Saturday, December 13, 2008

ZIARAH COGITO

Radhar Panca Dahana
dataran melengkung yang kutapaki ini adalah: waktu.
sementara batubatu yang mengonggok,
keras, bebal, dan memantul cahaya itu adalah: kamu.
dan pasir yang menggenang mengembara tanpa gelombang, itulah: aku.
gelap dan matahari menjadi pintu kedua mataku, bahwa: kau di situ.

sejak dulu, sejak udara bergerak memberiku ombak,
menciptakan perjalanan
menawarkan kejutan dan perubahan.

ia membawa tujuan, bagai daun di udara: menyeret ombak ke tepian.
kukenal benar ia, seperti irama yang membuat pucuk cemara berdansa,
awan-awan melata, hingga
kuhapal lengkung dataran ini di tiap incinya.
kukenal benar ia, bahasa di mulutku yang terbuka.
kukenal ia, namanya cinta.
tapi kau, menatap selalu,
tak meliuk bersama lengkungan itu,
mengonggokan tak tentu,
kesombongan tak berirama,
melulu nama berdiam dan mengkhianati kami;
karena itu, tak pernah kau mengenalinya.
tanpa pernah kita jalan bersama
tiada pemah kita menikah.
bagiku, kau adalah keletihan bagi waktu, kau pemberhentian.
dan cinta mengenalmu sebagai bosan.
kau sibuk menciptakan jejak, memberi sebutan,
menghitung tiap nada yang kami nyanyikan,
menawarkan melulu keletihan dan kekaguman.
aneh ! bagi kami kekaguman adalah kita,
bagi kau adalah kau : jarak jarak-jarak
yang meluputkan kita selalu.

ahh... betapa menyusahkan, tiada habis kau sebar kesulitan.
bagaimana mungkin aku menolak kau;
kau menolak aku.
sementara lengkung waktu dan angin cinta memberiku selalu rindu.
begitupun kau;
biarpun kau tipu, kau tak mengaku

aku tahu, lengkung dan angin ini
menawarkan selalu: sabar dan kesetiaan.
aku tahu, biarpun angin dan lengkung ini
menggoyangku selalu : aku mesti menunggumu.
tahu, aku sangat tahu,
di tepi dataran ini, kita mesti bersama,
biar waktu pergi berlalu
biar cinta kabur tak tentu,
aku harus menunggumu
(sekali lagi) menunggumu.

Besancon, 1998

1 comments:

Ida Bagus Darmasuta said...

Puisi sarat perenungan, kontemplatif, dalam makna. perlu banyak bekal untuk menggalinya.

Post a Comment