Monday, May 18, 2009

Politik Tanpa Kecerdasan Publik


oleh Radhar Panca Dahana


Sejarawan yang Ketua Akademi Jakarta, Prof. Dr. Taufik Abdullah menggambarkan dengan cukup jitu, bagaimana pembangunan dan kerja keras dimensi hidup –politik, ekonomi, pendidikan, dan sebagainya—selaiknya memiliki platform kultural atau strategi kebudayaan yang kuat dan workable, dalam mewujudkan apa yang oleh konstitusi diamanatkan: “mencerdaskan kehidupan bangsa”.

Dalam sebuah pertemuan kaum budayawan di Jakarta, beberapa hari lalu, mantan menteri pendidikan dan kebudayaan yang memiliki tiga gelar doktor berjenjang dari Prancis, Prof. Dr. Daoed Yoesoef, mengelaborasi “kehidupan yang cerdas” itu sebagai kehidupan yang diisi oleh the educated men. Masyarakat yang berpendidikan, tidak dalam arti sempit sekadar nilai atau jumlah kelas dan tahun yang dijalani, namun lebih pada keterdidikan dalam mengapresiasi, memaknai dan mengisi kehidupan.

Itulah manusia yang berbudaya, man of culture, manusia atau masyarakat yang tidak memandang dan menghayati hidupnya melulu dari kotak dangkal dunia (disiplin)nya sendiri. Manusia yang melihat apa pun yang ia perbuat –juga orang lain perbuat—memiliki dampak terhadap lainnya. Pertimbangan sosial dan kolektif, jika tidak mendahului, setidaknya bersamaan dengan kepentingan pribadi yang dibelanya habis-habisan.

Inilah kapasitas umum, yang tentu saja menjadi prasyarat dasar bagi mereka, siapa pun, yang memiliki peluang, ambisi atau dipercaya memangku jabatan publik; mewakili khalayak atau orang banyak, memiliki obligasi moral, etikal hingga konstitusional untuk tidak hanya menyejahterakan tapi juga membawa khalayak ke masa depan yang pantas dan sesuai dengan apa yang pernah diraihnya secara historis, ratusan bahkan ribuan tahun lalu.

Membodohi Publik

Perkembangan mutakhir kehidupan politik kita belakangan ini, mirisnya, sama sekali tidak mendukung pemahaman di atas. Pemahaman sederhana, tidak terlampau rumit teoritis atau ideologis, namun ideal-pragmatis sebagaimana diamanatkan para founding fathers melalui konstitusi yang mereka lahirkan.
Cermati, misalnya, bagaimana satu kubu yang tengah menggalang koalisi dalam prosesi pemilihan presiden saat ini, dimana masing-masing juragan partai yang berkoalisi tersebut berebut dan tak mau mengalah hanya untuk menerima atau atau tidak sisipan “wa” dari kata capres.

Komitmen kekuasaan, politik dalam artis luas, untuk menjunjung setingginya harkat kemanusiaan dari khalayak atau publik, dalam situasi itu benar-benar seperti irisan daging steak di meja makan. Bisa tak jadi dimakan karena sausnya tak enak, atau terlupa karena sibuk ngobrol atau kenyang oleh makanan lain. Sehingga daging itu akan memucat, dingin, mengeras bisa jadi berjamur, sebelum seekor kucing, mungkin tikus, lalat, boleh jadi belatung menikmatinya.

Terlebih ketika ada kecenderungan dua kekuatan yang selama ini mengambil posisi bertentangan, dalam sebuah permainan keseimbangan yang konstruktif dan mutualistik, berdekatan untuk membuat koalisi. Koalisi yang tidak hanya membuat kekuasaan berlangsung timpang tanpa kekuatan besar mengoreksi diri. Atau semacam pengkhianatan pada pencitraan “ideologis” yang selama ini terjadi –yang satu pro modal dan lainnya pro publik—tapi juga lebih utama, niat koalisi itu meninggalkan pihak yang selama ini menjadi jargon keabsahan mereka: publik atau rakyat.

Mereka yang konon begitu gigih memilih demokrasi barangkali lupa, dalam definisi standar demokrasi, kata publik (rakyat) disebut tiga kali dalam definisi pendek itu: “dari rakyat oleh rakyat untuk rakyat”. Begitupun kata republik yang menjadi harga mati konstitusi serta 230 juta pemeluknya, mengindikasikan semua hal yang kita perbuat harus kembali (“re”) kepada publik.

Di titik ini, tentu saja dengan mudah kita mafhum, betapa permainan politik belakangan ini, alih alih mengarah pada tujuan dasar bernegaranya, “mencerdaskan kehidupan bangsa”, namun justru menegasinya. Bahkan lebih jauh dari sekadar melakukan “pembodohan”, tapi mengeksploatasi kebodohan itu.

Apresiasi Tumpul

Itulah yang tampaknya menjadi cermin terkuat dari wajah politik kita terakhir. Sebagaimana konflik berbagai partai mencuat ke permukaan lautan kesadaran kita. Para elite partai dengan sekehendak hatinya, menuruti nafsu kekuasaannya, melupakan bahkan mengalienasikan begitu saja publik yang telah mendukung, telah memilihnya. Para elite itu bersekongkol dan mengikuti lelang sapi serta saling menawar harga tinggi untuk daging mentah, bahan steak yang hanya mampu sesaat menggoyang lidahnya, mengisi jamban, atau meninggalkannya di ujung dapur, berkawan dengan jamur.

Cermin retak semacam ini disadari oleh banyak kalangan akibat dunia –lebih utama para aktor—politik telah kian jauh meninggalkan fundamen gagasan atau ideal dimana semula politik itu lahir, berkembang dan dirumuskan. Fundamen yang berisi kebijakan, fatsun-fatsun dan tujuan-tujuan yang semata hendak memuliakan spesies yang hidupnya sangat terancam ini: manusia.

Politik kita telah gagal mengidentifikasi (sekurangnya mengacu) diri pada argumen dasar keberadaannya sendiri; pada interaksi nilainya yang intens dengan nilai-nilai dalam dimensi kehidupan lainnya. Hingga kesadaran, empati dan apresiasinya menjadi tumpul. Membuat segala pesan, amanat, peringatan bahkan keindahan atau kebijakan lain mental kembali ketika bersentuhan dengan tubuhnya yang diselimuti sensasi.

Lumrah bila kemudian kebudayaan bukan hanya bermakna sempit di hati dan pikiran mereka, tapi juga terasa mengganggu karena –lebih dari sekadar nyinyir—dirasa menghalangi ambisi-ambisi pragmatis dan temporer mereka. Wajar pula bila tidak ada kebutuhan buat mereka menikmati karya seni bermutu atau menjalin relasi dan dialog dengan para penggerak kebudayaan, sebagaimana dicontohkan para pendahulu atau rekan negarawan mereka di segala bangsa.

Dangdut Politik

Secara logis, dalam arti artistik, mereka hanya akan merasa dekat dengan apa yang kita sebut pop art atau pop culture, dalam arti produk artistik/kultural yang hanya menyentuh pemahaman awam, superfisial, seperti bunyi “pop” dari busa sabun pecah yang mengambang di air. Tak mengherankan bila mereka dekat dengan Jamrud, Kangen, boleh juga ST 12, atau mengukur puncak prestasi film dengan Ayat-ayat Cinta, sastra dengan Laskar Pelangi, lukisan dengan gambar buah-buahan taman Suropati. Bukan sebuah kesalahan, bukan. Sebagaimana pengalaman saya berikut.

Saat kampanye partai Golkar, melihat penyanyi dangdut di panggung menyanyikan karya Rhoma Irama yang terkenal, Kegagalan Cinta, berbunyi antara lain: “Kau yang mulai kau yang mengakhiri, kau yang berjanji kau yang mengingkari”. Sambil mata “merem-melek” rakyat bergoyang begitu khusyuk. Sekhusyuk penghayatan pada nasib partainya...maksud saya, nasib hidupnya sendiri.

Saya harus mengoreksi kata terakhir itu, karena seorang teman mencolek untuk melihat kampanye partai PDI-P yang juga berdangdut dengan lagu yang dipopulerkan penyanyi cantik Kristina, “Jatuh bangun aku mengejarmu, namun dirimu tak mau mengerti...”. Saya hendak tersenyum, dan ingin segera pergi. Tapi kaca mobil berdengung saat seorang anak kecil mengamen persis di sisi menyanyikan lagu Caca Handika, Angka Satu: “Masak masak sendiri, makan makan sendiri, cuci baju sendiri, tidur pun sendiri...” Saya hanya menggeleng dan seraya memberi receh sempat melirik lambang di kaos anak itu, bergambar garuda Gerindra.

Ah, gara-gara koalisi aneh dua partai besar tadi. Sambil senyum, saya tancap gas.