Wednesday, December 31, 2008

Buku Saya


Berikut ini beberapa buku saya yang sudah beredar. Dapatkan di toko buku kesayangan Anda...




Monday, December 29, 2008

Demokrasi Negatif

Jika abad ke-20 ditandai oleh souvenirs yang berisi penemuan-penemuan luar biasa dan mencengangkan, yang membuat hidup manusia menjadi lebih mudah, nikmat, dan tak terduga, maka paruh awal milenium ketiga ini ditandai oleh berbagai kecemasan hingga ketakutan yang mencekam. Sebagian adalah hasil negatif atau ekses souvenirs itu, sebagian lagi memang tampak (bahkan terbukti) direkayasa, sengaja maupun tidak oleh peradaban yang bagiannya sudah out of control ini.

Umumnya kita kini merasa terancam oleh pemanasan global, yang telah mengubah iklim hingga pola hidup. Kita pun dicekam oleh munculnya penyakit-penyakit mematikan yang belum ada presedennya (sebagian diyakini sebagai rekayasa genetik yang jadi bagian dari uji coba senjata kimia), mulai AIDS, ebola, hingga flu burung belakangan ini. Beberapa perang dan ketegangan regional --buah konstelasi politik baru pasca-Perang Dingin-- seperti terjadi di Afghanistan, Irak, Iran, Korea Utara, dan terakhir Georgia-Rusia juga turut menciptakan kecemasan yang kelamaan menjadi global sifatnya.
Belum lagi kisruh-kisruh yang diakibatkan oleh sistem perdagangan tak adil, kerapnya bencana alam, kriminalitas modern, dan sebagainya, menandai awal abad ke-21 ini dengan global fearness yang tak pernah terbayangkan sebelumnya. Masih ada satu hal yang paling mencekam, seolah belati yang mengancam urat leher kita, sebuah istilah yang kini begitu populer, bahkan menyaingi kata demokrasi dan pasar bebas --dua mantra ajaib adab modern-yakni: terorisme.
Distribusi informasi, fakta-data, propaganda, slogan, dan retorika seputar terorisme yang dilansir pihak tertentu membuat masyarakat dunia menghadapi terorisme seperti pandemi yang tiap saat dapat datang dengan aksi yang mematikan.
Hal menarik terjadi ketika umumnya masyarakat dunia memafhumi, terorisme modern ini sesungguhnya tak lebih dari satu image atau ikon yang direkayasa Amerika Serikat demi memenuhi ambisinya menjadi "penguasa dunia", great kingdom atau bangsa penakluk (sebagaimana tertulis di banyak buku sejarah). Mereka membutuhkan musuh, karena mereka membutuhkan perang, karena bisnis perang (dan senjata di dalamnya, tentu) adalah bisnis dunia (baca: mereka) nomor satu. Karena perang juga menjaga semangat progresif, kompetitif, dan persatuan rakyat mereka. Terorisme direkayasa ternyata hanya sebagai bagian dari strategi national interest mereka.
Namun, betapapun kita mafhum, kita tetap tercekam karenanya. Tetap bereaksi positif karenanya. Tetap mengikuti logika dan paradigma insinuatifnya. Bahkan begerak mendukungnya, moral-material, militer-politik, bahkan kultural. Dan terorisme pun hidup di sekujur pori kenyataan kita sehari-hari. Seperti makan siang, sinetron malam, atau koran pagi yang menggelisahkan jika ia tak datang.
Maka, sebenarnya jadilah Amerika Serikat (bersama strategi, national interest, terorisme, dan berbagai rekayasa citranya) sebagai bagian utama dari kecemasan atau ketakutan itu: ia telah menjadi teror itu sendiri. Bagaimana tidak, jika berbagai kebijakannya di belakangan tahun telah menempatkan Amerika dalam posisi yang diametral oposisional dengan mayoritas publik dunia. Ia seperti merasa berhak menetapkan aturan dan ketentuan sendiri, walaupun itu bertentangan dengan kesepakatan multilateral dalam fora global apa pun: PBB, Bank Dunia, WTO, dan sebagainya.
Maka teror Amerika itu pun melanda kita, melalui dunia perdagangan, seperti enggannya ia melepas subsidi bagi petani mereka sendiri --sebagaimana yang lucunya ia tuntut pada banyak negeri berkembang. Teror penolakan mereka pada Protokol Tokyo tentang pengurangan "efek kaca" sebagai penyebab pemanasan global. Teror Amerika dalam aksi-aksi militer pre-emptive yang diterapkan membabi buta tanpa kesepakatan multilateral. Teror politik yang memaksakan gaya demokrasi Amerika pada negeri-negeri demokratis lainnya. Teror Amerika dalam rekayasa konflik regional dan penciptaan kompetisi senjata di banyak belahan dunia.
Betapa degil, egoistik, sewenang-wenang, dan --sebenarnya-- "kurang ajar"-nya aturan yang seakan melihat manusia lain di luar rumah sendiri sebagai pesakitan, sebagai alien, monster, makhluk purba tiada guna itu. Ameika Serikat kini sungguh telah menjelma menjadi ancaman gergasi dan gigantik melebihi ancaman teror yang ia fiksikan sendiri. Dan marilah kita amati, berbagai hal, souvenirs abad ke-21 ala Amerika itu, diproduksi oleh sebuah negeri yang meklaim dirinya sebagai panutan demokrasi, penghasil dan pengolah demokrasi terbaik di atas bumi ini.
Hasilnya, ternyata, adalah adab-adab negatif, yang menegasikan sekian banyak norma dan nilai kemanusiaan yang disepakati dunia dalam berbagai wadah multilateral. Mengangkangi adab yang umumnya manusia akui sebagai dasar pemanusiaan kita di tengah ketandusan robotik dunia teknologi. Tapi Amerika Serikat tak peduli. Bagi mereka, semua menjadi tak penting. Termasuk demokrasi. Apa pun akan baik jika positif bagi mereka. Tak peduli ia jadi negatif bagian liyan, bagi lainnya.
Demokrasi negatif, karenanya, telah menjadi souvenirs terpenting yang akan diingat anak-cucu kita.

Radhar Panca Dahana
Pekerja seni
Perpektif, Gatra Nomor 48, Beredar Kamis, 16 Oktober 2006]

Dunia Teror yang Diteror


Radhar Panca Dahana


BETAPA gagah dan heroik saat Presiden Amerika Serikat (AS) George W Bush menyerukan, "perang terhadap terorisme", beberapa saat setelah terjadi tragedi WTC New York setahun lalu. Tidak kita sadari, bersamaan dengan itu sebenarnya telah dideklarasikan satu "musuh baru" bagi dunia, lewat salah satu propaganda paling dahsyat sepanjang sejarah modern Bumi ini.
Boleh jadi, musuh baru ini tidak lain adalah antitesis baru bagi kapitalisme Amerika, yang sengaja direkayasa bukan untuk dihancurkan, tetapi lebih untuk mengekalkan, memberi alasan-alasan baru, atau memperkuat institusi-institusi dari kapitalisme gaya Amerika itu.
Model penciptaan lawan, musuh atau antitesis secara sengaja macam ini, bukanlah hal baru dalam sejarah politk, ekonomi, dan kebudayaan di bumi ini. Keberadaan lawan tak perlu dicemaskan, justru dibutuhkan untuk menjadi alasan pembelaan atau pertahanan diri. Ketika lawan atau antitesis tiada, justru eksistensi protagonis atau tesis jadi kian diragukan. Lawan atau musuh memang kerap perlu ditemukan, direkayasa jila perlu. Begitulah kisah serikat buruh pada akhirnya, fasisme di masa Perang Dunia II, Blok Timur di masa Perang Dingin, Poros Setan, dan sebagainya.

Betapa licinnya Cina saat berkelit menghindar dari logika sadis yang penuh perangkap. Dengan memainkan diplomasi "musuh baru" negara adidaya itu, setelah runtuhnya Uni Soviet, Cina berhasil tidak menjadi sekutu sekaligus musuh yang secara diametral berhadapan dengan AS.
Namun, tidak semua negeri secerdik Cina dengan pengalaman politik ribuan tahun. Sebagian besar negara di dunia, mau tak mau terseret kampanye besar AS itu dengan gaya reaksi masing-masing. Ada yang tergesa mendukung, ada yang berpura-pura atau menjilat, ada yang retorik, ada yang putus asa dan tak kuasa. Satu hal yang banyak tidak kita sadari, kampanye war on terorrism ini sebenarnya telah menebar teror sendiri, bahkan sebelum teror atau teroris yang sesungguhnya berhasil diindentifikasi.
Lewat operasi intelijen, di-plomasi politik, ekonomi, bahkan budaya yang dilakukan AS dan para pendukungnya, berkait dengan teror-teroran ini, masyarakat di banyak negeri dibuat begitu waspada bahkan amat waspada. Seolah teror dan teroris sudah menginjak halaman depan bahkan kamar tidur kita. Hingga bungkusan berisi buku, atau plastik sampah dapat membuat ratusan orang dan sepasukan polisi tegang. Bukan karena bungkusan atau tas plastik, namun karena kata kerja teror itu. Kata kerja yang merasuk, tersosialisasi bahkan terinternalisasi dengan baik, mulai dari anak SD hingga pengemis di sudut kota. Dunia dan hidup telah menjadi teror, sebelum kita tahu apa teror itu sendiri, apakah teror itu ada atau tidak.
Siapa yang dirugikan dalam kondisi ini? Siapa pula yang diuntungkan? Tak perlu banyak kecerdasan untuk bisa menjawabnya.

BAGI sebuah negeri seperti Indonesia, dunia teror semacam itu lebih banyak mengundang kerugian ketimbang manfaat. Dalam hitungan angka kuantitatif maupun kualitatif, teror yang imanen membutuhkan semua cost alias harga yang belum tentu terbayar anak cucu. Karena dunia teror yang tercipta sebenarnya sudah bertunas cukup lama. Keruwetan hidup di segala lapisan, kemunduran dan kekurangan di semua lapangan, bahkan kekacaubalauan cara berpikir masyarakat dan elitenya, sudah menciptakan teror tersendiri bagi rakyat kebanyakan.
Ketika pengangguran meningkat drastis, penghasilan merosot di hadapan kenaikan harga-harga, anggota DPR dan DPRD berbagi uang rakyat dalam jumlah menakjubkan, suap milyaran rupiah masuk kantung mereka yang dipilih rakyat untuk membela rakyat, dan koruptor besar masih bebas mengonsumsi kendaraan mewah jutaan dollar. Tidak hanya harapan yang habis dan kecewa, pikiran tak berdaya untuk bekerja. Hidup tidak lagi sekedar ganjil dan menyangkal logika, tetapi semua yang menyimpang akal didesak untuk diterima sebagai kebenaran.
Maka, boleh jadi Presiden Megawati berseru "lautan luas kita asin beragam, kenapa kita masih mengimpor garam", mengapa kita membeli apa yang kita miliki sendiri. Di detik lain kita melihat gaya hidup Presiden dan menteri-menterinya yang tak bersahaja. Bukan hanya fasilitas negara yang diterima, dari minuman rapat kabinet, hotel yang disediakan, kendaraan, rumah dinas, hingga kemeja atau busana yang dikenakan (dapat disaksikan di televisi tiap hari) sungguh berkelas hartawan besar. Dunia kontras kalangan elite bukan cuma merestui kerancuan dan chaos-nya pikiran sehat publik, namun seperti mengesahkan penyimpangan yang dalam arti lain kriminalitas.
Tekanan hidup, terutama tekanan harga-harga selama puasa yang meningkat menjelang Lebaran, Natal dan Tahun Baru, tidak saja membuat hidup kian tak nyaman. Sungsangnya alam pikiran dan dunia psikis publik telah membuat hidup kian mencekam. Berita-berita yang penuh intrik, kepalsuan dan khianat setiap detik menghujam mata, hati dan kepala kita, seperti ancaman yang tiada habisnya. Menjadi semacam teror, ketika publik tak berdaya mengatasinya (sebagaimana pemahaman teror umumnya).
Oleh karena itu, ketika teror fisik terjadi dengan bom di Legian, Bali, amat mengherankan dan menyentuh hati, ketika masyarakat justru kalem-kalem. Tragedi yang membuat separuh dunia bangkit dari kursi, bahkan membentak dan memakinya, seperti hanya membuat senyum kecut di wajah rakyat negeri ini. Profesor I Made Bandem mengisahkan, dua peristiwa besar seni dan budaya bahkan diselenggarakan dengan rileksnya sesuai jadwal, dua hari setelah tragedi. Bom dahsyat itu seakan melulu "riak kecil" di gelombang pasang negeri riuh ini.
Barangkali hanya mereka di elite kekuasaan yang terganggu, nervous dan tergopoh-gopoh menyikapi tragedi itu. Barangkali itu yang diinginkan pelaku bom: orang yang nervous akan tergopoh, orang tergopoh keputusannya tak adekuat bahkan mudah diperalat. Namun, tidak bagi publik. Koran-koran mengisahkan, ancaman bom ada di mana-mana di Jakarta, namun pengunjung mal dan plaza tetap sibuk tak peduli. Sungguhkah kita lagi peduli teror? Atau kita dan hidup kita adalah teror itu sendiri? Untuk apa takut pada diri sendiri?

SAYANG, pemikir Nurcholish Madjid tak melanjutkan analisisnya saat ia mengetahui salah satu terkaannya yang mengenaskan terbukti. Dalam sebuah seminar, ia menyebut tiga kemungkinan pelaku bom Bali: dinas intelijen asing (yang tak mungkin terungkap kebenarannya sampai 30 tahun mendatang), atau jaringan teroris internasional, atau orang dalam sendiri. Jika kemungkinan ketiga yang terjadi, itu tragedi mengenaskan. Dan polisi ternyata menangkap Amrozi, WNI, sebagai pelaku.
Bagaimana "tragedi mengenaskan" itu adanya? Nurcholish mungkin tak perlu menjawabnya, karena siapa pun dapat menyuguhkan jawaban dengan kata-katanya sendiri. Dunia dan hidup yang telah menjadi teror, kini kita teror sendiri. Bagi yang optimistis, ini sebuah ujian berat. Bagi yang pesimistis, inilah malapetaka peradaban, di mana kita melulu jadi korban. Hal yang sama bagi keduanya, tak ada lagi siasat pemikiran yang cukup jernih untuk mengatasinya. Jika masyarakat di ambang frustrasi, inikah tragedi?
Sebuah ilustrasi, seorang mahasiswa sospol perguruan tinggi negeri saling ber-e-mail dengan penulis untuk menyatakan: "kebenaran yang ada adalah kebenaran lewat kuasa, lewat senjata, dan itulah alasan kita berjuang, sebagaimana alasan kita untuk kuat dan maju menjadi kewajiban kita bersama". Sebuah logika purba, tentu saja. Lebih dari 2.000 tahun, ribuan pemikir, filosof dan politikus coba memperbaikinya lewat ribuan jilid buku. Hasilnya adalah pemuda yang kembali dalam logika rimba, "yang kuat, dia menang", mengapa harus jadi rusa jika bisa menjadi singa.
Kita masih bisa berbahagia, karena sebagian akan mengatakan, itu hanya pendapat dan emosi sebagian orang. Sebagian lain? Macam-macam reaksinya. Seperti matematika, minus dikali minus menjadi positif, dunia teror yang diteror bisa jadi membuat kita arif. Membuat kita kian berani, bukan untuk melawan musuh atau menciptakan musuh diluar, namun mengenali dan melawan musuh di dalam sendiri.
Bisa saja momentum kita berani mengurus diri sendiri, dengan cara sendiri, oleh dia sendiri. Sebuah hak primitif yang kini makin direnggut oleh apa yang kita sebut "pergaulan internasional". Kita sama tahu, keberanian macam ini punya risiko tersendiri. Juga tak kalah hebatnya dengan perjuangan bersenjata, bahkan dengan dahsyatnya revolusi di masa lalu. Ramadhan kali ini datang diam-diam, sebagai waktu yang memberi ruang.

esai ini dimuat di Kompas

Saturday, December 13, 2008

ZIARAH COGITO

Radhar Panca Dahana
dataran melengkung yang kutapaki ini adalah: waktu.
sementara batubatu yang mengonggok,
keras, bebal, dan memantul cahaya itu adalah: kamu.
dan pasir yang menggenang mengembara tanpa gelombang, itulah: aku.
gelap dan matahari menjadi pintu kedua mataku, bahwa: kau di situ.

sejak dulu, sejak udara bergerak memberiku ombak,
menciptakan perjalanan
menawarkan kejutan dan perubahan.

ia membawa tujuan, bagai daun di udara: menyeret ombak ke tepian.
kukenal benar ia, seperti irama yang membuat pucuk cemara berdansa,
awan-awan melata, hingga
kuhapal lengkung dataran ini di tiap incinya.
kukenal benar ia, bahasa di mulutku yang terbuka.
kukenal ia, namanya cinta.
tapi kau, menatap selalu,
tak meliuk bersama lengkungan itu,
mengonggokan tak tentu,
kesombongan tak berirama,
melulu nama berdiam dan mengkhianati kami;
karena itu, tak pernah kau mengenalinya.
tanpa pernah kita jalan bersama
tiada pemah kita menikah.
bagiku, kau adalah keletihan bagi waktu, kau pemberhentian.
dan cinta mengenalmu sebagai bosan.
kau sibuk menciptakan jejak, memberi sebutan,
menghitung tiap nada yang kami nyanyikan,
menawarkan melulu keletihan dan kekaguman.
aneh ! bagi kami kekaguman adalah kita,
bagi kau adalah kau : jarak jarak-jarak
yang meluputkan kita selalu.

ahh... betapa menyusahkan, tiada habis kau sebar kesulitan.
bagaimana mungkin aku menolak kau;
kau menolak aku.
sementara lengkung waktu dan angin cinta memberiku selalu rindu.
begitupun kau;
biarpun kau tipu, kau tak mengaku

aku tahu, lengkung dan angin ini
menawarkan selalu: sabar dan kesetiaan.
aku tahu, biarpun angin dan lengkung ini
menggoyangku selalu : aku mesti menunggumu.
tahu, aku sangat tahu,
di tepi dataran ini, kita mesti bersama,
biar waktu pergi berlalu
biar cinta kabur tak tentu,
aku harus menunggumu
(sekali lagi) menunggumu.

Besancon, 1998

Wednesday, November 26, 2008

Kolonialisme Jasa

Radhar Panca Dahana
Apa yang terjadi, ketika tiga minggu lalu terpetik berita dari Surabaya, ditemukan tujuh bayi (enam di antaranya tewas) yang dibuang ibunya karena alasan “tak mampu menghidupi”? Apa yang terjadi, dalam kontrasnya, ketika hampir sepanjang hari, mal, plasa dan jalan raya di pinggir hingga pusat Jakarta, dipenuhi manusia dan kendaraan, bahkan hingga kurang seminggu dari Lebaran?

Apa yang terjadi, saat –dunia sibuk melakukannya—rakyat di negeri ini sulit menciptakan perubahan yang bermakna lebih dari sekadar retorika? Apa yang terjadi, saat sebagian elit Indonesia mengalami disorientasi “apa yang terbaik bisa kulakukan untuk negeri ini?”, sementara sebagian lainnya sibuk menjadi drakula ekonomi bangsanya sendiri?
Barangkali tak ada jawaban tunggal untuk itu. Namun setidaknya, perlu diperhitungkan sebuah kemungkinan yang melihat manusia Indonesia –sebagai subyek tak berdaya dari semua hal di atas—telah terjebak dalam satu kondisi akut sebagai: korban. Tentu saja korban dari mesin gigantik perubahan dekade-dekade terakhir ini. Namun saya coba sedikit memperjelasnya dengan menyatakan: mereka adalah korban dari sebuah gejala (hipotetis) baru, bernama: kolonialisme jasa.
Kenyataan yang sama pahit dan kelamnya dengan bentuk penjajahan apa pun ini, mungkin dapat dijelaskan dengan sedikit menarik garis waktu ke belakang. Dimana kita mengenal dengan baik kolonialisme (modern) dengan slogannya: gold, gospel dan glory. Kolonialisme yang telah menenggelamkan ratusan bangsa di benua Asia dan Afrika dalam kegelapan selama ratusan tahun.Inilah kolonialisme tahap pertama, dimana terjadi pengalihan secara paksa dan kejam atas sumber-sumber daya natural, baik tangible maupun intangible, dari negeri kaya di dua benua itu ke negeri penuh keterbatasan alam Eropa. Hasilnya? Tentu saja, Eropa yang gemah ripah, yang segera mendominasi dunia, tak hanya dalam perdagangan, tapi juga politik, militer hingga kebudayaan.
Bentuk pertama kolonialisme itu kemudian mengalami keruntuhannya, ketika abad 20, dunia menyaksikan puluhan negara baru bermunculan, memerdekakan diri. Negara-negara muda yang umumnya tertatih (hingga saat ini) mengikuti bahkan meniru habis sukses para kolonialnya sendiri. Ini diakibatkan, antara lain, oleh bentuk kolonialisme kedua: kolonialisme produksi, khususnya pada bidang manufaktur.
Penjajahan Konsumsi
Dalam bentuk keduanya ini, kekuatan kolonial lama melanjutkan dominasi bahkan nafsu eksploatasinya dengan menggunakan logika industri (kapitalisme produksi). Eksploatasi dilakukan tidak lagi dengan merampas sumber-sumber natural, tapi dengan mengolahnya menjadi barang produksi (olahan) yang bernilai tambah.
Dengan pabrik-pabrik pengolahan berteknologi tinggi, kolonialisme kedua ini berlangsung dengan cara mengembalikan sumber natural terolah itu kepada negeri asalnya. Membentuk negeri-negeri asal itu sebagai gergasi pembeli (konsumen) yang memberi keuntungan nilai-tambah itu berlipat ganda ketimbang harga sumber natural mereka sendiri.
Dari proses ini, kita menyaksikan melambungnya kekayaan para kolonialis oksidental. Terlebih ketika di tingkat selanjutnya, kolonialisme dalam bentuk ini memindahkan pusat pengolahan (pabrik-pabrik) itu ke negara asal sumber daya, ke negeri jajahannya. Maka lengkaplah derita kolonial itu. Kita menghisap bumi dan diri kita sendiri, kita mengolahnya menjadi produk baru, lalu kita membelinya dengan rakus. Sementara sang kolonialis hidup nyaman menikmati udara bebas polusi pabrik, bebas keruwetan buruh, ngopi di kafe kota yang permai sambil menghitung profit yang melonjak. Ungkapan lama Bung Karno, “kita akan menjadi budak di negeri sendiri” sesungguhnya sudah lama terbukti. Dan sebagian kita mungkin menyadari. Sebagian besar tidak (peduli). Karena hidup kita sudah terjebak, sudah live in di dalamnya. Kolonialisme ini sudah taken for granted.
Penjajahan Jasa
Ketika sebagian dari negeri terjajah itu mulai memperlihatkan taringnya sendiri, dengan kemampuan produksi yang sama canggihnya –Korea, Brasil, Cina atau India belakangan— para kolonialis tradisional itu, setidaknya sejak era-80-an, mulai berpikir ulang. Menciptakan modus dan sistem baru untuk mempertahankan supremasi, kekuasaan kolonialnya yang ekspoatatif itu.Mereka tidak lagi mengandalkan moda produksi (pabrik-pabrik manufaktur) untuk meraih keuntungan, mengeruk kekayaan dunia jajahannya. Mereka menciptakan sebuah “nilai” (tambah) baru ke dalam semua produk itu: jasa. Pada tahap/bentuk kolonialisme baru ini, gergasi pembeli tidak hanya disodori produk bermutu tapi juga service, citra (image), gengsi (prestige) atau fitur-fitur yang menawan. Serangkaian produk yang abstrak/tak berwujud, yang ternyata meminta ongkos hingga hingga sepuluh kali lipat biaya pabriknya.
Kita mafhum, betapa perdagangan asbtrak dan virtual itu kini begitu luas varian terapannya. Dan dominan. Setidaknya 60% dari nilai perdagangan global saat ini dikuasai oleh perdagangan jasa. Bisnis keuangan juga perdagangan derivatif, dengan nilai triliunan dolar AS tiap tahunnya, tentu termasuk di dalamnya.
Dan sebagian besar negeri ketiga masih tergagap, saat moda kolonialistik terbaru ini menciptakan jerat sistemik yang sangat terukur, melalui WTO (Worl Trade Organisation) dengan anak kandungnya yang khusus mengurusi jasa, seperti GATS (Global Agreement on Trade and Services), serta beberapa derivat lainnya. Sebuah upaya cerdas untuk kembali menciptakan korban, yang bukan hanya tak sadar, tapi merasa “turut menikmati” bahkan ikut memperjuangkannya.
Maka demikianlah yang terjadi. Secangkir kopi yang dapat kita hirup panas-panas Rp 2.000 di sebuah kedai tradisional, kita bayar 1.000 % lebih mahal jika kita menikmatinya di mal atau plasa atau square. Begitupun saat kita membeli baju Lebaran, kebutuhan puasa, mengganti mobil, perangkat hi-fi, berwisata, berinternet, beli pulsa, hingga menyelenggarakan khitanan atau menyekolahkan anak kita.
Sebuah kenyataan yang kian terasa wajar. Sewajar kita antre untuk sepotong Bread Talk, untuk setor uang ke bank, untuk satu unit New Toyota Camry dengan harga indent, dan seterusnya. Untuk kenyataan-kenyataan dengan dampak seperti tergambar di awal tulisan ini. Sebagaimana bentuknya yang abstrak, soft, kolonialisme mutakhir ini memang lembut, sehalus cinta yang merasuki diri kita.

Tuesday, November 25, 2008

Pahalawan

Radhar Panca Dahana


Seusai Barack Hussein Obama menyelesaikan pidato kemenangannya yang indah, humanis, dan sarat visi, segera orang-orang dari pelbagai warna kulit, usia, golongan serta jabatan, juga –walau begitu anehnya—dari segala penjuru dunia, mengucurkan airmata haru. Sebagian dari mereka bahkan mendesiskan kata penuh harap dan makna, “he’s my hero”.

Begitupun saat Christopher Reeve turun di limousine-nya, seseorang yang selalu terharu saat Superman menyelamatkan nyawa yang terancam, menghambur padanya dan berseru, “you’re my hero”. Hero di sini, tentu bukan sebuah supermarket. Namun sebuah transendensi personal ke sebuah tingkatan dimana person itu memiliki kemampuan yang supra-human dalam menyelamat human(itas) dari ancaman kehancuran.

Manusia seperti itu bagaikan sebuah kantung ajaib yang bila dibuka isinya hanya pahala. Buah perbuatan yang semata bermakna kebajikan bagi banyak orang. Dan manusia berpahala, pahalawan inilah, yang akan mengisi indeks dan tinta tebal buku-buku sejarah. Sejarah yang sampai hari ini masih secara sempit, bahkan diskriminatif, mengategorisir pahala itu hanya pada satu-dua segmen atau dimensi hidup saja. Buku-buku sejarah itu, di mana-mana, juga di negeri ini, menderetkan puluhan hingga ratusan pah(a)lawan, semata dari kalangan mereka yang berjuang di lapangan politik dan militer. Mereka yang diakui melakukan perjuangan fisik, hingga dipenjara hingga disiksa, demi membela keberadaan dan kelahiran sebuah negara/bangsa.
Tiga nama yang beberapa hari lalu dianugerahi gelar “pahlawan nasional” oleh presiden negeri ini (Bung Tomo, M. Natsir, dan Abdul Halim) tentu saja memiliki riwayat patriotik semacam. Satu tradisi modern yang kita warisi, memproduksi perbendaharaan nama jalan nasional, dari kurun sejarah pendek, 30-40 tahunan di awal abad ini, di masa pergerakan dan perjuangan revolusi kemerdekaan.Setelah kurun waktu itu, mesin produksi itu mati. Tepatnya: tidak cukup memiliki alasan untuk terus berproduksi. Sementara dunia tumbuh dan mengembangkan pikiran dan standar hidup yang baru. Termasuk bagaimana seorang pahalawan harus diseleksi, diakui dan ditetapkan.
Sebagaimana ilustrasi kecil yang terlukis di awal tulisan ini.Pahalawan, atau pahlawan kita menyebutnya kerap, tidak cukup lagi dimaknai oleh kapasitas dan perjuangannya dalam merebut atau menciptakan kemerdekaan (sebuah bangsa). Tapi juga mereka yang mempertahankannya. Juga mereka yang mengisinya. Juga mereka mendedikasikan diri (dan mengorbankan kepentingan pribadinya) bagi kepentingan yang jauh lebih luas. Bagi mereka, dalam moral yang lebih luas, senantiasa berbuat demi keselamatan manusia, keselamatan spesies terbaik di semesta ini.
Maka, bukan saja Neil Arsmtrong, Ibu Theresa, Aung San Su Kyi, tapi juga Deng Xiao Ping, Mikhail Gorbachev, bahkan Hun Sen, Hugo Chavez hingga Bono, Bob Geldof, atau petani yang melubangi gunung demi pengairan sawah di kampungnya, atau jelata yang membakaukan ratusan hektar pantai yang terancam abrasi, adalah pahlawan. Mereka yang tiada hentinya melawan keterbatasan manusia, ancaman alam, dan kedegilan peradaban, yang semuanya mengancam martabat serta keberlangsungan makhluk paling kompleks ini.Pahlawan tak dapat lagi disempitkan oleh ukuran-ukuran apalagi kepentingan politik dan militer belaka. Siapa pun yang melakukan tindakan dengan kapasitas, kapabiltas dan jangkauan makna yang jauh lebih luas dari ruang dirinya sendiri, dalam segmen dan dimensi hidup apa pun, juga seorang pahlawan. Baik yang berbuat di lapangan ekonomi, akademik, agama, kebudayaan atau kesenian. Tanpa harus berembel-embel melawan musuh negara, dalam arti politik atau militer.
Dan berapa banyak nama yang harus berderet dalam pengertian itu. Yang secara diskriminatif kita nafikan. Figur seperti Sutan Takdir Alisjahbana, Chairil Anwar, Sudjojono, Affandi hingga Usmar Ismail atau Soedjatmoko, Rooseno, bahkan Tan Malaka atau Semaun, sesungguhnya cukup pantas mendapat martabat dan kehormatan itu. Bila Natsir dengan kontroversi “pengingkarannya” pada republik kita akui, dua tokoh terakhir –betapapun kontroversial pemikiran serta cara berjuangnya— juga memiliki jiwa dan tekad yang sungguh bulat dalam penciptaan kemerdekaan, penciptaan negara dan bangsa ini. Itu tak bisa ditolak. Sementara pikiran dan cara begitu relatif, sebagaimana relatifnya –katakanlah Suharto—dalam meraih kekuasaan.
Sejarah perlahan akan mendudukkan soal pada kursi sebenarnya. Tapi, negeri yang sudah menikmati kebebasan pikiran dan tindakan ini, yang sudah mencerna semua puncak peradaban mutakhir ini, masih saja tenggelam dalam ukuran-ukuran yang naif bahkan konyol. Pahlawan diakui dan digelarkan, setidaknya secara informal, justru pada mahasiswa yang tanpa sengaja melewati kumpulan demonstran dan mati tertembak peluru nyasar. Atau calon mahasiswa yang naif namun tewas karena kekejian seniornya. Atau mungkin koruptor besar, bahkan pengkhianat negara, yang karena berdana besar tampil kerap seperti selebritis dalam kampanye televisi. Bila sudah demikian rendah apresiasi dan cara kita menakar pahlawan, dan akhirnya mereka yang pantas memimpin negeri ini, bagaimana kemudian kita dapat menakar diri sendiri, menakar negeri sendiri, masa depan kita sendiri. Banyak sungguh pekerjaan mental yang harus jalani. Tanggungjawab –yang ironisnya—tak bisa lagi kita tuntut pada elit, pemimpin: mereka yang semestinya paling bertanggungjawab pada ini negeri. Cuma kita, kita yang jelata, mesti menjawab ini semua.

Wednesday, November 19, 2008

Bienvenue

Ini halaman orang yang gaptek. Belum tahu benar memfungsikannya. jadi pelan-pelan. Mau memberi saran? Terima kasih sekali. Pokoknya: mari kita bertemu di dunia virtual, dunia abstrak dimana segala kemungkinan menjadi mungkin...