Tuesday, November 25, 2008

Pahalawan

Radhar Panca Dahana


Seusai Barack Hussein Obama menyelesaikan pidato kemenangannya yang indah, humanis, dan sarat visi, segera orang-orang dari pelbagai warna kulit, usia, golongan serta jabatan, juga –walau begitu anehnya—dari segala penjuru dunia, mengucurkan airmata haru. Sebagian dari mereka bahkan mendesiskan kata penuh harap dan makna, “he’s my hero”.

Begitupun saat Christopher Reeve turun di limousine-nya, seseorang yang selalu terharu saat Superman menyelamatkan nyawa yang terancam, menghambur padanya dan berseru, “you’re my hero”. Hero di sini, tentu bukan sebuah supermarket. Namun sebuah transendensi personal ke sebuah tingkatan dimana person itu memiliki kemampuan yang supra-human dalam menyelamat human(itas) dari ancaman kehancuran.

Manusia seperti itu bagaikan sebuah kantung ajaib yang bila dibuka isinya hanya pahala. Buah perbuatan yang semata bermakna kebajikan bagi banyak orang. Dan manusia berpahala, pahalawan inilah, yang akan mengisi indeks dan tinta tebal buku-buku sejarah. Sejarah yang sampai hari ini masih secara sempit, bahkan diskriminatif, mengategorisir pahala itu hanya pada satu-dua segmen atau dimensi hidup saja. Buku-buku sejarah itu, di mana-mana, juga di negeri ini, menderetkan puluhan hingga ratusan pah(a)lawan, semata dari kalangan mereka yang berjuang di lapangan politik dan militer. Mereka yang diakui melakukan perjuangan fisik, hingga dipenjara hingga disiksa, demi membela keberadaan dan kelahiran sebuah negara/bangsa.
Tiga nama yang beberapa hari lalu dianugerahi gelar “pahlawan nasional” oleh presiden negeri ini (Bung Tomo, M. Natsir, dan Abdul Halim) tentu saja memiliki riwayat patriotik semacam. Satu tradisi modern yang kita warisi, memproduksi perbendaharaan nama jalan nasional, dari kurun sejarah pendek, 30-40 tahunan di awal abad ini, di masa pergerakan dan perjuangan revolusi kemerdekaan.Setelah kurun waktu itu, mesin produksi itu mati. Tepatnya: tidak cukup memiliki alasan untuk terus berproduksi. Sementara dunia tumbuh dan mengembangkan pikiran dan standar hidup yang baru. Termasuk bagaimana seorang pahalawan harus diseleksi, diakui dan ditetapkan.
Sebagaimana ilustrasi kecil yang terlukis di awal tulisan ini.Pahalawan, atau pahlawan kita menyebutnya kerap, tidak cukup lagi dimaknai oleh kapasitas dan perjuangannya dalam merebut atau menciptakan kemerdekaan (sebuah bangsa). Tapi juga mereka yang mempertahankannya. Juga mereka yang mengisinya. Juga mereka mendedikasikan diri (dan mengorbankan kepentingan pribadinya) bagi kepentingan yang jauh lebih luas. Bagi mereka, dalam moral yang lebih luas, senantiasa berbuat demi keselamatan manusia, keselamatan spesies terbaik di semesta ini.
Maka, bukan saja Neil Arsmtrong, Ibu Theresa, Aung San Su Kyi, tapi juga Deng Xiao Ping, Mikhail Gorbachev, bahkan Hun Sen, Hugo Chavez hingga Bono, Bob Geldof, atau petani yang melubangi gunung demi pengairan sawah di kampungnya, atau jelata yang membakaukan ratusan hektar pantai yang terancam abrasi, adalah pahlawan. Mereka yang tiada hentinya melawan keterbatasan manusia, ancaman alam, dan kedegilan peradaban, yang semuanya mengancam martabat serta keberlangsungan makhluk paling kompleks ini.Pahlawan tak dapat lagi disempitkan oleh ukuran-ukuran apalagi kepentingan politik dan militer belaka. Siapa pun yang melakukan tindakan dengan kapasitas, kapabiltas dan jangkauan makna yang jauh lebih luas dari ruang dirinya sendiri, dalam segmen dan dimensi hidup apa pun, juga seorang pahlawan. Baik yang berbuat di lapangan ekonomi, akademik, agama, kebudayaan atau kesenian. Tanpa harus berembel-embel melawan musuh negara, dalam arti politik atau militer.
Dan berapa banyak nama yang harus berderet dalam pengertian itu. Yang secara diskriminatif kita nafikan. Figur seperti Sutan Takdir Alisjahbana, Chairil Anwar, Sudjojono, Affandi hingga Usmar Ismail atau Soedjatmoko, Rooseno, bahkan Tan Malaka atau Semaun, sesungguhnya cukup pantas mendapat martabat dan kehormatan itu. Bila Natsir dengan kontroversi “pengingkarannya” pada republik kita akui, dua tokoh terakhir –betapapun kontroversial pemikiran serta cara berjuangnya— juga memiliki jiwa dan tekad yang sungguh bulat dalam penciptaan kemerdekaan, penciptaan negara dan bangsa ini. Itu tak bisa ditolak. Sementara pikiran dan cara begitu relatif, sebagaimana relatifnya –katakanlah Suharto—dalam meraih kekuasaan.
Sejarah perlahan akan mendudukkan soal pada kursi sebenarnya. Tapi, negeri yang sudah menikmati kebebasan pikiran dan tindakan ini, yang sudah mencerna semua puncak peradaban mutakhir ini, masih saja tenggelam dalam ukuran-ukuran yang naif bahkan konyol. Pahlawan diakui dan digelarkan, setidaknya secara informal, justru pada mahasiswa yang tanpa sengaja melewati kumpulan demonstran dan mati tertembak peluru nyasar. Atau calon mahasiswa yang naif namun tewas karena kekejian seniornya. Atau mungkin koruptor besar, bahkan pengkhianat negara, yang karena berdana besar tampil kerap seperti selebritis dalam kampanye televisi. Bila sudah demikian rendah apresiasi dan cara kita menakar pahlawan, dan akhirnya mereka yang pantas memimpin negeri ini, bagaimana kemudian kita dapat menakar diri sendiri, menakar negeri sendiri, masa depan kita sendiri. Banyak sungguh pekerjaan mental yang harus jalani. Tanggungjawab –yang ironisnya—tak bisa lagi kita tuntut pada elit, pemimpin: mereka yang semestinya paling bertanggungjawab pada ini negeri. Cuma kita, kita yang jelata, mesti menjawab ini semua.

0 comments:

Post a Comment