Saturday, June 20, 2009

Memperalat Kebudayaan



radhar panca dahana

Pada misi purbanya, kebudayaan sebenarnya tidak lebih dari usaha manusia untuk survive, mempertahankan diri (spesies)nya. Pada masa lebih kemudian, katakanlah di masa yang kita sebut modern, kebudayaan menjadi sebuah upaya manusia memuliakan dirinya, dengan kesadaran ia adalah spesies terunggul, setidaknya di bumi.

Di kurun akhir ini, keunggulan spesies itu mengalami ujian yang sangat berat, ketika berbagai fenomena alam –juga rekayasa kebudayaannya sendiri-- menunjukkan indikasi-teruji akan adanya semacam “big bang” baru yang memiliki potensi memusnahkan hingga 75% populasi dan hampir seluruh harta peradabannya. Tampaknya misi kebudayaan, dalam jangka dekat, tak tertolak akan kembali pada kondisi purbanya.



Dalam pemahaman ini, semua gerak, aktivitas hingga ambisi hidup manusia, tak terhindarkan dari kewajiban untuk mempertimbangkan kerja-kerja kebudayaan. Kerja yang memberinya dasar eksistensial dan orientasi hasilnya. Kesadaran atau obligasi peradaban ini, malangnya, belum mengisi alam kognisi kita, terutama para elit di segala dimensi; pihak yang sebenarnya menentukan kerja-kerja itu.

Di bagian politik, para penguasa atau pemimpin bangsa, nampaknya kewalahan sekadar untuk menjelaskan pemahaman yang cukup komprehensif mengenai hal tersebut. Terlebih ketika mereka harus mengelaborasinya ke dalam sebuah strategi (kebudayaan) atau program-program kongkret yang harus dilakukan. Dialog yang terjadi antara para budayawan dengan para calon presiden dan calon wakil presiden di Jakarta beberapa waktu lalu, melukiskan kenyataan itu.

Kebudayaan lebih dipahami sebagai sebuah kompleks pernyataan dan produk yang dianggap mampu mendukung penyelenggaraan sebuah pembangunan, lebih tepatnya kekuasaan. Kebudayaan adalah hasil-hasil yang dapat teramati, bahkan terukur, baik dalam produk keras maupun lunaknya; dalam bentuk bangunan, artefak, kedisiplinan, ilmu, karya seni, syariat agama, teknologi, dan sebagainya. Tidak lain, kebudayaan mengalami materialisasi hingga ke tempat yang paling sempit: komodifikasi.

Tidak mengherankan bila muncul kelucuan dan keganjilan dalam pernyataan atau kebijakan, yang bersifat publik, dimana kebudayaan diapresiasi dan ditempatkan begitu saja –katakanlah—di sisi film dan seni (sebagai sebuah Direktorat Jenderal) atau ditautkan dengan pariwisata (sebagai sebuah Departemen). Atau pernah seorang menteri Pendidikan dan Kebudayaan yang meminta statistik dari kemampuan membaca dan menulis murid-murid sekolah dasar dan menengah, dari seorang pengarang yang mengeluhkan krisis di dua kapabiltas dasar itu.

Atau lihatlah catatan prestasi kerja pemerintah di bidang kebudayaan, yang antara lain berisi: jumlah pengunjung museum, jumlah situs, produksi dan penonton film, atau layar bioskop. Kebudayaan pun tertinggal melulu sebagai grafik atau piktogram sederhana, selaiknya gambar serupa yang menunjukkan perkembangan nilai bursa saham, kurs mata uang, atau jumlah simpanan dolar.

Kebudayaan dalam pemaknaan seperti ini, sesungguhnya tidak lebih dari cara mengerikan yang pernah dilakukan rezim Suharto. Yakni ketika, seluruh ekspresi dan produksi kultural kita dibakukan dan sekaligus dibekukan, hanya untuk etalase kegenitan yang didistribusi secara murah meriah keliling pentas-pentas formal ke penjuru dunia. Kita pun mafhum, kebudayaan dalam gerak dan apresiasi itu, sebenarnya sudah terperdaya, diperalat. Kebudayaan di situasi itu sudah menjadi mayat. Menjadi zombi, setidaknya.

Kebudayaan sebagai Proses

Hal yang mungkin lebih substansial dan dilenakan oleh para pelaku kekuasaan, ada di wilayah di mana kebudayaan menjalani geraknya yang paling dinamis: proses. Wilayah dimana semua kerja budaya masih berada dalam tahap pencarian, pertukaran, penemuan dan pembentukan. Tahap yang masih bersifat abstrak, dan kalaupun ada outputnya, ia masih berupa kode-kode atau simbol-simbol dasar.

Dalam tahap atau ruang ini, yang dapat dilakukan –oleh siapa pun—tidak lain adalah keterlibatan. Sikap apresiatif yang berjarak, bahkan menjadi penonton, lebih-lebih bermaksud memperalat atau memperdayanya, akan membuat kerja dan produk kebudayaan itu sendiri jadi berjarak, bahkan teralienasi dari realitas diri sang apresiator/penonton/pemerdaya.

Maka, sebuah kerja kebudayaan yang sifat dasarnya adalah imanen dan semesta –bagi seluruh manusia yang dilingkupi maupun melingkupinya—sewajarnya mengikutsertakan semua elemen kerja dari sebuah bangsa. Termasuk dari para penyelenggara negara. Penafian afirmasi historis itu, justru akan membuat negara terasing dari kerja sejarah ini; merendahkan bahkan melumpuhkan kemampuan atau potensi-potensi terbaiknya.

Wajar dan alamiah pula karenanya, bila pemerintah atau penguasa (politik, ekonomi, dan sebagainya) turut berupaya agar proses kebudayaan dapat berlangsung dengan caranya yang terbaik. Cara yang sebenarnya sudah diwariskan oleh bangsa-bangsa di nusantara ini, yang sudah memiliki kurun –menurut banyak catatan—lebih dari dua milenia ini.

Dalam arti ini, adalah obligasi alamiah bagi pemerintah untuk melengkapi proses itu dengan infrastruktur kebudayaan (kesenian tentu di dalamnya) yang mencukupi, ruang ekspresi yang kondusif, apresiasi (hingga ke tingkat penghargaan material) yang sepadan pada karya/produk maupun pelaku/produsennya, dan seterusnya. Bahkan secara langsung, bagus benar bila mereka terlibat langsung dalam semua tahap prosesus itu. Tidak saja, misalnya, membuka pameran, menonton pentas tari, atau mendukung secara pribadi pertunjukan teater. Namun juga berekspresi menggunakan kekayaan simbolik yang dihasilkan oleh kerja-kerja kebudayaan itu.

Penafian, apalagi penegasian, atas obligasi–yang sebenarnya konstitusional—ini, tidak hanya memberi ancaman bagi pemerintah itu sendiri (bukan sama sekali ancaman konyol yang dianggap berasal dari seniman, misalnya), tapi juga menjadi sumber kecemasan bagi cara hidup kita sebagai sebuah bangsa. Penempatan yang dominatif dari satu sektor pembangunan, katakan ekonomi, adalah jalan terbaik untuk terjadinya hal tersebut.

Senyum Itu

Adagium klasik bagi pemerintahan negara-negara ketiga (berkembang), lebih dulu ekonomi cukup sebelum hidup (kebudayaan) cukup, sekian lama sudah menjadi jebakan yang memerangkap kita berkali-kali dalam krisis. Walau sebenarnya, realitas hidup berbudaya kita yang cukup panjang telah sangat banyak mengajarkan: kebahagian –juga sebagai akhir dari perjuangan ekonomi, di antaranya—tidaklah semata karena limpahan harta.

Bagaimana hidup dapat tersenyum dalam pundi-pundi yang disimpan kecemasan dari kekikiran bahkan kedustaan koruptif? Tidakkah senyum itu dapat timbul saat kita leluasa beraktualisasi, menjalankan ritus mental-intelektual-spiritual, yang disediakan antara lain oleh agama, adat, dan seni, biarpun mungkin hanya sekadar nasi-ikan-sambal di piring makan siang kita, atau pondok, TV 14 inci dan sepeda motor cicilan kita miliki?

Apakah petani, buruh, guru, seniman, siapa pun dari mayoritas bangsa ini mesti didera dan dihela oleh nafsu jadi kaya-raya, jadi orang yang punya kuasa pada orang lain (lebih dari dirinya sendiri)? Saya kira, rakyat banyak itu tak membutuhkan siksa ideologi ekonomi semacam itu. Apa yang lebih mereka, kita, butuhkan adalah sebuah senyum, di bibir kehidupan kita.
Dimanakah senyum itu, di bibir kehidupanmu?