilih. Khususnya memilih pemimpin yang secara langsung mengatur bagaimana kita harus hidup pada zaman yang penuh gejolak ini. Kemiskinan tradisi (politik) memilih, karena tiadanya kultur yang melandasi, membuat perilaku pemilih di negeri ini menjadi aneh.

Preferensi figural mereka karena absennya budaya tadi cenderung ditentukan oleh ukuran-ukuran pragmatis, bahkan artifisial. Bukan rasional tetapi psikologis-mental. Bukan pada isi dan visi, tetapi pada artifisialisasi. Bukan pada rekam jejak, tapi performance. Seperti publik sebuah tontonan. Jadi tidak peduli, siapa, apa, dan bagaimana riwayat seorang tokoh pilihan, asal ia memenuhi prasyarat tampilan (dalam fisik, jargon, hingga entertainment yang ditawarkan, termasuk pembagian beras atau sumbangan uang), ia memiliki peluang besar menjadi populer.

Preferensi yang selebratikal ini memiliki ancaman serius bagi ideal-ideal yang ditanamkan founding fathers dan pemikirannya dikembangkan oleh segelintir pemikir. Bukan saja kemungkinan kita mendapat pemimpin yang tidak kapabel, lemah hati, bahkan otoriter, tetapi juga peluang kembalinya budaya politik yang korup, manipulatif, dan represif (meski bentuknya lebih soft dan ”modern”).
Persoalan ketiga, kita lalai pada proses pembangunan yang kini menjadi krisis, yaitu fundamen kebudayaan. Fundamen yang membuat semua proses dan penegakan demokrasi harus melayani hajat utama dan asalinya: mempertahankan dan mengembangkan harkat dan kedaulatan manusia; garansi pada kemuliaan dan survive-nya spesies utama di bumi ini. Tak ada produk kebudayaan mana pun yang tidak bekerja dalam tujuan itu.

Dan, fundamen itu tidak selamanya harus diadopsi begitu saja dari latar historis dan sosiologis masyarakat Eropa, tempat demokrasi bersemai. Tak bisa dielak, bukan sekadar karena keberlanjutan atau romantisme, tetapi karena realitas obyektif dari kondisi mental-psikologi masyarakat, fundamen budaya harus ditegakkan dari sejarah kebudayaan negeri ini sendiri. Modusnya, demokrasi mencocokkan diri, bukan sebaliknya, kebudayaan yang dicocok-cocokkan dengan proforma demokrasi, seperti yang kini terjadi.
Sejarah yang kalah

Ingar-bingar pesta demokrasi kali ini, harus diakui, terlampau mahal biaya (ekonomi, politik, sosial, dan kulturalnya) bila hanya untuk membayar pergulatan kepentingan segelintir elite, yang memaksakan wacananya ke dalam diskursus publik. Ia akan menjadi bencana, saat absennya kebudayaan dalam diskursus itu, bukan hanya karena alpa, tetapi juga karena kesengajaan untuk menepikan, menafikan, bahkan mengalienasinya, karena secara politis dianggap justru merugikan.

Hampir semua gejala minor, negatif, dan destruktif dalam praksis politik belakangan ini dengan mudah kita mafhumi karena ketidakmampuan kita, secara sadar dan di bawah sadar, menghayati, dan mewujudkan standar nilai, moral, dan etis yang ada dalam ruang kebudayaan kita.


Dalam masyarakat yang masih melihat Tukul atau Eko Patrio sebagai panutan, bahkan ideal type, peran para petinggi yang selebratikal masih kuat. Sungguh tragis bila mereka tidak menggunakan potensi itu untuk perbaikan yang fundamental, tetapi justru mengeksploitasinya untuk kepentingan temporal dan artifisial.

Tidak heran bila perempuan di belahan bukit itu akan segera mendapatkan banyak teman. Bukan dari sejawatnya dari kampung lain. Tapi juga mereka yang berrumah mewah, bersedan megah, berfasilitas melimpah, dan pernah duduk di kursi yang indah. Di situkah kita akan menuliskan sejarah? Sejarah bangsa yang selalu kalah?

Radhar Panca Dahana Sastrawan; Tinggal di Tangerang