Monday, December 29, 2008

Dunia Teror yang Diteror


Radhar Panca Dahana


BETAPA gagah dan heroik saat Presiden Amerika Serikat (AS) George W Bush menyerukan, "perang terhadap terorisme", beberapa saat setelah terjadi tragedi WTC New York setahun lalu. Tidak kita sadari, bersamaan dengan itu sebenarnya telah dideklarasikan satu "musuh baru" bagi dunia, lewat salah satu propaganda paling dahsyat sepanjang sejarah modern Bumi ini.
Boleh jadi, musuh baru ini tidak lain adalah antitesis baru bagi kapitalisme Amerika, yang sengaja direkayasa bukan untuk dihancurkan, tetapi lebih untuk mengekalkan, memberi alasan-alasan baru, atau memperkuat institusi-institusi dari kapitalisme gaya Amerika itu.
Model penciptaan lawan, musuh atau antitesis secara sengaja macam ini, bukanlah hal baru dalam sejarah politk, ekonomi, dan kebudayaan di bumi ini. Keberadaan lawan tak perlu dicemaskan, justru dibutuhkan untuk menjadi alasan pembelaan atau pertahanan diri. Ketika lawan atau antitesis tiada, justru eksistensi protagonis atau tesis jadi kian diragukan. Lawan atau musuh memang kerap perlu ditemukan, direkayasa jila perlu. Begitulah kisah serikat buruh pada akhirnya, fasisme di masa Perang Dunia II, Blok Timur di masa Perang Dingin, Poros Setan, dan sebagainya.

Betapa licinnya Cina saat berkelit menghindar dari logika sadis yang penuh perangkap. Dengan memainkan diplomasi "musuh baru" negara adidaya itu, setelah runtuhnya Uni Soviet, Cina berhasil tidak menjadi sekutu sekaligus musuh yang secara diametral berhadapan dengan AS.
Namun, tidak semua negeri secerdik Cina dengan pengalaman politik ribuan tahun. Sebagian besar negara di dunia, mau tak mau terseret kampanye besar AS itu dengan gaya reaksi masing-masing. Ada yang tergesa mendukung, ada yang berpura-pura atau menjilat, ada yang retorik, ada yang putus asa dan tak kuasa. Satu hal yang banyak tidak kita sadari, kampanye war on terorrism ini sebenarnya telah menebar teror sendiri, bahkan sebelum teror atau teroris yang sesungguhnya berhasil diindentifikasi.
Lewat operasi intelijen, di-plomasi politik, ekonomi, bahkan budaya yang dilakukan AS dan para pendukungnya, berkait dengan teror-teroran ini, masyarakat di banyak negeri dibuat begitu waspada bahkan amat waspada. Seolah teror dan teroris sudah menginjak halaman depan bahkan kamar tidur kita. Hingga bungkusan berisi buku, atau plastik sampah dapat membuat ratusan orang dan sepasukan polisi tegang. Bukan karena bungkusan atau tas plastik, namun karena kata kerja teror itu. Kata kerja yang merasuk, tersosialisasi bahkan terinternalisasi dengan baik, mulai dari anak SD hingga pengemis di sudut kota. Dunia dan hidup telah menjadi teror, sebelum kita tahu apa teror itu sendiri, apakah teror itu ada atau tidak.
Siapa yang dirugikan dalam kondisi ini? Siapa pula yang diuntungkan? Tak perlu banyak kecerdasan untuk bisa menjawabnya.

BAGI sebuah negeri seperti Indonesia, dunia teror semacam itu lebih banyak mengundang kerugian ketimbang manfaat. Dalam hitungan angka kuantitatif maupun kualitatif, teror yang imanen membutuhkan semua cost alias harga yang belum tentu terbayar anak cucu. Karena dunia teror yang tercipta sebenarnya sudah bertunas cukup lama. Keruwetan hidup di segala lapisan, kemunduran dan kekurangan di semua lapangan, bahkan kekacaubalauan cara berpikir masyarakat dan elitenya, sudah menciptakan teror tersendiri bagi rakyat kebanyakan.
Ketika pengangguran meningkat drastis, penghasilan merosot di hadapan kenaikan harga-harga, anggota DPR dan DPRD berbagi uang rakyat dalam jumlah menakjubkan, suap milyaran rupiah masuk kantung mereka yang dipilih rakyat untuk membela rakyat, dan koruptor besar masih bebas mengonsumsi kendaraan mewah jutaan dollar. Tidak hanya harapan yang habis dan kecewa, pikiran tak berdaya untuk bekerja. Hidup tidak lagi sekedar ganjil dan menyangkal logika, tetapi semua yang menyimpang akal didesak untuk diterima sebagai kebenaran.
Maka, boleh jadi Presiden Megawati berseru "lautan luas kita asin beragam, kenapa kita masih mengimpor garam", mengapa kita membeli apa yang kita miliki sendiri. Di detik lain kita melihat gaya hidup Presiden dan menteri-menterinya yang tak bersahaja. Bukan hanya fasilitas negara yang diterima, dari minuman rapat kabinet, hotel yang disediakan, kendaraan, rumah dinas, hingga kemeja atau busana yang dikenakan (dapat disaksikan di televisi tiap hari) sungguh berkelas hartawan besar. Dunia kontras kalangan elite bukan cuma merestui kerancuan dan chaos-nya pikiran sehat publik, namun seperti mengesahkan penyimpangan yang dalam arti lain kriminalitas.
Tekanan hidup, terutama tekanan harga-harga selama puasa yang meningkat menjelang Lebaran, Natal dan Tahun Baru, tidak saja membuat hidup kian tak nyaman. Sungsangnya alam pikiran dan dunia psikis publik telah membuat hidup kian mencekam. Berita-berita yang penuh intrik, kepalsuan dan khianat setiap detik menghujam mata, hati dan kepala kita, seperti ancaman yang tiada habisnya. Menjadi semacam teror, ketika publik tak berdaya mengatasinya (sebagaimana pemahaman teror umumnya).
Oleh karena itu, ketika teror fisik terjadi dengan bom di Legian, Bali, amat mengherankan dan menyentuh hati, ketika masyarakat justru kalem-kalem. Tragedi yang membuat separuh dunia bangkit dari kursi, bahkan membentak dan memakinya, seperti hanya membuat senyum kecut di wajah rakyat negeri ini. Profesor I Made Bandem mengisahkan, dua peristiwa besar seni dan budaya bahkan diselenggarakan dengan rileksnya sesuai jadwal, dua hari setelah tragedi. Bom dahsyat itu seakan melulu "riak kecil" di gelombang pasang negeri riuh ini.
Barangkali hanya mereka di elite kekuasaan yang terganggu, nervous dan tergopoh-gopoh menyikapi tragedi itu. Barangkali itu yang diinginkan pelaku bom: orang yang nervous akan tergopoh, orang tergopoh keputusannya tak adekuat bahkan mudah diperalat. Namun, tidak bagi publik. Koran-koran mengisahkan, ancaman bom ada di mana-mana di Jakarta, namun pengunjung mal dan plaza tetap sibuk tak peduli. Sungguhkah kita lagi peduli teror? Atau kita dan hidup kita adalah teror itu sendiri? Untuk apa takut pada diri sendiri?

SAYANG, pemikir Nurcholish Madjid tak melanjutkan analisisnya saat ia mengetahui salah satu terkaannya yang mengenaskan terbukti. Dalam sebuah seminar, ia menyebut tiga kemungkinan pelaku bom Bali: dinas intelijen asing (yang tak mungkin terungkap kebenarannya sampai 30 tahun mendatang), atau jaringan teroris internasional, atau orang dalam sendiri. Jika kemungkinan ketiga yang terjadi, itu tragedi mengenaskan. Dan polisi ternyata menangkap Amrozi, WNI, sebagai pelaku.
Bagaimana "tragedi mengenaskan" itu adanya? Nurcholish mungkin tak perlu menjawabnya, karena siapa pun dapat menyuguhkan jawaban dengan kata-katanya sendiri. Dunia dan hidup yang telah menjadi teror, kini kita teror sendiri. Bagi yang optimistis, ini sebuah ujian berat. Bagi yang pesimistis, inilah malapetaka peradaban, di mana kita melulu jadi korban. Hal yang sama bagi keduanya, tak ada lagi siasat pemikiran yang cukup jernih untuk mengatasinya. Jika masyarakat di ambang frustrasi, inikah tragedi?
Sebuah ilustrasi, seorang mahasiswa sospol perguruan tinggi negeri saling ber-e-mail dengan penulis untuk menyatakan: "kebenaran yang ada adalah kebenaran lewat kuasa, lewat senjata, dan itulah alasan kita berjuang, sebagaimana alasan kita untuk kuat dan maju menjadi kewajiban kita bersama". Sebuah logika purba, tentu saja. Lebih dari 2.000 tahun, ribuan pemikir, filosof dan politikus coba memperbaikinya lewat ribuan jilid buku. Hasilnya adalah pemuda yang kembali dalam logika rimba, "yang kuat, dia menang", mengapa harus jadi rusa jika bisa menjadi singa.
Kita masih bisa berbahagia, karena sebagian akan mengatakan, itu hanya pendapat dan emosi sebagian orang. Sebagian lain? Macam-macam reaksinya. Seperti matematika, minus dikali minus menjadi positif, dunia teror yang diteror bisa jadi membuat kita arif. Membuat kita kian berani, bukan untuk melawan musuh atau menciptakan musuh diluar, namun mengenali dan melawan musuh di dalam sendiri.
Bisa saja momentum kita berani mengurus diri sendiri, dengan cara sendiri, oleh dia sendiri. Sebuah hak primitif yang kini makin direnggut oleh apa yang kita sebut "pergaulan internasional". Kita sama tahu, keberanian macam ini punya risiko tersendiri. Juga tak kalah hebatnya dengan perjuangan bersenjata, bahkan dengan dahsyatnya revolusi di masa lalu. Ramadhan kali ini datang diam-diam, sebagai waktu yang memberi ruang.

esai ini dimuat di Kompas

0 comments:

Post a Comment