Tuesday, January 20, 2009

Indonesia dan Revolusi Kata

Barangkali manusia ada ketika Adam jatuh dari surga ke sebuah daratan di Asia Tengah. Bisa jadi pula ia bermula dari seekor monyet yang berkembang menjadi pelbagai jenis hominid hingga homo sapiens sapiens alias manusia modern, sebagai perwujudan akhirnya. Semua penjelasan itu masih dapat dianggap kontroversial, ratusan hingga ribuan tahun setelah penjelasan awalnya.
Tapi satu hal yang tak lagi ditolak adalah proposisi yang menyatakan: manusia ditemukan oleh kata, oleh bahasa. Bahkan sebagian pemikiran, purba maupun modern, mengafirmasi bagaimana semesta ini ada –dalam arti bermakna—ketika ada kata-kata yang memberinya sebutan, memberi nama dan makna. Bukan hanya kata “kun” (jadilah) –dan homonimnya di berbagai bahasa—melukiskan bagaimana semesta ini berihwal dari sebuah mantra. Kata pertama dari ayat pertama kitab suci Islam pun menyebutkan “iqra” (bacalah), yang menjadi imperasi manusia untuk memahami bahasa (kalam) yang tersebar di tiap mili semesta ini, sebagai perangkat dasar manusia untuk mengetahui makna, menyadari keberadaannya.
Riwayat orang Jawa mungkin dapat menjadi cermin ontologis banyak sukubangsa. Walau hanya berasal dari penuturan seorang raja di salah satu kraton Solo –cerita yang berselubung mitos yang kental—orang Jawa mengakui bahkan menemukan diri eksistensialnya pada tarikh 78 M. Ketika Ajisaka, seorang Prabu dari India Selatan, ke pulau besar di Selatan ini. Ketika raja muda itu menaklukan raja lokal Dewata Cengkar, menganeksasi wilayahnya, merangkum riwayat itu dalam serangkum alfabet penuh makna: “hana caraka data sawala maga batanga pada jayanya”.
Maka dengan huruf-huruf itulah (penggalan dari setiap suku katanya), orang Jawa kemudian menyusun dirinya: hidup, sejarah, jatidiri, mimpi, hingga pemahaman-pemahaman filsafat dan spiritualnya, penyatuan mikro dan makrokosmosnya. Jawa, hanyalah sebuah allegori dari kekuatan kata/bahasa dalam menemukan manusia, menempatkannya sebagai khalifah bagi semua yang ada di bumi, juga semesta.
Kata atau bahasalah yang melucuti manusia dari kegelapan akal bahkan spiritual, bahkan keterputusan abadi dengan: “kebinatangan” homo sapiens yang hidup 30-35 ribu tahun SM. “Dan manusia”, sebagaimana dikatakan Julia Kristeva, dalam karya awalnya, Le Langage, cet inconnu, (Seuil, 1981), “seperti bahasa, (dan) bahasa di tempat manusia adalah sebuah gerak demistfikasi yang sempurna”. Bahasa, sebuah ruang tertutup dan terbuka sekaligus, dimana manusia henyak dan senyap di dalamnya. Dalam Les Mots (Gallimard, 1964), novel autobiografis tentang masa kanak-kanaknya, Jean-Paul Sartre menulis, “J’ai commencé mau vie vomme je la finirai sans doute: au milieu des livres” (“kumulai hidupku sebagaimana aku akan mengakhirinya dengan sebuah kepastian: di kerumunan buku-buku”). Sartre menemukan sekujur diri, hidup, dan makna yang berputar sekitar dirinya, dari kata-kata (les mots).
Apa jadinya hidup pendek yang sangat panjang ini tanpa kata? Tak ada manusia.

***

Dan apa jadinya kata tanpa pikiran di dalamnya? Tanpa gagasan yang memberinya isi, memberinya hidup, pertumbuhan dan apa yang disebut dengan “kekinian”? Sejak tulisan pertama di temukan di masa Sumeria, 4.000 tahun SM, manusia sadar: kebudayaan yang disusun dan peradaban yang terbentuk adalah hasil sublimasi dari kerja keras akal mereka ke dalam sublimasi medium komunikasi mereka, tanda-tanda simbolik bernama bahasa. Bahasa dan kata adalah tubuh dari pikiran dan gagasan manusia, pengambilalihan arti alam ini ke dalam dirinya.
Dua hal itu bukan saja tak terpisahkan, bahkan kesatuan yang akan membuat satu sisinya terpotong jika kita mengiris bagian lainnya. “Seperti satu lembar kertas,” kata Ferdinand de Saussure dalam kanonnya, Cours de linguistique générale, (1965: 157), “pikiran adalah recto dan suara adalah verso; seseorang tak dapat memotong satu sisinya tanpa memotong sisi lainnya di waktu yang sama; dan di dalam arti yang sama, dalam bahasa, seseorang tak dapat mengisolasi suara dari pikiran maupun pikiran dari suara (kata)”.
Maka, sejarah keberadaan –dengan kata lain penemuan dan berulangkali penemuan-penemuan baru setelahnya—manusia, adalah sebuah perjalanan dari pikiran, dari gagasan. Sebagaimana –juga disebut Yudi Latif—kata aqala (akal/pikiran) disebut hingga 50 kali dalam al-quran, begitupun baik Kristeva yang menyatakan, “pour saisir de langage”, untuk meraih (makna) bahasa, “il nous foudrait suivre le trace de la pensée,” (mau tak mau) kita harus mengikuti jejak pemikiran, Frederic Jameson di belahan dunia lain, menegaskan “sejarah pemikiran ada dalam sejarah modelnya...(dimana) model itu adalah bahasa” (The Prison-House of Language, Princeton, 1972).
Bila kata dan bahasa kemudian menjadi rumah di mana akal/gagasan berdiam dan menjelaskan dirinya, maka di tempat itu pula “the house of being”, rumah kenyataan dan keberadaan manusia. Rumah dimana kekuatan terbaik manusia, kebudayaan dalam makna luasnya, mendapatkan markasnya. Peradaban akhirnya terbentuk sebagai manifestasi material dari adab bahasa.

Apa yang terjadi kemudian adalah lalu lintas, dalam berbagai carrefour (perlintasan), adu kepentingan hingga kemacetan, diskursus bahasa yang ketat, yang memberi manusia sejarah, juga selebrasi atas kejayaan dan kedegilannya. Inilah sebuah sejarah bahasa, sejarah kata-kata, dalam arti politik (kekuasaan) adalah riwayat pertarungan antara diksi. Dalam rumah atau panggung itu, politik memang menjadi bagian yang sangat penting, karena ia juga menggunakan bahasa sebagai arsenal utamanya. Di samping kegiatan artistik (sastra khususnya), politik juga adalah prajurit tangguh bersenjata bahasa.
Di saat politik begitu kuat, menentukan hampir semua arah kehidupan, sesungguhnya pilihan kata dalam bahasa pulalah yang turut menentukan politik itu. Inilah motif yang membuat Cicero, bangsawan kata-kata, pindah dari Roma ke Yunani, mempertajam kemampuan bahasa, menyusun senjata mematikannya, retorika, dan meyakini, “tak ada satu hal pun yang tak dapat diciptakan atau dihancurkan atau diperbaiki dengan kata-kata”.
Dan betapa kita mafhum, bagaimana retorika, sebagaimana dinyatakan Antoine Compagnon, kritikus sastra yang berdiam paralel di Paris dan New York, telah kembali mendapat momentum dan kejayaannya di milenium ketiga ini. Setelah seratus tahun lalu ia dicurigai di Eropa daratan sebagai penyebab stagnasi bahkan kemunduran. Seratus tahun lalu rerotika pernah diturunkan dari panggung-panggung sucinya di jurusan-jurusan sastra dan humaniora lainnya.
Kini, dengan perluasan teknologi canggih informasi, yang memberi peluang kepada manusia –seperti iklan global minuman Amerika: siapa, dimana dan kapan saja—dapat mengaktualisasi diri lewat berbagai medium bahasa (suara, abjad, visual, hologramik, dan sebagainya), retorika dalam arti bahasa yang lebih luas, mengambil posisi yang sangat signifikan bahkan vital untuk sebuah penjelasan eksistensial, bahkan menciptakan kebenaran yang mengiringinya.
Politik bahasa ternyata mendapatkan kelanjutan atau kesinambungan yang penuh tenaga pada masa kini, bukan hanya untuk merebut perhatian publik, bahkan afirmasi publik demi terwujudnya pasar yang diinginkan, wilayah dominasi yang diinginkan, kekuasaan yang diinginkan. Maka sejarah bahasa dalam politik ini, sesungguhnya tetap menyimpan kerentanan paling purbanya sendiri: dunia politik rapuh dan cemas justru pada (kekuatan) bahasa lain. Pada kata atau diksi yang lain. Karena dalam logika politik, paling tradisional hingga paska-modern pun, bahasa dan diksi yang ada di dalamnya adalah penyangga dan benteng bagi pertahanan sebuah kekuasaan (status quo).


Dalam pemahaman terakhir di ataslah mungkin poin utama dimana kumpulan tujuh esai Yudi Latif dalam buku ini, mendapatkan sasaran panahnya. Ia tidak hanya memulai buku ini dengan sebuah aforisma, “setiap gerakan kebangkitan selalu bermula dari kata”, tapi juga menyitir di banyak bagian tulisannya, bagaimana berbagai kitab, teks utama atau babon-babon sastra menunjukan posisi kata atau bahasa sebagai “tuhan”, atau sebaliknya (the Word-God).
Dalam refleksinya tentang kebangkitan masyarakat kepulauan ini menuju sebuah bangsa, Yudi menunjukkan bagaimana bahasa yang tergunakan, pilihan diksional di dalamnya, menentukan tidak hanya cara berpikir, alternatif dalam memandang kenyataan, tapi juga stimulus pergerakan bagi sebuah kemajuan atau pembebasan. Kata kemadjoean atau perubahan kata indische menjadi indonesische hingga indonesia, memainkan atau menciptakan diskursus yang sangat penting dalam cara orang-orang kepulauan ini merumuskan diri, kenyataan sekitar, serta tujuan-tujuan hidupnya.
Karenanya, dengan pilihan kata yang hampir imperatif dan berulang, buku ini menegaskan pilihan terbaik bagi sebuah perubahan atau reformasi apa pun (di tingkat apa pun), tidak dapat terjadi secara substansial dan signifikan tanpa sukses kita menginisiasi sebuah gerakan kebudayaan. “Gerakan kebudayaan merupakan jantung reformasi sosial,” tulisnya seraya meneguhkan kebudayaan di sini dilandasi oleh sebuah arsenal terpenting: bahasa. Sastra dan keberaksaraan dalam arti praktisnya.
Dan betapa pentingnya bahasa/sastra/keberaksaraan sebagai landasan kebudayaan dari sebuah kebangkitan dan perubahan, membuatnya juga memiliki posisi sentral dan fundamental dalam diri manusia sebagai kekuataan terbaik dalam proses kebangkitan itu. Kualitas manusia yang tumbuh sebagai karakter kuat, yang mampu menolak atau meminggirkan dua bahasa mediatik paling dominan, sebagaimana dikutip Yudi dari Rushworth Kidler: politik (who’s the wining, siapa yang menang) atau ekonomi (where’s the bottom line, dimana untungnya), dan menggantinya dengan satu bahasa dominan baru, bahasa kebudayaan, tentang what’s right (dimana kebenarannya).
Pada pertarungan kekuasaan, yang sekali lagi tak lain adalah pertarungan bahasa ini, kata-kata dan diksi menjadi prajurit di garda depannya (avant-garde). Dimana kekuatan dan kekuasaan tradisional, seperti dijelaskan di atas, mendapat ancaman terkerasnya dari munculnya kata, diksi dan bahasa baru di wilayah kekuasaan, di tengah publik yang didominasinya. Kita tahu, di banyak dekade mutakhir, pilihan-pilihan kata yang dipilih penguasa (politik-ekonomi-militer-agama, dsb) –yang juga didistribusi oleh media massa yang berkepentingan sama—menciptakan sebuah pola kesadaran tertentu. Pola dimana kenyataan ternyata sudah dikonstitusi lebih dulu, menjadi sesuatu yang semu, ilusif dan pada akhirnya menciptakan sebuah kesadaran semu dalam bentuk lain.
Diksi-diksi seperti “separatisme”, “teror”, “penyesuaian harga”, “penyalahgunaan wewenang”, “ganti rugi”, “narapidana”, “PSK”, “BLT” hingga pada terma-terma seperti “demokrasi”, “pemilu langsung” atau “keterwakilan”, sebenarnya tidak lain adalah ruang-ruang tertutup dimana kepentingan politik dan status quo bersembunyi di dalamnya. Bila di masa lalu kata kemadjoean dapat memainkan peran penting dalam meneguhkan diri masyarakat sebagai sebuah bangsa, mungkin pada saat ini hanya dengan kata, misalnya, “wakil” atau “perwakilan”, sebuah perubahan radikal bisa dilakukan. Dengan misalnya, mengubah makna kata tersebut, atau menggantinya dengan istilah lain, karena kata tersebut sudah tidak lagi mewakili makna otentiknya, di saat mereka yang disebut “wakil (rakyat)” atau orang dipercaya rakyat, justru mengkhianati mereka yang telah memberinya kepercayaan dan kekuasaan.
Maka siapa pun yang menyatakan dirinya sebagai “wakil” pun pantas ditolak bahkan dikhianati. Apapun yang dilakukan dan diproduksi oleh “wakil” tersebut juga pantas ditolak, diingkari. Maka, dari sebuah diksi pun, perubahan radikal bisa dibayangkan terjadi: masyarakat menolak semua produk yang dihasilkan parlemennya! Satu gerakan bahasa, sebagai inti dari gerakan kebudayaan, landasan dari satu kebangkitan dan perubahan pada akhirnya, akan terjadi: dimulai dari beroperasinya, bergeraknya kaki-kaki dari kata-kata.
Itulah makna yang membuat buku renungan esaik Yudi Latif ini pantas dikunjungi dan juga direnungi lebih dalam. Gerak manusia, gerak sebuah bangsa, tidak lain berhulu pada satu gerak kebudayaan, dimana bahasa sebagai intinya. Revolusi pun terjadi, bermula dari kata-kata yang melawan, karena kaki-kakinya yang perkasa mulai melangkah dengan penuh tenaga.
pamulang, 2008

Sunday, January 11, 2009

Metamorfosa Kosong 5


( 5 )
DI RUANG PERTAMA. CAHAYA LEBIH TERANG. FITRI DAN DARMO DAN SEGELAS KOPI. ROKOK YANG MENYALA. DUA MINGGU KEMUDIAN.

FITRI : (MONDAR MANDIR) Dingin sekali....
DARMO : Kau kedinginan. Masih terlalu pagi, memang. Mendekatlah sini. Biar kau kena cahaya dan bisa merasa lebih hangat.
FITRI : Ponco juga pasti merasa kedinginan. Biar aku di sini saja. Aku ingin merasakan apa yang Ponco rasakan.
DARMO : Tapi di situ terlampau gelap, Fitri.
FITRI : Sel Ponco pasti lebih gelap lagi.
DARMO : Kau tidak merasa takut di situ?
FITRI : Apa yang dihadapi Ponco tentu lebih mengerikan.
DARMO : Terlampau larut kau dibawa perasaanmu sendiri.
FITRI : Ponco pagi ini akan ditembak mati.
DARMO : Sudahlah, Fitri. Sudah. (BERDIRI DAN BERJALAN KE SUDUT YANG LAIN)
FITRI : Kenapa sudah, Darmo? Apanya yang sudah? Kau pikir kita sudah bisa tenang dengan Ponco dilahap peluru panas di lehernya? Sementara badannya tentu terlalu dingin untuk itu.
DARMO : Aku tidak berkata begitu. Aku cuma memintamu untuk mengerti dan tenang, bahwa ini memang mesti terjadi.
FITRI : Jangan mendakwa aku, Darmo. Aku sangat mengerti. Mengerti sekali bahwa ini memang harus terjadi. Ponco ditembak mati. Keyakinan yang begitu besar, semangat yang begitu tinggi, kejujuran hati. Semua itu harus ditembak mati.
DARMO : Ia mati untuk menghidupkan yang lebih banyak lagi.

FITRI : Ponco adalah patriot besar. Negeri ini tak boleh melupakannya. Juga darah darah lain yang tumpah untuknya. (MENUNDUK) Aku hanya merasa ngeri, banyak orang setelah kita, duduk di atas darah Ponco, mengatasnamakannya untuk mendapatkan posisi dan memperoleh keuntungan-keuntungan politik, ekonomi, atau sosial karenanya.
DARMO : Terkutuklah orang seperti itu.
FITRI : Zaman selalu diisi oleh jenis-jenis manusia seperti itu.
DARMO : Dan kitalah yang menentangnya. Tanpa boleh menyerah.
FITRI : Dengan tubuh dingin dan peluru panas.
DARMO : (MENGHELA NAFAS) Tenangkan jiwa dan pikiranmu, Fitri. Ponco bisa saja bebas. Kalau Gubernur Jenderal mau mema'afkan dia. Dan rekan-rekan kita di Volksraad tentu tak berhenti bersuara dan berusaha untuk membebaskannya. Aku yakin, Thamrin, Yamin dan yang lainnya akan membelanya terus. Dan ...kita tahu, orang seperti Ponco masih kita butuhkan.
FITRI : Tidak. Ia akan mati. (DARMO MENOLEH KE ARAH FITRI) Inilah jalan yang memang sudah diinginkannya. Ponco akan merasa lebih bahagia dengan kematian ini. Aku bisa merasakannya. Dalam hitungan mundur ini, aku rasakan tubuhnya yang dingin sudah jadi kosong. Tanpa lagi diderita rasa dingin atau kekecewaan pada kita yang mungkin tak mampu melanjutkan perjuangannya dengan lebih baik.
DARMO : Kita tidak akan pernah berhenti berjuang, Fitri.

SUTRIS TIBA-TIBA SUDAH MUNCUL DI PINTU.

SUTRIS : Kita tidak akan pernah berhenti berjuang, Fitri.
DARMO : (MENOLEH) Kau kembali, Sutris.
SUTRIS : (MELANGKAH MASUK) Aku akan menggantikan tempatnya, setelah dulu aku gagal menjadi pendampingnya. (DUDUK) Aku tak bisa menahan getar tubuhku, saat di sidang kudengar Ponco berkata lantang, "kematian akan merupakan protesku yang tertinggi terhadap dunia yang penuh darah dan airmata ini."
FITRI : “Dunia yang penuh darah dan airmata”.
SUTRIS : Ponco kemudian berteriak seperti sebuah sangkakala, "Protes yang menyerap segenap kemanusiaan yang kumiliki ini, akan memanggil seluruh jiwa yang jujur untuk membela dan memperjuangkan apa yang sebenarnya menjadi haknya." Pada saat itu aku mengambil keputusan untuk kembali. Aku tak bisa mema'afkan kepengecutanku yang lalu. Aku berlari. Dan membunuh bergundal kolonial yang memperkosa seorang gadis. Kini, bom sudah kutanam di jantung dan benakku. Aku siap melemparkannya, kapan pun. Aku siap menerima tugasmu, Darmo. Apa pun.
DARMO : Aku bahagia dan bangga, Sutris. Kuterima baik kau kembali.
FITRI : Ponco pasti merasa senang. Dari semula tak pernah luntur kepercayaannya padamu, Sutris. Tubuhnya tentu akan sedikit lebih hangat jika ia bisa mendengar kata-katamu ini.
SUTRIS : Mestinya aku bisa menyelusup ke tempat hukuman tembak dilangsungkan. Tapi aku bertemu Wali di sana. Ia minta aku ke sini. Dan aku kembali.
FITRI : Waktunya sudah dekat. Mestinya kini ia tengah digiring dengan mata tertutup ke lapangan hukuman. Dan bibirnya pasti takkan pernah berhenti menyenandungkan, "Indonesia merdeka...!"
WALI : (MEMBUKA PINTU DAN MASUK) Dia memang rekan dan pahlawan yang dapat dibanggakan. Kita keliru kalau selama ini sering menyangsikannya. Aku merasa bersalah karena itu.
FITRI : Kau dari sana, Wali?
WALI : Aku menyaksikan semuanya.
FITRI : Adakah ia gemetar?
WALI : Ia tegar dan menolak matanya ditutup.
FITRI : (PADA DIRI SENDIRI) Tubuhnya mesti kedinginn. (PADA WALI LAGI) Adakah yang dikatakannya.
WALI : Ia mendengar apa yang dikatakan oleh seorang ahli agama di depannya. Tapi kemudian ia bicara dengan lantang, "Aku tidak menolak adanya Tuhan. Tapi kematian seperti ini sudah kupilih. Aku tidak membutuhkan petuah-petuah cengeng. Aku tidak butuh Tuhan. Apalagi jika ia diucapkan hanya sebagai hiburan".
FITRI : Dan peluru ditembakkan.
WALI : Dan peluru diletuskan.
FITRI : Dan tak ada keluhan sedikit pun keluar dari bibirnya.
WALI : Tak ada keluhan keluar dari hatinya.
FITRI : Tubuhnya layu dengan darah di sekujur tubuhnya.
WALI : Cukup, Fitri! Buat apa kau menyayat-nyayat dirimu sendiri dengan cara seperti itu.
FITRI : Dengar, Wali. Kau harus menceritakan lebih rinci, dan lebih rinci lagi. Bagaimana semua itu berlangsung dan terjadi. Karena aku mau kepahitan itu berarti. Karena Ponco tidak boleh mati sia-sia.
DARMO : Diam!!
FITRI : (LEBIH KERAS LAGI) Tidak!! Kau harus bicara. Kita harus bicara. Ceritakan padaku sekarang, Wali, bahwa Ponco melangkah dengan kaki menapak lantai yang ia jejak. Bahwa Ponco menegaskan perjuangannya sampai detik terakhir ia bisa merasakan dingin tanah negeri yang dicintainya ini. Sampai detik terakhir keindahan dunia bisa ia hisap!

WALI DIAM SAJA.

FITRI : Kau harus mengatakannya, Wali. Kau harus katakan!
DARMO : (MENGHELA NAFAS) Katakan, Wali!
WALI : Ia masih bicara satu kalimat di akhir kesempatannya.
FITRI : Terus, katakanlah Wali.
WALI : Ia berkata lurus, seolah pada moncong senapan yang diacungkan padanya, "Tak ada lagi yang kukenang sekarang. Urusanku dengan hidup sudah selesai. Dan aku sudah menyiapkan tempat untuk kematian".
FITRI : Ia telah dapatkan kedamaian. Terus, Wali.
WALI : Sampai kapan kita lanjutkan perkosaan bathin ini, Fitri.
FITRI : Aku punya hak untuk mendengarnya. Aku berhak. Mungkin bagimu hal itu jadi sebuah perkosaan. Karena kau cemburu padanya. Kau tak dapat berbuat seperti dia. Apalagi memperoleh apa yang telah dia peroleh. Kau takkan mendapat kemurnian, kejujuran, dan penyatuan diri sebagaimana Ponco telah dapatkan. Kau tak bisa berdamai dengan apa saja. Sebagaimana Ponco telah berdamai dengan hidup ini. Bahkan dengan semua derita yang ia peroleh, semua airmata yang mengalir di kakinya. Kau takkan memperolehnya. (MENGHADAP SEMUA) Juga kita.

SEMUA DIAM

FITRI : Kosong. Ia sampai pada kekosongan dimana segala unsur hidup bersatu. (MENUNDUK) Bertahun-tahun aku mencitakan hal itu. (PADA DARMO) Bertahun aku tak berbuat salah pada perjuangan ini. Bukan begitu, Darmo?
DARMO : Kau adalah wakil yang sempurna dari perjuangan kita, Fitri.
FITRI : Aku belum pernah meminta pertolongan padamu, bukan?
DARMO : Belum.
FITRI : Dan kau akan menolongku sekarang, Darmo.
DARMO : Ya.
FITRI : Berikan aku bom. Biar aku yang akan merakitnya sendiri. Tapi atas izinmu, Darmo, aku akan melemparkannya.
DARMO : Itu tidak mungkin, Fitri.
FITRI : Mengapa tidak? Mengapa Darmo?
DARMO : Peraturan organisasi kita melarang wanita melakukan itu.
FITRI : Aku tahu itu. Aku tahu, sejak tadi aku sudah melupakannya. Aku harus melempar bom, dan aku berhak. Dan kau akan mengizinkannya, kasihku.

DARMO GELISAH.

FITRI : Aku tahu kau akan mengizinkan, Darmo. Karena kau tidak akan terlampau memikirkan kepentinganmu sendiri. Ketiadaanku akan justru menolongmu nantinya, sebagai pimpinan, sebagai pejuang. Sebagai orang yang mencintai...
DARMO : Fitri!
FITRI : Kau memberiku ijin? Aku tak salah dengar?

DARMO SANGAT GELISAH.

SUTRIS : Berikan ijin itu, Darmo.
WALI : Ia kini punya hak untuk itu.

DARMO MEMANDANG SEMUANYA DENGAN GELISAH. TERKAHIR PADA FITRI YANG MATANYA LURUS TAJAM MENATAP MATANYA.

DARMO : Aku tak mengerti, apakah aku telah mengambil keputusan yang tepat atau tidak. Tapi...memang, tak ada yang bisa menghalangi kau untuk melakukannya, Fitri.
FITRI : Bagus!

FITRI KE SUDUT. DUDUK MEMBERESKAN PERKAKAS. SUARA SIRENE MERAUNG TIBA-TIBA. SEMUA GELISAH. SALING BERTANYA DALAM HATI. SIRENE DAN SUARA RIBUT MENGURUNG. PESAWAT SEPERTI MENDERU DI ATAS KEGELISAHAN MEMUNCAK..DAN...SUARA BOM BESAR MENGGELEGAR. SEMUA HANCUR. FITRI MASIH MEMBERESKAN PERKAKAS.

LALU GELAP.

Jakarta, 03 Oktober 1990/Teater Kosong

Metamorfosa Kosong 4


( 4 )
SEBUAH PENJARA. LELAKI SETENGAH TUA DAN GEMPAL MENGEPEL LANTAI. HENING. HANYA KERESEK SANDAL LELAKI TUA DAN KAIN PEL YANG BERADU DENGAN LANTAI. DI SATU SUDUT, DI BALIK TERALI, PONCO DUDUK.

PONCO : (MENGHAMPIRI LELAKI) Kau tentu orangh hukuman juga.
LELAKI : Siapa di sini yang tak mengalami hukuman.
PONCO : Apa perkaramu?
LELAKI : Biasanya lelaki yang ada di sini. (PAUSE) Kubunuh tiga orang dalam satu gerakan.
PONCO : Kau rampok mereka?
LELAKI : Begitulah. Tapi...ah sudahlah. Di sini tahanan dilarang bicara sebenarnya.
PONCO : Kau sebenarnya tidak merampok.
LELAKI : (MEMANDANG PONCO. LALU CELINGUKAN) Anakku belum makan dua hari. Kalau aku dan istriku tak persoalan. Tapi uang panenku, seluruhnya untuk bayar lintah darat. Itu soalnya. Kuminta sebagian, tak boleh. Ya, aku kesel, kuambil semuanya.
PONCO : Dia melawan.
LELAKI : (TERKEKEH) He..he.. Ronggo kok dilawan. Entek kabeh.

LELAKI TERTAWA. JUGA PONCO. SUARA PENJAGA TERDENGAR DI BALIK PINTU MEMBENTAK. KEDUANYA MENUTUP MULUT.

LELAKI : (CELINGUKAN) Kalau kau? Berapa?
PONCO : Satu orang.
LELAKI : Umurmu?
PONCO : Sekarang jalan dua empat.
LELAKI : Belum kawin?
PONCO : Belum.
LELAKI : Selamat.
PONCO : Aku takkan beruban di sini?
LELAKI : Aku saja belum. (TERKEKEH) Kau pasti akan merasakan enaknya kawin. Pasti. Mudah-mudahan pada saat itu aku bisa datang. (TERKEKEH. TIBA-TIBA) Siapa yang kau bunuh, anak muda?
PONCO : Residen.
LELAKI : (TERLONCAT) Diamput! Diamput!
PONCO : Kenapa, pak?
LELAKI : (MATANYA NYALANG) Diamput. (GELENG-GELENG) Berat, berat.
PONCO : Aku sudah tahu. Itu yang aku pengen.
LELAKI : Bajingan! Tapi aku ndak rela..ndak rela.
PONCO : Kenapa?
LELAKI : Kau orang organisasi?
PONCO : Ya. Kenapa?
LELAKI : (MENDEKATKAN WAJAHNYA) Aku algojonya di sini.
PONCO : (TERTAWA) Selamat...selamat!
LELAKI : (BINGUNG) Kurang ajar. Kok malah ngakak. Kok ndak tahu kau bikin repot saja.
PONCO : Kenapa?
LELAKI : Kalau aku memenggal satu kepala atau menembak mati, satu tahun hukumanku berkurang. Tapi tiga tahun bertambah kalau aku menolak tugas itu.
PONCO : (TERTAWA)
LELAKI : Dan aku sudah mau bebas!
PONCO : (TERTAWA)
LELAKI : Padahal aku nggak mau membunuhmu, goblok!
PONCO : (TERTAWA LEBIH KERAS)

SEORANG PERWIRA DAN DUA PENJAGA TIBA-TIBA SUDAH MASUK. BERSAMA SEORANG WANITA.

PERWIRA : Diam!

PONCO MASIH TERKIKIH. LELAKI SURUT, MEMBUNGKUKKAN BADAN, MENENGOK SEBENTAR PONCO. DAN PERGI.

PERWIRA : Apa yang dibicarakan?
PONCO : Bapak itu cerita, dia terkencing di celana waktu pertama kali melihat Anda. (TERTAWA)
PERWIRA : (MARAH) Diam!!

PERWIRA INGIN MEMUKUL PONCO DENGAN POPOR SENJATANYA. TAPI DICEGAH WANITA. LALU IA MENGUSIR LELAKI, MENGHAMPIRI PONCO DAN MEMBUKA PINTU SEL.

PERWIRA : (MEMPERSILAKAN WANITA MASUK KE DALAM SEL) Nyai ingin bicara padamu. Dia tak bermaksud jelek. Kuminta, kau juga bersikap sama. Bahkan bisa bekerjasama. (MENETI REAKSI PONCO) Silakan, Nyai.

PERWIRA KELUAR. MENGUNCI SEL DAN PERGI. DIIKUTI PENJAGA.

NYAI : Selamat siang, anak muda.
PONCO : Aku belum kenal Anda. Aku tak terbiasa meladeni orang tanpa tahu lebih dahulu siapa dia.
NYAI `: Aku Tuminah. Orang biasa panggil aku Nyai Tumi. Aku istri Residen yang kau bunuh.
PONCO : (TERKEJUT) Oohh...
NYAI : Aku ingin bicara padamu.
PONCO : (MENGENDALIKAN DIRI) Kalau aku bersedia atau menyediakan waktu untuk itu. Tapi rasanya aku ragu.
NYAI : Aku tak perduli itu. Aku mau bicara. Itu saja. Apa terlalu sulit kau menerimanya.
PONCO : Tak ada waktu untuk kompromi.
NYAI : Untuk orang yang telah kehilangan sebagian hidupnya karena kau. Untuk anak-anak yang jadi yatim karenamu?
PONCO : Tak ada sempat untuk menghasut.
NYAI : Kau berhadapan dengan wanita yang tiga puluh tahun capek menderita. Dan baru sebentar saja menerima ketenangan. Bersama lelaki yang seluruh hidupnya ia baktikan untuk mengabdi pada pendidikan orang kecil. Kau berhadapan dengan orang yang hendak mewakili anak-anak yang kini ragu akan masa depannya. Dan itu kau bilang menghasut?
PONCO : Pengkhianat punya seratus bibir, dan ribuan lidah untuk membasahinya.
NYAI : Bagaimana kau bisa bilang begitu pada seorang wanita yang berhari-hari tak mampu menahan dirinya untuk tidak merasa kehilangan? Pada seseorang yang tiba-tiba kehilangan seluruh temannya. Dan ia butuh bicara. Hanya untuk mencari teman. Bukan musuh, bukan. (PAUSE) Barangkali aku tidak dendam padamu. Orang yang sudah menghancurkan harapan yang baru saja muncul. Habis, habis sudah dayaku untuk membenci. Untuk dendam. Aku hanya ingin bicara.
PONCO : Sedari tadi kau sudah bicara.
NYAI : Ya, tapi bukan pada telinga. Aku ingin telinga. Hal yang di zaman ini tak lagi bisa kudapatkan. (MENGHAMPIRI PONCO) Katakanlah, anak muda, bahwa kau mendengar apa yang kukatakan!
PONCO : Aku mendengar. Karena aku bertelinga. Tapi buat apa?
NYAI : Buat apa? Buat kau gunakan, tentunya. Untuk menjawab pertanyaanku. Meredakan kegelisahanku. Memberiku sedikit saja perhatian.
PONCO : Aku menolak. Semua itu percuma. Untukku, juga bagimu.
NYAI : Barangkali wajahku sudah tak berujud manusia. Ya, bisa jadi. Beberapa hari ini kurasakan sudah hal itu. Tepatnya, ada sesuatu yang hilang dari diriku. Diriku sendiri...Lalu buat apa memberi perhatian pada orang yang telah kehilangan dirinya sendiri?
PONCO : Kau hadir di sini. Dan ada.
NYAI : Seorang nyai, bekas seorang istri residen. Itulah kenyataan yang hadir di depanmu. Dan ia tak memiliki apa-apa. Sebenarnya hal itu sangat kau mengerti. Apa yang dimiliki seorang nyai jika ia sudah menjadi janda? Kosong. Bahkan kehinaan. Mungkin anak-anakku sendiri takkan mengakui aku lagi sebagai ibunya. Hanya lantaran kulitku lebih gelap dari mereka. Nyai sepertiku sebenarnya tak lebih dari selembar foto. Mungkin menarik jika ia dihias pigura dan menempel pada satu dinding. Ia akan jatuh dan pecah jika dinding itu hilang. Tinggal foto yang ada. Tinggal foto, yang kau lihat sekarang. Ia bukan lagi manusia.
PONCO : Segala kehormatan telah dilucuti dari tubuhmu.
NYAI : Kau mengetahui itu, anak muda. Tapi lebih dari itu, ada hutang darah di antara kita. Aku tidak mau menagihnya. Cuma mengharap simpati dari seseorang yang tiba-tiba aku merasa dekat. Yang ternyata simpati itu tak bisa kudapat.
PONCO : Perhatianku kini terpusat antara mencari dan kehilangan diriku sendiri.
NYAI : Kita senasib. Itu aku tahu. Bukankah hal itu yang membuat kita kini ada di sini.
PONCO : Tapi aku tak membutuhkanmu. Aku mau sendiri. Aku mau kau pergi!
NYAI : Kenapa? Aku tidak tahu, sekonyong aku merasa kehadiran suamiku di ruangan ini. Adakah kau kau masih menyimpan sedikit darah suamiku. Mungkin di lengan bajumu, atau di ujung cahaya matamu.
PONCO : Aku tahu, besok aku akan menjalani hukuman tembak mati. Saat yang memang kutunggu sebenarnya. Karena dengan itu lengkap sudah, apa yang bisa kuberikan pada revolusi ini. Aku merasa bahagia. Perjalanan waktu menuju hukuman itu terasa abadi untukku. Aku seperti melihat jelas diriku sendiri. Aku ada. Karena ada sesuatu yang besar meluap dari ruang di ubun-ubunku, ruang di bathin, dan ruang yang diisi seluruh tubuhku. Tapi untuk itu aku harus sendiri. Aku tidak membutuhkan siapa pun. Tidak juga kau. Barangkali tidak juga teman-teman seperjuanganku. Aku memang mencintai mereka. Seluruh semangatku seakan masih bergentayangan di antara kawan-kawanku, di dalam rumah kecil di mana kami memulai perjuangan. Dan kehadiranmu di sini membuat aku merasa berkhianat pada mereka.
NYAI : Aku melihat sesuatu yang hidup. Meletup-letup. Aku melihat darah suamiku di situ. Aku seperti dibangkitkan. Suara itu, suaramu itu, anak muda. Mirip sekali suara suamiku jika ia sedang marah, melihat petani yang terlalu miskin dan tak berpendidikan.
PONCO : Tak ada kata-kata lagi yang dapat kudengar. Aku merasa hilang. Aku lenyap. Tapi ada. Aku ditelan oleh ruang ini, oleh penantian abadi ini. Atau akulah yang menelan semuanya.
NYAI : Suara itu, ya suara itu, milik suamiku. Juga matamu, gerak kecil tanganmu. Tarikan bibirmu. Tubuhmu. Rambutmu, lubang hidungmu...(MENDEKAT) Aku melihat suamiku hidup kembali.
PONCO : Seluruh inderaku mati. Mendengar dan merasa aku tak bisa. Tubuhku membesar. Ooh...membesar. Ruangan ini menjadi sempit. Kulit-kulitku menyentuh semua ruangan ini. Aku harus berkata, ruang ini sudah jadi tenggorokan nafasku. Dan kau perempuan, seperti duri ikan yang menyangkut di dalamnya.
NYAI : (TERSENYUM) Darahku bergolak. Semangatku menggelegak. Jangan-jangan aku sudah tak ada lagi di dunia. Ini seperti surga. Atau neraka? Persetan! (MEMBELAI PONCO) Aku tak mau kembali. Aku tak mau pergi dari sini. Di luar sana terlalu banyak masalah. Biarlah aku di sini, walau aku harus jadi masalah, jadi duri di tenggorokanmu. Biarkan aku hadir bersamamu, suamiku. Biarkan aku ada.
PONCO : (MEMEJAMKAN MATA) Tubuhku kian besar saja. Aku tak mampu menahannya. Ia mengambil ruang di luar penjara ini. Membesar terus. Mengisi segala ruang. Membuat padat udara seluruh negeri. Aku melihat diriku menjadi negeri. Kebebasan...Adakah itu kemerdekaan bangsaku? Adakah kulihat kebebasan bagi Indonesia? Oh... (DIBELAI-BELAI NYAI) Rasanya sesak dan lapang. Rasanya aku penuh dan kosong. Penuh dan kosong...kosong.
NYAI : Suamiku...suamiku... (MEMBELAI-BELAI, MERANGKUL, MENELUSURI SELURUH TUBUH PONCO)

LAMAT-LAMAT.

LALU PUDAR.

DAN GELAP.

Metamorfosa Kosong 3

(3)

ooo

LIMA HARI KEMUDIAN. DI TEMPAT YANG SAMA. MEJA BERSIH. LAMPU LEBIH REDUP. SEMUA HADIR, KECUALI SUTRIS.

WALI : Kemana Sutris? Mestinya ia sudah ada di sini.
FITRI : Ia tampak begitu letih beberapa hari ini.
DARMO : Ia butuh tidur, dan mungkin sedikit hiburan.
WALI : Biar saya cari dia di luar.
DARMO : Tak perlu, terlalu banyak risiko.

KETUKAN DI PINTU. SEMUA MEMANDANG PINTU. DARMO MENGANGGUK DAN WALI DENGAN TANGAN TETAP DI TANGKAI BELATI, MEMBUKA PINTU.

DARMO : Itu pasti Sutris.

SUTRIS MASUK. WAJAHNYA LETIH SEKALI. TAPI IA TAMPAK BERUSAHA TERLIHAT GEMBIRA.

SUTRIS : Halo bung sekalian! Cerah bukan hari ini? (MENGEMBANGKAN KEDUA TANGANNYA)
DARMO : Ya, langit tak berawan. Bagaimana kau sendiri?
SUTRIS : Aku merasa senang hari ini (SUARANYA BERGETAR).
WALI : Kau tidak sehat. Wajahmu pucat. Kulitmu hampir seperti mayat, Sutris.
SUTRIS : Kenapa? Ada apa? Aku biasa-biasa saja. Ya, mungkin aku kurang tidur. Tapi kenapa dengan orang yang kurang tidur? Kalian semua tahu, semangat kita tak pernah sama sekali lelap, bukan?
DARMO : Seharusnya kau perbanyak jam tidurmu.
SUTRIS : Sudah kuusahakan. Tapi tak begitu berhasil. Mungkin udara buruk, atau banyak nyamuk.
DARMO : Tanganmu gemetar.
WALI : Dan kutahu, orang seperti kau tak pernah mendapat halangan hanya karena udara busuk atau tidak tidur di atas kasur yang tak empuk.
SUTRIS : (TERTAWA IRONIS) Nampaknya kalian semua memperhatikan aku. Jelasnya, mengkhawatirkan kekuatanku. (TERTAWA LAGI. SINIS) Itu tak perlu. Jika memang harus begitu, mestinya lima hari yang lalu. Andai kata kita jadi lemparkan bom itu.
PONCO : Ma'afkan aku, bung. Itu semua salahku. Salahku juga yang membuat kesehatanmu berkurang. Membuat banyak orang mungkin menjadi bimbang.
SUTRIS : Oh tidak, tidak Ponco. Sama sekali aku tidak menyalahkanmu. Bahkan mungkin kau telah menyelamatkanku.
FITRI : Rasanya tidak perlu diperpanjang lagi. Andong Residen itu akan lewat dua jam lagi. Ada baiknya kita segera berkemas.
SUTRIS : Tapi sebelum itu, boleh aku bicara denganmu, Darmo?
DARMO : Empat mata?
SUTRIS : Empat mata.

DARMO MENGEDARKAN ISYARAT. LALU SATU-PERSATU, WALI, PONCO, DAN FITRI MENGUNDURKAN DIRI.

DARMO : Mungkin ada yang ingin kau bikin terang, Tris?
SUTRIS : Begitulah, Darmo. (MENUNDUK) Namun, aku agak sungkan mengatakannya...
DARMO : Kau menolak melemparkan bom itu, bukan?
SUTRIS : Aku mesti mengakuimu sebagai pemimpinku, Darmo. Kau dapat membaca pikiran dan hatiku. Walau dengan segenap rasa malu di perasaanku.
DARMO : Apa yang terjadi padamu, saudaraku?
SUTRIS : Tiba-tiba tak hanya tanganku, tapi juga seluruh hati, seluruh pori dan pikiranku bergetar. Aku tak mampu melanjutkan perjuangan ini. Kembalikan saja aku ke seksi sekretariat atau propaganda.
DARMO : Baru dua hari yang lalu, kulihat matamu masih berbinar dibakar semangat. Apakah ada orang lain yang telah mengacau semangatmu?
SUTRIS : Tak ada, Darmo. Semua berlangsung begitu cepat. Empat malam ini aku diganggu mimpi buruk. Karena itu aku tak pernah menikmati malam istirahatku dengan baik. Keyakinanku goyah. Aku merasa revolusi seperti ini bukan bagianku lagi. Atau katakanlah, aku kurang revolusioner. Namun bagiku, persoalannya tak cukup selesai sampai disitu.
DARMO : Pikiranmu agak terganggu. Kau betul-betul butuh istirahat. Dan aku mengijinkan kau pergi, dua tiga minggu ke Bogor, atau bahkan Sumatera.
SUTRIS : Tidak, Darmo. Sekali aku tidak mau melempar bom itu, aku akan tidak melemparkan benda yang sama selamanya.
DARMO : Jangan terlampau kau besarkan persoalan.
SUTRIS : Persoalannya tidak sesederhana yang kau bayangkan, Darmo. Bagimu mungkin lebih ringan, mengatur, merencanakan dan memberi perintah. Tanpa harus melewati malam dan kegelapan di lorong-lorong air. Menghindari ketajaman pedang atau panasnya peluru serdadu Belanda. Atau anak dan wanita yang bergegas mencari satu dua sen atau satu dua buah ubi. Lelaki yang berkeluh kesah di seputar kota, cuma menanti tatapan penuh harap anak dan istrinya di rumah. Kau jauh dari kenyataan itu, Darmo. Kau ada di luarnya. Kau tak berada dalam situasi dimana kau menggenggam sebuah bom di hatimu, yang siap kau lemparkan saat andong yang berisi anak kecil itu lewat di depanmu. Kau tak di sana, Darmo. Tapi aku? Aku mengalaminya.
DARMO : (TERDIAM SEAAT) Bisa jadi kau benar. Tapi, aku pikul semua tanggungjawab itu.
SUTRIS : Dengan dada terbusung, kau bisa katakan itu, Darmo. Ma'af sama sekali aku tak mampu melakukan hal yang serupa. Itu bukan bagianku. Aku harus berada di tempat dimana -mungkin- ketakutanku bisa berdiri. Dimana mungkin juga aku bisa punya harga diri. Pada saat itu, seorang penakut kukira- akan bisa berguna bagi revolusi.
DARMO : Bagi pejuang, dimana pun tempat sama saja. Juga risikonya. Paling sedikit penjara atau dihukum tembak.
SUTRIS : Kau dapat mengatakan itu sebagai imajinasi. Tapi tidak untuk orang yang merasakan panasnya peluru berdesing di sisi hidungnya. Aku tak bisa berada di situ. Juga tak bisa berada di tempatmu, yang harus menggenggam hidup orang lain, untuk kau terjunkan dalam salah satu jalan maut yang mengerikan. Dan aku harus menerima diriku seperti itu. Seperti apa adanya.
DARMO : Lalu apa yang hendak kau lakukan sekarang?
SUTRIS : Saya akan pergi, sekarang juga. Saya tak ada muka lagi berhadapan dengan teman-teman. Hanya tolong sampaikan pada Ponco, ia tak punya salah. Dan katakan pada semua, saya mencintai kalian.
DARMO : Saya akan sampaikan. (BERDIRI)
SUTRIS : (MEMELUK DARMO). Selamat tinggal, bung. Semoga revolusi ini berhasil. Yakinilah aku, bahwa aku akan melanjutkan perjuangan ini dengan caraku sendiri.
DARMO : (MELEPAS PELUKAN) Pergilah dengan damai, saudaraku. Jangan biarkan hatimu tambah kecut dengan perpisahan ini.
SUTRIS : Merdeka!
DARMO : Merdeka!

SUTRIS KELUAR, TERGESA, LEWAT PINTU YANG LAIN. SEBENTAR IA MENENGOK DARMO. DARMO MEMANDANGNYA. LALU DENGAN PASTI, SUTRIS MENGHILANG.

DARMO MENGHELA NAFAS, MELIHAT ARLOJI, DAN BERJALAN KE PINTU. MEMBUKA PINTU SAMBIL MEMBERI KODE DENGAN TANGANNYA.

SATU-PERSATU KETIGA LAINNYA MASUK. PANDANGANNYA BERTANYA KE ARAH DARMO.

WALI : Mana Sutris?
DARMO : Ia pergi.
FITRI : Ia tak melemparkan bom itu?
DARMO : Ia ingin istirahat. Tiba-tiba sakit jantungnya kumat.
PONCO : (SEPERTI PADA DIRI SENDIRI) Aku sudah menduganya.
DARMO : O ya, ia menyampaikan pesan padamu Ponco. Katanya, kau tak bersalah. Dan ia juga minta untuk menyampaikan rasa cintanya pada kalian.
FITRI : Kasihan, Sutris.
WALI : Apakah kau akan menunda lagi rencana ini.
DARMO : Tidak.
PONCO : Kalau begitu siapa akan melemparkan bom kedua?
WALI : Aku yang akan melemparkannya.
DARMO : Tidak. (PAUSE) Kuputuskan sudah saat ini. Sutris keluar dari operasi ini. Dan saya akan gantikan tugasnya.
FITRI : Tapi kau mestinya berada di sini, untuk memproklamirkan pernyataan kita.
DARMO : Wali menggantikan tugasku.
WALI : Aku keberatan. Aku merasa tidak punya kapasitas membawa tanggungjawabmu. Dan lagi bukan bakatku.
DARMO : (KERAS) Ini perintah! (MEMANDANG YANG LAIN) Seorang pemimpin memang tak harus selalu menjadikan meja kursinya sebagai tempat berlindung. Begitu kecilnya meja, tapi betapa jauhnya jarak itu memisahkan seorang pemimpin dengan kenyataan yang diperjuangkannya. Dan kutegaskan keputusan ini; Wali, kau berada di sini. Yang lain tetap pada posnya. (MELIHAT ARLOJI) Tak berapa lama lagi, andong Residen itu akan lewat. Kita harus bergegas. Wali, kau ikut aku sebentar!

WALI DAN DARMO KELUAR.

FITRI DAN PONCO TERTINGGAL, DALAM SENYAP.

FITRI : (MENDEKATI PONCO) Kau nampak makin tidak gembira, Ponco.
PONCO : Hatiku diliputi rasa bersalah...terutama pada Sutris.
FITRI : Sutris hanya sedikit stress. Ia akan segera kembali.
PONCO : Aku tak yakin itu. Aku kenal wataknya. Kalau aku berada dalam dalam posisinya, mungkin kuambil sikap yang sama.
FITRI : Ia pasti merasa bahagia sekarang.
PONCO : Aku pun bahagia.
FITRI : Tidak untuk dua hari terakhir ini, sebenarnya.
PONCO : Aku bahagia. (PAUSE) Aku bahagia bahwa aku telah menetapkan sikap baru untuk membunuh Residen itu. Kalau dulu kukira membunuh itu sederhana saja, cuma membutuhkan patriotisme dan sejumput idealisme. Tapi nyatanya, itu tak memadai. Dan aku dilanda kesangsian. Aku tahu, kalau aku membunuh dengan rasa benci, ternyata rasa benci tidak akan membawa kebahagiaan. (PAUSE) Anehnya, kini aku merasa bahagia lantaran sudah kuputuskan untuk membunuh Residen itu atas dasar kebencian...Barangkali...aku terlampau sensitif. Atau ...dipermainkan pikiranku sendiri.
FITRI : Karena kau menganggap ada satu hal lagi di atas kebencian.
PONCO : Ya, ia yang bernama cinta.
FITRI : Kau hendak membunuh dengan dasar cinta?

PONCO HANYA MENJAWAB DENGAN PANDANGANNYA.

FITRI : (TERTAWA KECIL) Itulah soalnya. Kau mencari apa yang tidak terdapat dalam perjuangan ini.
PONCO : (TERTEGUN) Aku hampir tak mempercayai kupingku sendiri. Kau Fitri, yang telah begitu banyak memberi pelajaran untukku, berkata seperti itu.
FITRI : (TERSENYUM) Cinta yang ada dalam sebuah perjuangan adalah cinta yang telah membuat leher kita tegak. Sedang cinta yang dibutuhkan banyak orang adalah cinta yang tunduk kepalanya. (MENGELUH) Andaikata saja, kita punya sedikit waktu untuk memahami atau merasakannya. (BERPALING DAN MEMBUANG NAFAS)
PONCO : Aku melihat kebijaksanaan bersinar di balik itu.
FITRI : Sebenarnya lebih menjadi pertanyaan, Ponco. (MENATAP PONCO) Adakah kita memiliki waktu itu? Bagaimana sebenarnya rasa cintamu?

PONCO TERGAGAP. FITRI MENUNGGU.

FITRI : Kau tegakkan kepalamu.
PONCO : Aku belum menjawabnya, Fitri. Aku melihat semangat revolusi menggigit nuranimu.
FITRI : (MENUNDUK) Revolusi memang tak boleh meninggalkan duka, kecuali bagi dirinya sendiri. Tapi, betapa kian cepatnya waktu terasa sekarang. Dan kita seperti akan segera kehilangan kesempatan. Sayangnya, kau tak bisa membuat dirimu lebih berarti untuk saya.
PONCO : Aku tidak boleh terlalu sentimentil saat ini. Aku akan membunuh orang sebentar lagi.

FITRI MENGELUH. TERJATUH DALAM DUDUK. PONCO HENDAK MENDEKATINYA. SAAT ITU WALI MASUK. BEBERAPA KEMUDIAN DARMO.

DARMO : Segalanya sudah siap.
WALI : Beberapa waktu lagi.
DARMO : Kita berangkat, Ponco.

PONCO MEMANDANG FITRI SESAAT.

PONCO : (KEPADA FITRI) Kita akan bertemu lagi.
FITRI : Kata-katamu benar. Tapi itu terasa lebih mengerikan dari lima hari yang lalu.

PONCO HANYA MENDENGUS DAN MEMBALIKKAN BADAN.

WALI : (MENDEKATI PONCO) Kau akan berhasil, bung. Percayalah aku bersamamu.
PONCO : Aku percaya. (PAUSE) Merdeka!!
DARMO : Merdeka!!
WALI + FITRI : Merdeka!!

PONCO DAN DARMO KELUAR. PAUSE. WALI MENGAWASI PONCO DAN DARMO LEWAT JENDELA. BEBERAPA LAMA.

WALI : Tak lama lagi. Aku percaya, kali ini Ponco akan berhasil. Aku percaya. (ANTUSIAS MENGAMATI LEWAT JENDELA. BERULANGKALI MENENGOK ARLOJINYA. BERBALIK, MEMANDANG FITRI) Kenapa kau diam saja. Ada yang kau pikirkan? (FITRI MASIH DIAM) Aha..aku tahu, Ponco bukan?

FITRI MEMANDANG TAJAM KE ARAH WALI. LALU MENGALIHKAN LAGI PANDANGNYA KE ARAH LAIN.

WALI : Aku tahu. Aku tahu. Kau cinta padanya.
FITRI : Kenapa kau bicara seperti itu? Apa aku terasa mengacuhkanmu.
WALI : Kurasa wajar, orang-orang seperti kalian membutuhkan cinta yang romantis seperti itu.
FITRI : Cinta membutuhkan waktu, Wali. Sedang untuk revolusi saja kita kekurangan.
WALI :Kau benar. Sedang untuk revolusi saja kita kekurangan waktu. (PAUSE) Karena revolusi juga, sudah jauh hari kubunuh cinta. Apapun bentuknya. Aku harus memusuhinya, bahkan memusuhi manusia, hanya agar revolusi ini tidak sia-sia.
FITRI : Padahal manusia juga yang kau perjuangkan.
WALI : Ya, manusia. Manusia dalam arti seluruhnya. Sedang kita, kau, aku, Ponco, atau Darmo, apa? Cuma noktah di tengah kata besar manusia. Ia akan segera lenyap, cuma sebutir debu di padang pasir. Tapi revolusi tidak. Ia akan terus ada. Bahkan tanpa aku, tanpa kau, Ponco, Darmo, Amir, Hatta, Syahrir, atau Soekarno.
FITRI : Dalam hatimu cuma ada kebencian. Dan itu kau artikan sebagai revolusi.
WALI : Bisa jadi. (MEMANDANG TAJAM FITRI) Bisa jadi, hal itu juga yang ada dalam hatimu, terutama padaku. Aku tahu...aku tahu..kau sama sekali tak senang pada manusia yang sekarang berada di depanmu. Tapi suatu kali nanti kau mesti bertanya, apa benar sikapmu terhadapku. (MELEMPAR PANDANG) Aku terlanjur...aku sudah terlanjur. Aku mau cepat revolusi terjadi. Biar bangunan bobrok yang ada sekarang ini hancur jadi pasir. Hingga kesempatan masih tertinggal untukku Untuk...(MENGALIHKAN) Ah, mereka sudah tiba di posnya masing-masing.
FITRI : Kau belum selesaikan kalimat terakhirmu sendiri.
WALI : (MEMANDANG KEMBALI FITRI) Ya. Untuk kita, barangkali Fitri.
FITRI : (DINGIN) Seharusnya kuterima gembira kata-kata itu.
WALI : Sudah kuduga itu. Sudah kuduga kata-katamu. Aku memang tak pantas mengeluarkan pernyataan seperti tadi. Habis, apa aku? Apa seorang Wali ini? (TERTAWA MELEDAK) Bekas tahanan. Pembenci manusia. Dengan luka menganga di semangatnya. Dengan balur-balur cambuk di seluruh tubuhnya. Apa ini Wali? Uuuggghhh...(MENGHEMPAS TUBUH. MEROBEK BAJUNYA SENDIRI. BALUR-BALUR CAMBUK MASIH MERAH DI SEKUJUR KULITNYA). Ini wali. Ini Wali. Ini aku. (ANTARA TERTAWA, MARAH, DENDAM, MENANGIS) Bekas tahanan. Pembenci manusia. Dengan dendam, dengan luka hati yang tak tersembuhkan. (SEPERTI TERSIHIR FITRI MENDEKATINYA) Buat apa aku diperdulikan? Bukan bagianmu, wanita. Bukan. (FITRI MENGGENGGAM TANGAN WALI) Kau sentuh kulit sampah, wanita. Kulit yang seharusnya terbakar bersama mesiu di tubuh Residen itu. Aku bilang, aku menolakmu Fitri. Aku menolak, karena kau seorang wanita! (FITRI MENCIUMI TUBUH WALI. WALI HAMPIR TAK DAPAT BERGERAK. TUBUHNYA KAKU. LALU TERHENYAK. WALI TERSEDU. FITRI TERTUNDUK DI SISINYA)


SUARA DETAK JAM, SATU SATU.

WALI : (TERSADAR) Waktunya tiba. Waktunya tiba. (MELOMPAT KE JENDELA DAN MELIHAT ARLOJI) Beberapa detik lagi. (DETAK JAM. SEPERTI TAK SABAR) Beberapa detik lagi.

FITRI TERLALU GELISAH. IA KE MEJA. SEBELUM SAMPAI, LEDAKAN BESAR TERDENGAR.

WALI : Ponco telah melakukannya. Darmo tidak.

FITRI TERTUNDUK. TERSEDU.

GELAP.

Metamorfosa Kosong 2


(2)

oo

SEHARI KEMUDIAN. PADA RUANGAN YANG SAMA. CAHAYA TAMBAH REDUP. FITRI DUDUK DI KURSI MENGHADAP MEJA. DARMO MELIHAT KELUAR JENDELA.

DARMO : Mereka sudah di tempatnya masing-masing. Wali sudah menyalakan rokok pertanda semuanya sudah siap. (MELI-HAT ARLOJINYA) Tidak beberapa lama lagi. Dan Residen itu akan menemui ajalnya. (MELIHAT ARLOJINYA LAGI

FITRI : Duduklah, Dar. Kau nampak tegang ini hari.
DARMO : Sebenarnya aku merasa tidak enak berada di sini sekakarang. Aku merasa iri. (TERDIAM) Pada Ponco, pada Sutris, atau Wali. Kurasa mereka lebih baik diriku.
FITRI : Tapi kau juga yang akan memikul semua tanggungjawab setelah ini.
DARMO : Soal itu tak mampu menipu kesan kebanyakan. Bahwa seorang pemimpin menyimpan dualisme kehormatan dan kepengecutan. Dan bagiku, terasa lebih baik jika aku memegang bom yang kini dipegang Ponco.
FITRI : Semua ada bagiannya sendiri sendiri. Bukankah kau juga yang membagi tugas itu?
DARMO : Kau begitu pandai mengendalikan diri, Fitri.
FITRI : (BANGKIT. MEMBENAHI GELAS-GELAS DI MEJA) Tidak juga. Dua tahun lebih aku mengikuti gerakan ini. Kurasa aku sudah berusaha untuk tidak mengecewakan teman-teman seperjuangan.
DARMO : Kerjamu tak bercacat, Fit.
FITRI : Aku membuat bom-bom itu dengan keterlibatan segenap bathin, pikiran, dan badanku. Walau kutahu, ada satu lagi bagian dari diriku yang tidak ikut serta. Dan bagian itu telah membuat gemetar setiap nafasku.
DARMO : Mungkin karena aku tak mampu bersikap sebagaimana lelaki pada umumnya.
FITRI : Persoalan itu tak pernah jadi beban untukku. Walau karenanya aku harus berkeringat setiap bangkit dari tidur. Seharusnya aku relaks saat tidur malam. Namun bayangannya...senantiasa mengejar.(TERDIAM) Ma'af aku harus jujur padamu, Darmo. Tapi, aku sama sekali tidak menyesalinya.
DARMO : Aku justru ingin menyesalinya. Aku ingin meninggalkannya. Salah satu dari kita mesti hilang. Tapi apa hanya lantaran itu kita mesti tinggalkan perjuangan ini? Karena itu aku ingin mengusulkan padaku sendiri agar Darmo ini melempar bom yang pertama.
FITRI : Walau kau tahu itu perbuatan pengecut saja.
DARMO : Tak ada bedanya dengan kepengecutanku berada di sini.
FITRI : Kenapa kita tiba-tiba jadi melankolik seperti ini? (MENDENGAR) Suara kereta itu!
DARMO : Aku mendengarnya. Ia sudah datang. (MELONGOK JENDELA) Wali sudah menyalakan rokoknya lagi. (SUARA KERETA BERTAMBAH DEKAT) Kuharap Ponco siap.
FITRI : Ia sangat siap.
DARMO : (MELIHAT ARLOJI) Beberapa saat lagi. (MENUNGGU. BEBERAPA SAAT) Mestinya Ponco telah melempar bom itu. (BERULANG KALI MENENGOK JENDELA) Kemana Wali? Mana Sutris? Aku tak melihat mereka.
FITRI : Apa yang terjadi? (GELISAH SEKALI) Ponco mesti telah tertangkap. Ya, pasti Ponco tertangkap. (MULAI TERISAK. MEMELUK DARMO) Apa yang mesti kita perbuat, Dar.
DARMO : Tenang. (SUARA LANGKAH KERAS TERGESA) Lihat! Sutris berlari. Cepat buka pintu!

FITRI MENGHAMBUR KE PINTU. SAAT PINTU TERBUKA, SUTRIS MENGHAMBUR MASUK DENGAN NAFASNYA YANG MEMBURU.

SUTRIS : Aku tidak mengerti, aku tak mengerti, Dar.
DARMO : (PADA FITRI) Beri ia minum. Ambil panjang nafasmu. Ceritakan apa yang terjadi?
SUTRIS : (MENERIMA GELAS AIR PUTIH DARI FITRI) Ponco tidak melempar bomnya. Aku tak tahu apa yang terjadi padanya. Aku menunggu...satu detik...dua...tiga detik...hingga sepuluh detik. Dan aku yakin, operasi ini gagal.
FITRI : Dia tertangkap.
SUTRIS : Kurasa tidak. Keadaan aman-aman saja. Kulihat Residen dengan tenangnya, bahkan sambil tertawa memasuki gedung pertunjukan itu. Aku menengok pos kawan-kawan. Jajat ada di tempatnya. Juga Kanto. Tapi tak kulihat Wali dan Ponco.
FITRI : Ada yang diperbuat Wali pada Ponco.
DARMO : Ia takkan berbuat apa-apa, Aku mengenal Wali.

SUARA ORANG BERLARI. DAN PINTU DIBUKA PAKSA. PONCO MASUK MEMBANTING DIRINYA KE TENGAH TIGA ORANG DI DEPANNYA.

PONCO : (NAFAS MEMBURU) Anak-anak...anak-anak...!! Aku tak pernah mengiranya. Ia duduk di pintu andong itu. Demi nama keturunanku, aku tak pernah mengiranya.
DARMO + FITRI : Kau tak lemparkan bom itu?
PONCO : Kalian gila apa?
DARMO : Kenapa?
WALI : (SEKONYONG ADA DI PINTU) Hati lembut seorang penyair mana cukup tegas membunuh anak kecil (SINIS)

SEMUA MEMANDANG WALI. WALI BERJALAN PELAN KE TENGAH.

WALI : Aku sudah memperingatkan hal ini sebelumnya. Bahkan jari tangan pun bisa jadi pengecut.
PONCO : (MENGHADAPI WALI. KERAS) Aku tidak akan membantah jika kau bicara seperti itu. Hanya aku ingin bertanya padamu, Wali, apakah sebuah revolusi mengijinkan pembunuhan terhadap anak-anak yang belum jelas dosanya apa.
WALI : Sudah ribuan anak di negeri ini yang mati, karena perlakuan mereka. Mati secara fisik maupun mental. Dan kita harus menghentikan pembunuhan besar-besaran itu. Dan apa artinya satu dua anak keparat Residen itu, jika dengannya kita bisa menyelamatkan ribuan bahkan jutaan anak lainnya. Anak-anak kita sendiri. Jangan lupa bung, ini revolusi. Korban adalah salah satu kepastian dari keadaan seperti ini.
PONCO : Pembunuhan atau revolusi terjadi bukan disebabkan oleh seorang anak. Anak siapa pun dia, dari mana pun ia berasal. Kau tidak dapat menggunakan kata revolusi sebagai mantra atau apologi untuk membenarkan kekejaman. Aku memang telah memutuskan nasibku sebagai pembunuh, tapi bukan pembunuh anak-anak.
WALI : Beginilah jika perjuangan mesti dicereweti kecengengan. Dan hanya karena kebodohan seperti itu, kita semua, nasib organisasi ini akan terus terancam oleh mata-mata kolonial. Kebrengsekan mental seperti itu yang telah banyak menggagalkan revolusi dalam sejarahnya.
PONCO : (MENGHEMPAS NAFAS) Berbulan-bulan sudah kusiapkan diriku untuk kesempatan seperti ini. Bahwa aku tidak mau mati sebelum aku dapat berbuat. Apapun. Sama sekali kupahami apa arti kepengecutan dan segala macam kebrengsekan moral seperti yang kau katakan, Wali. Ketika kudengar suara roda kereta itu, hanya perasaan bahagia yang kurasakan. Darahku menggelegak, tangan dan jemariku bergetar. Seakan ada kekuatan lain menyelusup membangkitkan gairahku. Aku akan lemparkan bom itu tepat, tak seinci pun meleset dari sasaran. Tapi...(MENDENGUS) bocah itu bermata bening. Lewat di depanku dengan pandangannya yang kosong. Tangannya yang mungil berpegang erat kisi andong. (MEMANDANG DARMO) Aku punya dua adik yang kulepas di hutan untuk cari makan sendiri. Aku suka hidup yang keras karena ia indah. Tapi aku paling takut menerjang anak kecil jika aku sedang ngebut dengan kuda kesayanganku.
WALI : Kita sudah terlampau lama berputar dalam kecerewetan.
PONCO : (MENGERAS SUARANYA) Kalau memang aku dibilang bersalah karena aku tidak membunuh kedua anak, akan kuterima...
WALI : Perintah adalah perintah.
PONCO : (MEMBALIK KE ARAH WALI) Tapi tidak pernah kudengar sekali pun dalam instruksi, bahwa aku harus membunuh anak-anak!
DARMO : Tak ada instruksi itu sama sekali.
PONCO : (KEMBALI PADA DARMO) Namun bagaimanapun aku tetap bersalah. Aku berhutang pada kalian, berhutang pada perjuangan. Kalaupun kalian semua minta, aku akan kembali ke gedung itu menunggu hingga selesai pertunjukan, dan kulempar bom ini. Sendirian, aku tak perlu bantuan. Dan boleh kalian yakini, aku takkan gagal kali ini.
FITRI : (MENGHAMPIRI PONCO, MENGUSAP-USAP PUNGGUNGNYA) Tenanglah. Kupikir tak perlu tergesa-gesa seperti itu. Bukankah begitu, Darmo!
WALI : Kepengecutan ternyata telah merajalela.
DARMO : Aku belum hendak membuat keputusan.
FITRI : (KEPADA WALI) Hatimu sama sekali tidak damai, Wali. Kupikir hal itu juga yang menyusahkan revolusi ini.
WALI : Kita tak sedang menikmati roman picisan, kasihku.
FITRI : Apa kemudian kau ingin membuat tragedi dengan mengotori perjuanganmu sendiri? Kau ingin membayar kekejaman mereka dengan kekejaman kita. Apa jadinya revolusi seperti itu? Seandainya pun berhasil aku akan malu menerimanya sebagai hasil dari sedikit perjuanganku. Bahwa ternyata kita berhasil membuat negeri ini merdeka, dengan lumuran darah anak-anak di telapak tangan kita.
WALI : Kalian selalu bicara tentang anak-anak. Dan seolah-olah kalian menjadi suci karenanya. Kalian bicara tentang satu dua nyawa anak-anak. Tapi pernahkah kalian melihat puluhan bahkan ratusan anak mati? Pernah? Aku pernah. Perlahan-lahan mereka mati karena makanan yang sangat buruk harus mereka kunyah setiap hari. Perlahan-lahan mereka mati, karena otak dan jiwa mereka dijejali omong kosong dan kepalsuan ideologis. Ribuan anak menjadi batu, yang tidak mengerti apa yang sebenarnya tengah terjadi di sekitar mereka. Di negeri yang mereka miliki ini.
FITRI : Kesalahan besar tak bisa melegitimasi kesalahan kecil yang kerdil.
WALI : Atau kau yang ketakutan karena diburu ketakutan imajinasimu sendiri!
DARMO : Cukuplah! (BANGKIT) Sejak semula kita sudah menetapkan, perjuangan ini dilandasi oleh ideal-ideal kemerdekaan. Dan sedikit pun kita tak pernah bergeser dari keyakinaan bahwa nilai-nilai luhur, seperti keadilan atau kemanusiaan akan menjadi nafas dari setiap sikap dan tindakan yang kita tegakkan. (PAUSE) Aku bertanya padamu Fitri dan Sutris, apa yang akan kalian lakukan jika menghadapi keadaan yang dihadapi Ponco.
SUTRIS : Aku tidak akan melemparkan bom itu. Dan aku harus mendapatkan jalan yang lebih baik daripada membunuh anak-anak.
DARMO : (KEPADA FITRI) Kau?
FITRI : Terus terang aku tak pernah menghadapi hal seperti itu. Jadi bagaimana mungkin aku bisa menentukan sikap setuju atau tidak. Tapi lebih dari itu, anak-anak tidak bersalah, juga atas penderitaan orang-orang sebayanya. Mereka jangan dilibatkan dalam revolusi. Apalagi untuk menjadi korban.
WALI : Cah! Omong kosong!! Anak-anak adalah bagian utuh sebuah revolusi. Bagaimana kita bisa menghindari ini? Bagaimana kita bisa menolak kenyataan bahwa merekalah korban yang paling menderita. Apakah kita tidak tengah memperjuangkan mereka, masa depan mereka yang tak lain masa depan negeri ini? Dalam sebuah revolusi, anak-anak harus terlibat. Mau tak mau. Kita boleh membalas dendam untuk masa lalu kita, dan mereka membalas dendam untuk masa depan mereka sendiri. (TAJAM) Hanya sayangnya, kalian tidak mempercayai revolusi.
SUTRIS : Lalu kita meminjamkan tangan kita dengan alasan membalaskan dendam mereka?
WALI : Ini revolusi, bung. Ini kenyataan, bukan rekaan seperti yang biasa penyair muda kita ini pikirkan. Jangan berpikir satu atau dua titik darah yang tumpah, karena harga revolusi memang tidak murah. Setiap tempat dan keadaan memiliki hukumnya sendiri-sendiri. (MEMANDANG SEMUA) Satu tahun aku terdampar di hutan. Dimana tak satu pun tumbuhan yang dapat dimakan. Tak satu pun. Dan aku akan membunuh temanku sendiri, agar puluhan yang lainnya dapat mengumpani usus mereka yang menjerit. Agar puluhan orang bisa bertahan hidup.
SUTRIS : Aku memilih menyayat dagingku sendiri untuk itu.
WALI : (TERTAWA SANGAT SINIS) Kuberi kau pisau, ini! (MELETAKKAN SEBUAH BELATI DI MEJA) Dan datanglah sekarang ke gedung komidi. Bunuh residen itu dengan tanganmu sendiri!
SUTRIS : Akan kulakukan itu, jika bukan kau yang mengatakannya.
PONCO : (BANGKIT MENDEKATI WALI) Saudara Wali, dengarkan. Aku mengakui kesalahanku dalam hal ini. Biarpun begitu, aku juga takkan berdiam diri untuk membiarkan kau terus bicara. Sebagaimana aku tak berdiam diri pada keadaan busuk yang menelikung kita sekarang ini. Di luar maupun di dalam. Tak ada keberatanku sedikit pun untuk membunuh. Ya, aku akan membunuh. Tapi bukan sebagai centeng yang haus darah. Aku membunuh dengan tujuan, dengan dasar-dasar ideal.
WALI : Bagus! Kau pahami hal itu dengan baik. Tapi sayangnya, hatimu -katakanlah- tak terlampau siap, sebagai pengganti perkataan bahwa kau pengecut. Mestinya kau ingat, dalam revolusi seperti ini orang memang harus siap membunuh. Siapa saja. Demi tujuan, yang tentu jauh lebih berharga ketimbang nyawa-nyawa yang lenyap itu.
PONCO : Betul. Tapi kau mesti ingat, apa yang aku bahkan kita lakukan, diisi juga dengan rasa hormat dan bangga. Dengan jiwa besar. Hal itu juga yang kau gunakan untuk mengucapkan apa yang kau pikirkan selama ini.
WALI : Soal itu bukan urusanmu, bung. Soal apa dan bagaimana kebanggaanku adalah urusanku sendiri. Yang menjadi persoalan kita adalah rasa bangga orang lain, bangsa ini, akan keadilan, kebebasan, dan kemerdekaan.
PONCO : Kau ucapkan kata-kata itu dengan baik. Tak sebagaimana sikapmu. Membunuh anak kecil. Apakah hal itu bukannya malah merusak rasa bangga dan rasa adil yang kita perjuangkan?
WALI : Kau dipelintir oleh pikiran ruwetmu sendiri, Ponco. Soal membunuh anak kecil terlalu kau besar-besarkan seolah-olah ia menjadi noda tak terampunkan dari rasa keadilan. Kutegaskan sekali lagi, ini perang, bung! Kau boleh tutup mata -walau mungkin untuk sementara- agar apa yang kau citakan itu menjadi nyata. Sudah hukumnya, revolusi memakan sebagian anak-anaknya sendiri.
PONCO : Kau nampak begitu yakin bahwa masa depan ideal itu pasti akan ada.
WALI : (TERTAWA) Betapa bodohnya kau berjuang jika kau tak punya keyakinan akan datangnya masa depan itu.
PONCO : Barangkali aku bodoh. Namun kau juga harus ingat, aku tak ingin mengorbankan masa kini, untuk masa depan yang belum pasti.
WALI : Inilah semangat yang membuat revolusi ini seperti pisang busuk. Berjuang tanpa keyakinan.
PONCO : Kau tak bisa sembarang omong soal keyakinan. Bagaimana mungkin kau bisa memiliki keyakinan, jika kau menghancurkan masa kini untuk masa nanti.
WALI : Karena masa itulah yang akan kita bela.
PONCO : Ma'af, bung. Aku sama sekali bertentangan denganmu. Aku berdiri di sini, untuk pembela orang-orang yang hidup saat ini. Yang menginjak bumi kita ini, yang menjerit lapar dan terbunuh di hadapan muka kita sendiri. Soal masa nanti, akan ada yang meneruskan perjuangan kita. Aku tak pernah menganggap bahwa kitalah orang yang akan membebaskan negeri ini sekarang juga. Lalu hidup enak untuk menikmati hasilhasilnya sebagai pahlawan. Menjadi penguasa, jadi pengusaha, dan mati dengan kenikmatan upacara. Dengan kehormatan sebagai pahlawan besar.
WALI : Kau melantur. Itu kebiasaan orang yang senang berangan-angan. Tidak salah mungkin bagi seorang penyair. Bagi manusia seperti itu, tak ada ketegasan untuk bertindak sama sekali. Dan revolusi tak membutuhkan manusia semacam itu. Karena itu, aku tidak merasa rugi berlainan pendapat denganmu.
PONCO : Aku pernah menawarkan padamu, Wali, mengapa tak bisa kita berdampingan dalam damai walau mungkin kita tak sepakat akan banyak hal. Sekarang, sama sekali aku tak menolak membuat garis pisah denganmu. Aku sudah banyak berdiam diri. Ketika kau bilang aku pengecut, ketika kau sebut aku terlampau berangan-angan, ketika kau nyatakan aku tak pantas untuk revolusi ini. Memang, aku tak pantas untuk revolusi yang menanamkan ketidakadilan untuk keadilan yang belum terjadi. Aku menolak revolusi yang sengaja melumat anaknya sendiri. Aku akan keluar dari sebuah revolusi yang melanggar kehormatan manusia. (PAUSE DAN MEMANDANG SEMUA) Kalau memang seperti itu revolusi yang terjadi saat ini, aku mengucapkan selamat tinggal. (PAUSE) Jika bukan, aku tak akan mengelakkan kesalahanku. Perintahkan aku Darmo, detik ini juga aku akan lari ke gedung itu dan meledakkannya.
WALI : Putarlah apologimu untuk menyembunyikan kepengecutanmu, Ponco. Bunuh diri, huh!
PONCO : (TAJAM DAN KERAS) Wali, tak merasakah kau bahwa aku terlampau banyak menahan diri. Termasuk menahan keinginanku untuk tidak menghantam mulutmu yang kotor itu?!

PONCO MENYORONGKAN TUBUHNYA KE ARAH WALI. WALI MUNDUR DAN BERSIAP. DI TANGANNYA SUDAH TERGENGGAM BELATI YANG DILETAKKANNYA TADI DI ATAS MEJA.

DARMO : (MELONCAT) Cukup Ponco, Wali, semua cukup!! Kalian hampir saja merusak berbulan-bulan keringat, waktu, dan darah yang telah kita buang untuk perjuangan ini. Kalian hampir membuat percuma penderitaan Iwan, Bonar, Gadio yang kini dipenjara. Kalian hampir membuat kosong nilai Joko yang telah membuang nyawanya di depan peluru marchaussee. Bodoh! (MEMANDANG SEMUA) Aku tak perlu lagi menegaskan dasar-dasar perjuangan kita. (KEPADA WALI) Dan kau, tak ada satu pun yang sepakat padamu di sini. Bagaimana mungkin kau tak menerima itu. Hanya karena jasa-jasamu yang besarlah aku harus mempertahankan kehadiranmu di sini. (MENUNGGU REAKSI)
WALI : (MENDENGUS) Kalau begitu keputusanmu, aku terima. Cuma, aku hanya ingin menyatakan, lebih baik segala macam kecengengan dan rasa kasihan dihilangkan dalam organisasi ini. Tegaskan, kita ada di sini untuk membunuh, jadi pembunuh.
PONCO : Lidah busuk! Aku memang akan mati, aku akan membunuh. Tapi untuk menghilangkan sekian banyak pembunuhan. Aku bukan centeng. Tapi aku bisa membunuh orang yang di dalam benaknya hanya ada kata "bunuh bunuh bunuh"!

PONCO MAKIN MENYORONGKAN TUBUHNYA. TUBUHNYA MENEGANG. TANGANNYA MENGGENGGAM BOTOL. WALI BERSIAP. DARMO MENCELAT KE TENGAH MEREKA, MELERAI.

DARMO : Berhenti!! Sebelum kutendang kalian dari ruangan ini! Kalau memang cuma bertempur, ayo layani kebodohanku! Ayo! (MEMANDANG KEDUANYA) Kenapa diam! (TAK ADA YANG BERGERAK) Harus kukatakan, semua ini tak lebih dari salahku. Apapun yang terjadi pada operasi ini, semua tanggungjawabku. Aku peringatkan, agar tak terjadi lagi tuding-tudingan di ruangan ini. Atau kulempar kalian ke keluar!

PAUSE. DARMO MENGELILINGI PANDANGANNYA.

WALI : Lalu apa kita teruskan perjuangan ini? Atau kita kembali jadi petani, atau begundal kolonial?
DARMO : Kita lanjutkan perjuangan ini. Seperti kau tahu, dalam lima hari ini, residen itu akan kembali menonton komidi stambul. Pada saat itu kita bereskan perjuangan awal ini.
WALI : Bagaimana kalau ada anak-anak itu lagi?
DARMO : Kita tunda sampai kesempatan berikut.
WALI : Kalau istri residen itu ikut?
PONCO : Aku dengan gembira akan melempar bom itu!
SUTRIS : Ada orang datang! (SEMUA DIAM. ADA LANGKAH TERGESA MENDEKAT. WALI MEMEGANG BELATINYA MEMBELAKANGI PIN- TU. PONCO MENGAMATI JENDELA. LANGKAH ITU MENGERAS, DIIRINGI TERIAKAN, LALU LEWAT DAN MENGHILANG PERLAHAN)
SUTRIS : Ada orang mencuri tebu. Centeng-centeng juragan dan beberapa orang mengejarnya.

SUTRIS DAN FITRI MENARIK NAFAS. MEREKA BERKUMPUL LAGI. DARMO DUDUK DI ATAS MEJA.

DARMO : Sekarang sudah selesai semua. Fitri, kau persiapkan kembali semuanya. Yang lain tetap pada tugasnya semula. Ada pertanyaan? (MEMANDANG) Kalau begitu, bubar! Ponco, Wali, kalian ikut aku!

BUBAR. DAN GELAP.


Metamorfosa Kosong 1


Adaptasi "The Terorist" Albert Camus

Para Pelakon :

WALI
FITRI
SUTRIS
DARMO
PONCO
LELAKI
PERWIRA
NYAI

SEBUAH RUANGAN. LAMPU 15 WATT TERGANTUNG DI ATASNYA. SATU GELAS BESAR DAN SATU CANGKIR KOPI. HARI BARU SAJA GELAP. SUARA SIRENE LEWAT SEKALI DI KEJAUHAN. RUANGAN ITU, EMPAT KALI LIMA METER. TIGA BUAH BANGKU, BEBERAPA KOTAK KAYU. FITRI DAN DARMO DUDUK TIDAK BERHADAPAN. SUASANA SENYAP. CUKUP LAMA. PENUH GELISAH. SUARA LANGKAH TERGESA, TERDENGAR MENDEKAT. LALU KETUKAN PINTU DENGAN IRAMA TERTENTU.

FITRI : Itukah dia?
DARMO : Belum pasti.

KETUKAN LAGI DI PINTU, DENGAN IRAMA TERTENTU.

FITRI : Itu dia.

DARMO BANGKIT, MELANGKAH DAN MEMBUKA PINTU.

DARMO : Wali!!

WALI MEMELUK DARMO KUAT-KUAT. LALU MELIHAT KE ARAH FITRI. MENDEKAT DAN BERJABAT TANGAN ERAT.

FITRI : Tiga tahun sudah, Wali.
WALI : Tiga tahun.
FITRI : Tapi penjara tak membuatmu berubah.
WALI : Tak ada yang bisa membuatku berubah, Fitri.
FITRI : Aku mengerti apa yang telah mereka lakukan padamu.
WALI : Tak ada yang bisa mereka perbuat padaku, Fitri.
FITRI : Mereka juga sudah membunuh ayah dan dua saudara lelakiku.
WALI : Aku berhasil melarikan diri.
FITRI : (MEMANDANG) Aku sempat mendengar berita itu. Rasanya aku percaya, walau lama tak kuterima langsung kabar darimu.
DARMO : Tiga bulan ia ada di gunung Lawu, dan dua bulan di hutan Menoreh. Itu yang kudengar.
WALI : Sama saja. Ruang tembok yang sempit, gunung atau pun hutan. Semua penjara. Selama aku hidup di negeri ini terali besi penjara tetap melekat dingin di kulitku.
DARMO : Keparat-keparat bule dan begundalnya itu memang mesti enyah. Tiga ratus tahun lebih mereka tidur di lapikan ibu kita.
WALI : Aku sudah siap, Darmo. Kau pemimpinku.
DARMO : Kami sudah atur rencana. Residen itu akan lewat dalam dua hari ini untuk nonton komidi stambul. Kanto sudah memberikan rincian acaranya.
WALI : Siapa teman-teman kita kali ini?
DARMO : Dadi Sutris. Dia pemuda berani. Pernah di Stovia, bergabung dengan Sutomo. Juga di PSI. Ia pernah menghajar dua marchausee. Mati. Cuma dengan satu pukulan.
WALI : Rasanya pernah kudengar nama itu.
DARMO : Satu lagi Ponco.
WALI : (TERDIAM SESAAT) Nama itu terlalu lembek didengar.
DARMO : Tapi tidak untuknya, Wali. Dia penyair. Baginya, nama itu sangat revolusioner. Ia menghabiskan dua ratus kilometer untuk sampai ke sini berjalan kaki meninggalkan seorang ibu dan istri yang baru dikawininya.
WALI : Mestinya dia orang yang sangat melankolik.
DARMO : Kesimpulan yang cepat memang jadi ciri situasi sekarang.
WALI : Itu pertanda kita bukan orang yang lembek.
DARMO : Juga tidak sembrono.
WALI : Aku terasa melawanmu, pemimpinku?
FITRI : Kurasa dia datang.

SUARA LANGKAH MENDEKAT. RELAKS. DAN KETUKAN PINTU, IRAMANYA TAK TENTU.

WALI : Itu bukan ketukan sandi kita.
FITRI : Sudah kebiasaan Ponco melakukannya.
DARMO : Ia merasa lebih sreg dengan irama itu. Aku setuju saja. Lagi, cuma ia yang memilikinya.

PONCO MASUK. MENATAP GEMBIRA FITRI DAN DARMO. LALU MELIHAT WALI.

DARMO : Kenalkan, ini bung Wali. Tiga tahun yang lalu ditangkap pasukan Gubernur Jenderal karena memaki di depan umum.

WALI DAN PONCO BERSALAMAN. WALI MENATAP TAJAM. PONCO MENGALIHKAN PANDANG KE ARAH FITRI.

DARMO : Ini Ponco. Ia menggantikan posisi Joko.
WALI : Dan Joko?
DARMO : Ia gugur di tangan centeng residen. Istrinya mau diambil.
WALI : Joko, adalah anggota kita yang selalu ada di garis terdepan.
DARMO : Kali ini Ponco yang akan menggantikannya.
WALI : Maksudmu?
DARMO : Ponco akan melempar bom yang pertama.
WALI : Dengan tangan selemah itu?
PONCO : Kau mengatakannya dengan lidah yang sangat lentur, bung. (MEMANDANG TAJAM)
WALI : Biarpun sederhana, sebuah bom mesti dilemparkan dengan tangan yang cukup kokoh.
PONCO : Ada apa denganku? Selama sepuluh tahun terakhir aku hidup di gunung. Aku tak pernah goyah membawa tiga ratus kilo air setiap hari dengan pundakku. Naik dan turun gunung. Mungkin kau berpikir aku akan ragu melakukannya? O Tidak, saudaraku. Tidak. (PAUSE) Kalaupun aku gagal...tak akan aku mampu menemui kalian lagi.
WALI : Lebih baik memang kau hirup udara gunung. Tentu lebih menyegarkan.
PONCO : Aku tak kan lari. Kau salah, saudaraku. Aku akan hujamkan dadaku sendiri ke ujung tombak para pengawal residen.
DARMO : Kau takkan melakukan itu Ponco. Peraturan dari pimpinan tak mengijinkan seorang pun dari kita mati dengan cara seperti itu. Bagaimana pun kita mesti hidup. Kau dibutuhkan, Ponco.
PONCO : Pernah kudengar cerita para prajurit dan kesatria Jepang yang melakukan hara kiri atau kamikaze.
WALI : Itu terlalu menggampangkan. Revolusi membutuhkan lebih dari itu.
PONCO : Revolusi tidak membutuhkan apa yang tidak kita miliki.
WALI : Karena kau terlampau banyak memberi ma'af pada dirimu sendiri. Kau terlalu mencintai dirimu sendiri.
PONCO : Aku mencintai orang banyak, rakyatku. Lebih dari semua milikku pribadi. Untuk itu aku akan melemparkan bom itu. Bahkan melempar tubuhku sendiri, kalau perlu.
WALI : Yang kita cintai lebih dari semua itu. Seorang revolusioner sejati mencintai keadilan.
PONCO : Seolah kau ingin mengatakan bahwa aku menerima segala kekasaran itu.
WALI : Aku tidak perduli. Aku cuma ingin mengatakan revolusioner sejati takkan pernah dan tak boleh bosan.
DARMO : Wali!
FITRI : Kupikir cukup sudah.
WALI : Ponco telah memperlakukan perjuangan ini sebagai pelampiasan nafsu pribadinya saja. Seenaknya ia mengubah kode pintu. Membaca sajak, mengenakan pakaian seperti pemain komidi, dan berpikir soal hara kiri. Perjuangan seperti ini tak bisa mengandalkan orang seperti itu. Terlebih untuk tugas yang akan menentukan nasib kita semua. Nasib revolusi ini keseluruhannya.
PONCO : Kau hanya mengambil kesan. Kau tidak mengenal saya. Karena saya mencintai hidup ini, sekarang saya berada di sini. Dan kenapa kita tak bersepakat saja, walau mungkin masih tertinggal perbedaan antara kita. Di luar memang brengsek. Tapi apa tak bisa kita bekerja dalam damai dan saling mencintai.
WALI : Kita di sini untuk berjuang dan membunuh seorang musuh. Bukan untuk membuat puisi atau novel-novel cengeng.
DARMO : Cukup! (BERGERAK) Kalian seperti remaja yang baru belajar bicara. Membiarkan emosi menjadi belatung revolusi. Aku tak melarang kalian sangsi. Tapi kebimbangan tak memberi akses apa pun untuk keberhasilan. Revolusi harus tetap berjalan. Tak perduli dengan kecerewetan macam yang kalian tunjukan.

MEMANDANG KEDUANYA. DARMO MENGAMBIL SATU BUNGKUSAN.

DARMO : Ponco, kau akan melempar bom itu yang pertama. Dan Sutris akan melakukannya untuk yang kedua. Wali akan akan mengawasi, dan Andi akan mengatur pembagian waktunya di lapangan. Residen itu harus mati. Harus. Aku dan Fitri sudah menyiapkan proklamasi, yang akan segera kami siarkan secara luas, segera setelah itu.
PONCO : Kau sudah mengaturnya, Darmo. Dan aku akan melakukannya. Residen itu akan mati.

PONCO DIAM TERPAKU KEMUDIAN. DARMO MEMANDANGNYA SELINTAS.

DARMO : Kita takkan pernah berhenti. Kita akan terus melakukan teror tanpa kompromi. Tak ada kerjasama dengan kolonial. Sampai kemerdekaan dan kejayaan negeri ini direbut.

KALI INI SEMUA DIAM. DARMO MEMANDANG SEMUANYA SATU-SATU.

DARMO : Ayo Wali, kita bicarakan apa yang mesti kau kerjakan dalam operasi ini. (MENGAMBIL BUNGKUSAN DAN KELUAR BERSAMA WALI). (BERBISIK KE ARAH PONCO) Tak usah terlampau dipikirkan, Pon.
PONCO : Sebenarnya aku merasa terhina, Dar.
DARMO : Aku akan bicara padanya nanti. (KELUAR)
FITRI : (MENDEKATI PONCO) Tak ada orang yang ingin menghinamu, Ponco. Wali memang agak berbeda. Maklum, tiga tahun sudah ia disekap dari kehidupan biasa.
PONCO : Aku mengerti. Aku mengerti apa yang dimaksud Wali. Kupikir tak hanya dia yang berpikir seperti itu. Banyak orang yang berpikir aku terlampau lemah untuk melaksanakan tugas ini.
FITRI : Kau hanya mempermainkan perasaan saja.
PONCO : Joko juga bicara hal yang sama dengan Wali. Aku dianggapnya terlalu romantik dan mengawang. Padahal berbulan sudah kupersiapkan ini. Walau tiap malam aku mesti menghadapi mimpi. Yang pengaruhnya hampir tak dapat kukuasai lagi.
FITRI : Kau ragu?
PONCO : Aku tidak pernah ragu. Sejak semula aku telah menolak menjadi awam. Walaupun untuk itu aku mesti jadi pembunuh. Daripada aku harus diam dan menunggu dengan keyakinan mistik bahwa suatu saat penyelamat akan datang. Bahwa Tuhan atau entah siapa telah menyiapkan satu hero yang akan menyelamatkan penderitaan ratusan tahun ini. Tidak. Aku suka bikin syair dan keindahan. Tapi aku mengerti bahwa hidup ini bukan fiksi.
FITRI : Bagaimana mungkin kau membunuh sementara begitu besar rasa cintamu pada hidup.
PONCO : Aku membunuh untuk menghidupkan yang lain, sesuatu yang lebih tinggi nilainya. Aku membunuh agar tidaklagi terjadi pembunuhan. Aku melihat orang-orang bernafas dan memamah biak tanpa mengetahui untuk apa ia lakukan itu semua. Dan tak bisa kau berdiam diri saja. Aku tuangkan semua itu dalam karya-karyaku. Memang kata-kata belaka, cuma kata. Aku tak rela jika lantaran itu kemudian orang mendakwaku tak mampu berbuat. Aku akan berbuat. Semua yang kumiliki kutinggalkan sudah.
FITRI : Tapi masih satu yang kau miliki.
PONCO : Diriku sendiri. (TAJAM) Namun sudah tekad kubulat, aku akan membuang milikku yang terakhir, tak jauh dari tetesan darah residen itu. Aku sudah membayangkan kematian indah seperti itu.
FITRI : Kematian yang indah. Kalau terlaksana.
PONCO : Kau pun meragukanku, Fitri?
FITRI : Kau akan berhadapan dengan manusia, Ponco. Sebuah kehidupan juga.
PONCO : Betul. Tapi aku bukan membunuh kehidupan pada waktu itu. Aku membunuh kedzaliman, melenyapkan noda hitam sejarah yang mengaramkan nasib jutaan manusia di negeri ini.
FITRI : Pada waktu itu lelaki gemuk itu tersenyum dengan halusnya. Bahkan tepat di hadapan matamu. Kau lihat ia sebagaimana indahnya hidup.
PONCO : Aku takkan memperdulikannya. Aku akan menerjunkan tubuhku bersamaan dengan jatuhnya bom itu.
FITRI : Sungguh mengesankan. Itulah mimpi yang diinginkan setiap pahlawan, setiap pejuang.
PONCO : Aku hanya berbuat. Dan rasanya hal itu terlampau konyol untuk dipakai sebagai syarat menjadi pahlawan.
FITRI : Aku hanya berpikir, bahwa ada perbuatan yang lebih bernilai dari itu. (MENUNGGU. PONCO MENATAPNYA SUNGGUH) Hukum tembak.
PONCO : (MELENGOS DAN TERHENYAK) Kau adalah pejuang sejati, Fitri. Kau cerdas.
FITRI : Dua tahun aku ikut dalam perjuangan ini. Aku pikir dan merasa, terlampau murah membayar keterpaksaan kita membunuh seseorang dengan melenyapkan hidup kita sendiri. Dengan hukuman tembak di depan para marchausee kurasa kita telah dua kali memberi arti.
PONCO : Aku bisa menghayati waktu di antara dua saat itu. Segalanya menegaskan. Bagi sebuah revolusi, tak ada lagi arti setengah hati.
FITRI : "Tak ada kata tengah dalam sejarah...Mesti ke tepi, untuk berarti. Siapa pun pelaut ia mesti berpaut Atau, dalam sepi ia kan mati."
PONCO : Kau masih ingat baris-baris itu, Fitri.
FITRI : Ma'af. Aku tak berhasil menyembunyikan perasaanku sendiri. Kekhawatiran yang aku sendiri tak mengerti, mengapa ia mesti muncul pada saat seperti ini.
PONCO : Karena aku?
FITRI : Aku tak mampu menjelaskannya, Ponco. Kau tak ada hubungannya sama sekali dengan ini. Kadangkala kesunyian yang ganjil menyergap malam-malamku. Aku merasakan sesuatu telah dengan sengaja kulenyapkan dari diriku sendiri. Sesuatu yang sangat berharga.
PONCO : Aku menghormati apa pun yang paling berharga dari seorang perempuan.
FITRI : Bukan, Ponco. Aku bukan objek yang baik untuk sebuah puisi.
PONCO : (TERTAWA KECIL) Kita tidak remaja lagi. Ini memang bukan masanya lagi, kau melempar bunga saat seorang pria berlalu di seberang pagarmu. (TERDIAM) Tapi... pakaianmu tampak indah hari ini, Fitri.
FITRI : (TERTAWA KECIL) Barangkali aku masih punya keinginan itu dalam bawah sadarku. (KERAS) Namun bisa kupastikan, ia telah hilang selama tiga tahun terakhir ini.
PONCO : Aku mengerti.

FITRI BERDIRI. HENDAK BERBUAT SESUATU. PADA SAAT ITU DARMO MASUK, BERSAMA WALI.

WALI : Aku belum melihat kawan kita satu lagi sedari tadi.
DARMO : Dia bertugas mencatat secara rinci kegiatan sehari-hari Residen itu. Berdasar laporan mata-mata kita. Dan mestinya siang ini laporannya sudah ia berikan padaku.
WALI : Kupikir ia seorang yang gesit.
PONCO : Pemuda yang menggairahkan, itu yang pasti.
DARMO : (KEPADA FITRI) Apa persediaan kopi kita sudah habis?
FITRI : Kurasa tidak. (BERDIRI)

TERDENGAR LANGKAH DAN PINTU DIKETUK DENGAN IRAMA TERTENTU.

DARMO : Tampaknya itu dia.

PONCO MEMBUKAKAN PINTU SETELAH MENDAPAT TANDA DARI DARMO. SUTRIS MASUK DAN LANGSUNG MEMANDANG KE ARAH WALI.

SUTRIS : Aha! Ini pasti Wali, saudaraku yang kutunggu. Gembira sekali melihat kau, Bung. Sudah banyak kudengar cerita tentang dirimu.
WALI : (TERSENYUM) Cerita apapun tak pernah sesuai dengan kenyataannya. Dimana-mana. (MENDEKATI SUTRIS) Senang bertemu kau, saudaraku! (BERJABATAN)
SUTRIS : (PADA DARMO) Sudah rapi tercatat dan dipersiapkan. Semuanya.
DARMO : Sehari atau dua lagi?
SUTRIS : Besok, tepat pukul empat sore, Residen itu akan datang dengan andongnya. Jajat sudah siap sejak malam ini di posnya.
DARMO : Bagus, terima kasih. Kita mulai saja, saudara-saudara. Ponco kau angkut peralatanmu. Juga kau, Sutris. Wali, tiap satu jam, setelah pukul 10 pagi besok, kau beri laporan padaku. Kau akan menjadi tangga komunikasi antara rekan-rekan kita di lapangan denganku di sini. (MEMANDANG SEMUA) Ada yang tak jelas? (PAUSE) Laksanakan!

SEMUA BERGERAK. PONCO DAN SUTRIS BERPANDANGAN.

WALI : (MENGHAMPIRI PONCO) Kau akan berhasil, Bung. (MENGHAMPIRI SUTRIS, MENEPUK PUNGGUNGNYA)
PONCO : Selamat tinggal, saudaraku. Selamat berpisah, Fitri.
FITRI : (TERISAK) Tidak, Ponco. Kau salah kata. Seharusnya, sampai kita berjumpa lagi.
PONCO : (TERSENYUM KECUT) Merdeka!
SUTRIS : Merdeka!
SEMUA : Merdeka!!

KELUAR. GELAP.

KETIKA JANE ASPARI MARAH ( KEJAM ) 2


Babak Kedua

Adegan Satu

DALAM RUANGAN YANG MIRIP SEBUAH KAMAR BAWAH TANAH. AGAK SEMRAWUT, DENGAN BERBAGAI KARDUS, KOTAK, ATAU PERKAKAS DI SANA-SINI. BERBAGAI PERALATAN YANG TAMPAK DIPERSIAPKAN UNTUK MELAKUKAN SEBUAH GERAKAN, ENTAH DEMO ATAU LAINNYA.

DI SATU BAGIAN TERDAPAT BEBERAPA KURSI, MEJA, ATAU MEUBEL KUNO. PESAWAT TELEVISI, RADIO, KOMPUTER, JUGA POT-POT TANAMAN UNTUK PENYEGAR RUANGAN. RAK BUKU BERISI TAK CUMA BUKU, TAPI PULA TUMPUKAN DOKUMEN DAN PERALATAN ORGANISASI. FOTO CHE GUEVARA, YASSER ARAFAT, ATAU FIDEL CASTRO TERPAMPANG BESAR DAN SEMBARANGAN.

LAMPU TAK BANYAK CAHAYANYA. BUNYI HUJAN CUKUP DERAS DI KEJAUHAN LUAR.

JANE ASPARI DUDUK DI SALAH SATU SUDUT. BERMAIN DENGAN WAKTU.

IA TAMPAK DIAM. NAMUN TERLIHAT GELISAH. SESUATU ATAU SESEORANG TAMPAK DITUNGGUNYA. SESEKALI IA MENENGOK KE SATU ARAH: PINTU MASUK. ATAU KE ARAH LAIN DI SUDUT LAIN RUANGAN ITU: RAK BUKU.

BEBERAPA LAMA. JANE ASPARI BERDIRI. MELANGKAH SEBENTAR, TAK TENTU. SEKALI MELIHAT ARLOJI. AKHIRNYA IA KELUAR.

RUANG KOSONG. HENING. SUARA HUJAN MENJAUH.

REINALD SEKONYONG MASUK DARI PINTU DEPAN. JAKETNYA KUYUP OLEH HUJAN. LALU ANDARI MENYUSUL MASUK, JUGA DENGAN TERGOPOH. KEDUANYA HAMPIR BERTUBRUKAN. SEMPAT SALING TERPERANGAH, NAMUN AKHIRNYA MEREKA TERTAWA DAN SALING BERTEGUR SAPA.

ANDARI : (Membenahi jaket basah dan payungnya) Sudah beres semua, Re?
REINALD : Hmm..
ANDARI : Aku mengalami cukup banyak kesulitan.
REINALD : Mayong tak membantumu?
ANDARI : Sangat membantu. Tapi tetap saja tak dapat aku selesaikan semuanya.
REINALD : Pasti di soal mobilisasi.
ANDARI : Ya, seperti biasa. Tepatnya untuk mendapatkan tim inti.
REINALD : Mahasiswa-mahasiswa itu bagaimana?
ANDARI : Di situ masalah besarnya.
REINALD : Mereka kurang setuju?
ANDARI : Sangat setuju..
REINALD : Tapi...
ANDARI : Mereka minta bayaran besar!
REINALD : Berapa?
ANDARI : Tarifnya lima digit dalam satu jam.
REINALD : Orang gila!
ANDARI : Atau mungkin kita yang gila...

TOGAS MASUK SAMBIL MENYERET SESEORANG DENGAN SETENGAH PAKSA. REINALD DAN ANDARI TAMPAK TERKEJUT, MEMANDANG DENGAN TAJAM ORANG YANG DISERET.

TOGAS MELEMPAR ORANG TERSEBUT KE SATU SUDUT. ORANG ITU TERLIHAT TAK BERDAYA SAMA SEKALI. NAFASNYA AGAK TERSENGAL. BEGITUPUN TOGAS YANG LEBIH TERLIHAT KESAL.

TOGAS PUN MELEMPAR TUBUHNYA KE SOFA. ANDARI DAN REINALD MELEMPAR PANDANG TANYA, BERGANTI KE ARAH DUA ORANG ITU.

REINALD : Apa yang dia lakukan?
TOGAS : (Menghela nafas)
REINALD : Aku cukup kenal orang ini.
ANDARI : Kadang dia mengaku mahasiswa, kadang manajer perusahaan, kadang pengusaha onderdil mobil...
REINALD : Kadang intel khusus kepresidenan...
TOGAS : Kadang asisten pribadiku...
REINALD & ANDARI : O ya?


KETIKA JANE ASPARI MARAH ( KEJAM )


Para Pelakon :

JANE ASPARI
TOGAS
ARIANI
MARKO
MAYONG
ANDARI
GERARO
MERARI
ROMODI
REINALD
LELAKI A
LELAKI B
KEPALA
BUNG X
SANG IBU
SERAGAM 1
SERAGAM 2
SESEORANG


Babak Pertama



Adegan Satu


SEBUAH KAFE, LANTAI DASAR SEBUAH GEDUNG BERLANTAI ENAM BELAS. TENTU SAJA DI KAWASAN ELIT KOTA BESAR.

HARI TELAH LAMA GELAP. TINGGAL SEBUAH COUNTER MINUMAN YANG MASIH BUKA. ITUPUN TIDAK LAGI JUALAN. SATU ORANG SIBUK TERLIHAT MEMBERSIHKAN RUANGAN. MELINTAS MENGEPEL LANTAI. LALU HILANG DI SUDUT YANG LAIN.

SENYAP. SUARA GENERATOR ATAU MESIN PENDINGIN, SANGAT SAYUP DAN HALUS. BUNYI GEMELONTANG BESI YANG JATUH. CAHAYA NEON BEBERAPA KALI MEREDUP, LALU TERANG KEMBALI.

SUNYI. SUNYI BENAR. SEPERTI SANGAT JAUH, TERDENGAR LANGKAH SEPATU. LALU MENGHILANG. SUNYI LAGI. LALU SUARA TERTAWA DUA ORANG, JUGA TERDENGAR SANGAT LAPAT.

LAMPU NEON BERKERJAP, MATI. NYALA KEMBALI. BERKERJAP. MATI, BEBERAPA SAAT. NYALA KEMBALI. DAN SEORANG PEREMPUAN SEKONYONG TELAH BERDIRI DI TENGAH.

TUBUHNYA SINTAL, DIBALUT KOSTUM SEKRETARIS ATAU EKSEKUTIF. SANGAT RILEKS, WALAU TAK BERGERAK. NAMUN MATANYA TAJAM MENGHADAP KE SATU JURUSAN. TETAP SENYAP. LAMPU BERKERJAP. MATI. NYALA KEMBALI. DAN WANITA ITU SUDAH BERDIRI DI SALAH SATU SUDUT. TETAP DENGAN POSISI TUBUH YANG SAMA DAN PANDANGAN YANG SAMA.

LAMPU BERKERJAP LAGI CEPAT. MATI. NYALA KEMBALI. WANITA ITU KINI SUDAH BERADA DI SUDUT YANG LAIN. MASIH DALAM SIKAP YANG SAMA. KEMBALI LAMPU BERKERJAP DAN MATI. BEBERAPA KALI. BEGITUPUN WANITA ITU, SELALU TERLIHAT DI SUDUT ATAU TEMPAT YANG BERBEDA DENGAN POSISI TUBUH YANG SERUPA.

LAMPU KEMBALI MATI DAN MENYALA KEMBALI. NAMUN KINI, SANG WANITA BERDIRI MEMBELAKANGI PENONTON, DAN TAMPAK BERJALAN MANTAP, MENJAUH, JAUH, HINGGA HILANG DALAM GELAP.

SENYAP.
SENYAP. LAMPU TEMARAM.

SUARA RADIO DINYALAKAN. SIARAN WAYANG KULIT, TERDENGAR SAYUP. BEGITUPUN DENGKUR YANG HALUS.

BEGITU. SEKIAN LAMA.


Adegan Dua

INTERIOR SEBUAH KAFE. SAAT MAKAN SIANG. RAMAI BENAR, ORANG BERDASI DAN WANITA PERLENTE.

BISING (CROWD).

ORANG LALU LALANG. PRAMUSAJI WANITA BERROK MINI, ATAU PRIA BERTUKSEDO. ORANG-ORANG SALING MENYAPA. TERTAWA, BERTERIAK, TERKEJUT, BERBISIK, SALING LIRIK....

DI SEBUAH MEJA, TIGA LELAKI DAN DUA WANITA, MENGHADAPI MAKAN SIANG FAST-FOOD MEREKA.

TOGAS : Sudah kau hitung, Mas?
ARIANI : Juga tanda buktinya, lho....
MARKO : (Sambil mengunyah dan menggenggam kentang goreng bersambal) kita
butuh suntikan baru.
TOGAS : Reinald yang mengurus itu.

SUARA MULUT MEREKA YANG MENGUNYAH.

MARKO : Bagaimana, Nald?
REINALD : Jangan bicara itu di sini (MENGUNYAH DENGAN SUARA LEBIH KERAS).
JANE ASPARI : Aduh...bokongku ngilu!!
ARIANI : Jangan mulai lagi, Jane!

DUA ORANG LEWAT MENUMPAHKAN SEDIKIT MINUMAN KE LENGAN MARKO. TOGAS MENEGUR DITAHAN REINALD. DUA ORANG ITU MINTA MA’AF. JANE NGEDUMEL. BERISIK.

BISING. BISING.

SUARA KERETA API MASUK MAKIN KERAS DAN SEAKAN MENDEKAT.

BLACK OUT.

Adegan Tiga

SEBUAH WARUNG KECIL PINGGIR JALAN KERETA. KERETA API KENCANG MELEWATI, SAAT TOGAS BERGEGAS MENDEKATI WARUNG.

SESEORANG KELUAR WARUNG MENJEMPUT TOGAS. KERETA API LEWAT, SUARANYA MENJAUH.

MARKO : (Menyerahkan amplop besar) Semua ada di dalam.
SESEORANG : (Memeriksa amplop, menutupnya) Sampai besok sore. (Pergi cepat dan menghilang).

MARKO MENGAMATI SEJENAK LALU CEPAT PERGI MENGHILANG DI ARAH SEMULA.

SUARA KERETA API MENDEKAT DI KEJAUHAN.

BLACK OUT. SUARA KERETA MENDEKAT, MENJAUH DAN HILANG.

Adegan Empat

SEBUAH RUANGAN DARI SEBUAH RUMAH. BUKAN RUMAH TINGGAL. ARIANI DUDUK DI SUDUT SEBUAH KURSI PANJANG. TOGAS MENGADUK KOPI DI SALAH SATU POJOK RUANGAN. MEJA, KURSI TIDAK TERLALU TERATUR, SEPERTI SERING MENJADI TEMPAT PERTEMUAN. BEGITUPUN KERTAS, PERALATAN TULIS, ALAT KOMUNIKASI.

ARIANI : Aku mencium bau yang tidak enak.

TOGAS MEMBAWA KOPINYA DAN DUDUK DI SALAH SATU KURSI, BEBERAPA METER DI SISI ARIANI.

ARIANI : Tak tahu, apa ini bangkai busuk, makanan basi, pikiran kotor, atau kelakuan pengkhianat. (Melihat Togas) Menurutmu apa?
TOGAS : (Menghirup sedikit kopinya) Semua sama saja. Apa bedanya kejahatan pikiran dengan pengkhianatan, antara pengkhianat dengan tikus busuk?
ARIANI : Maksudmu kita basmi saja sekalian?
TOGAS : Ya, kalau caramu berpikir seperti tentara, begitu. Tapi kita militer bukan?
ARIANI : Kalau cara pedagang, ya kita bumbui dan kita kemas, tikusnya kita jual jadi bakso.
TOGAS : (Tertawa) Kamu makin cerdik! Kalau tikus busuk bisa jadi komoditi, dia bisa juga menjadi uang. Bisa juga jadi senjata.
ARIANI : Maksudmu, kita buat tikus itu jadi kebusukan orang lain...?
TOGAS : (Tertawa)

ARIANI IKUT TERTAWA.

PINTU SEKONYONG DIKETUK.

ARIANI : Itu ada tikus..eh..eh..busuk..eh..ada tamu, Gas!

TOGAS BELUM BANGKIT, SESEORANG MASUK, MELEMPAR BEBERAPA MAP KE MEJA DAN LANGSUNG MENCARI MINUM KE BELAKANG.

ARIANI : Dari mana saja kau, Yong?

TERDENGAR SUARA GELAS BERADU DAN AIR DITEGUK.

ARIANI : Seharusnya kau sudah datang kemarin.
MAYONG : (OS) Aku baru datang dari Medan tadi pagi.
ARIANI : Setidaknya kau kontak kami di sini.
MAYONG : (Sambil keluar dari ruang belakang) Ada perkembangan baru. (Mengambil map-nya di meja dan mengeluarkan sesuatu, beberapa lembar foto dari dalamnya) Lihat ini!

ARIANI MENGAMBIL LEMBARAN FOTO DAN MEMPERHATIKANNYA. LALU MELEMPARKANNYA PADA TOGAS YANG MASIH DIAM DENGAN GELAS DI TANGANNYA.

ARIANI : Siapa perempuan di sebelah Marko itu?
MAYONG : Namanya Shilla. Komisaris sebuah perusahaan informasi, tepatnya pengelola jasa internet. Dia lulusan Berkeley dan pulang dengan membawa teman yang memberinya modal tak terbatas untuk bisnis portalnya.
TOGAS : Cantik juga.
MAYONG : Baru 26 tahun, Ph.D. untuk information technology. Kata orang ia dekat dengan grupnya Nirwan Suryajaya. Bahkan ada yang bilang ia punya affair dengan seorang menteri.
ARIANI : Bagaimana Marko bisa dekat dengannya?
MAYONG : Aku nggak tahu persis. Konon mereka dahulu satu kota dan Shilla adalah adik kelas bahkan mantan pacarnya. Salah satu teman kita bilang ia melihat keduanya keluar dari Departemen Koperasi. Entah urusan apa.
ARIANI : Aku kok nggak tahu sama sekali.
TOGAS : Wah, kalau kamu rancu, Riani. Biar tahunan kau berhubungan dengan Marko, kau belum bisa mengenal bahkan 15% dari siapa sebenarnya kawan kita itu.
ARIANI : Aku tahu merek kegemaran celana dalamnya, aku mengerti mimpi yzng membangunkannya dua kali tiap malam, aku pun tahu jumlah wanita yang menjadi korbannya, begitupun aku...
TOGAS : ...tak tahu bahwa ibunya masih hidup...
ARIANI : Ah...itu nggak benar...
TOGAS : ...bahwa dia hanya sampai dua semester...
ARIANI : Tapi, ijazah masternya....
TOGAS : ....bahwa ia secara militer terlatih sebagai pasukan khusus...
ARIANI : Eehh...
TOGAS : ...bahwa, kau belum tahu banyak, sayangku.

ARIANI TERDIAM. BEGITU JUGA TOGAS DAN MAYONG. SUARA RITMIK DETAK JAM KINI JADI ILUSTRASI.

ARIANI SEKONYONG BANGKIT DAN BERJALAN KE PINTU. TANPA SUARA.

MAYONG : (Menyergah) Riani....!
TOGAS : (Memperingatkan. Tetap dalam posisinya) Kalau kau kacau dirimu, kau akan mengacaukan semuanya. Termasuk aku.

RIANI TERDIAM DI PINTU. SESAAT. LALU MEMBUKA PINTU DAN MENGHILANG. MAYONG MEMANDANG TOGAS. TOGAS MEMBALASNYA SEKILAS LALU KEMBALI MEMANDANGI GELAS DI TANGANNYA.

BLACK OUT.

Adegan Lima

HARI DEMONSTRASI. DI SEBUAH JALAN RAYA PROTOKOL. GEDUNG-GEDUNG BESAR DI SEKELILING. RIBUAN ORANG BERBARIS, BERTERIAK, SEBAGIAN MELEMPAR BATU. SUARA MOBIL MENDERUNG, BAU BAN TERBAKAR, SUARA POLISI DI MEGAPON, ORANG MARAH DAN BERTERIAK. DAN DOR! DOR! LETUSAN PISTOL.

SESEORANG : Sarnubi tertembak!
SESEORANG : Sarnubi tertembak! (Lalu ping-pong, sahut-menyahut)
SESEORANG : (Menjerit histeris!)
SESEORANG : Bajingan..!!
SESEORANG : Pembunuh rakyat!!
SESEORANG : Kita harus balas!
SESEORANG : Serbu polisi!!
SESEORANG : Lawan para penindas!!!
SESEORANG : Serbuuu!!
SESEORANG : Jihad !!

KEADAAN PUN BERTAMBAH KACAU. SEBAGIAN MALAH PANIK, BERLARI KESANA KEMARI, MENJERITKAN ITU DAN INI. SUARA DI MEGAPON TENGGELAM, BEGITUPUN BUNYI PISTOL. SUARA BEBERAPA SIRENE TERDENGAR MENDEKAT.

DI SATU SUDUT, TAMPAK MARKO MEMEGANG BEBERAPA BOM MOLOTOV. SATU IA LEMPAR KE TENGAH ORANG YANG PANIK. SATU KE ARAH POLISI, SATU KE SEBUAH BANGUNAN. BEBERAPA YANG LAIN IA BAGIKAN PADA DEMONSTRAN YANG MELEWATINYA. LALU IA MELESAT, IKUT BERTERIAK-TERIAK, DAN HILANG DALAM KERUMUNAN.

JANE ASPARI MUNCUL BERSAMA SEORANG LELAKI YANG BERPAKAIAN SIPIL DAN PERLENTE. BISING DEMONSTRASI.

LELAKI A : (Berlatar suara bising) Katamu tadi dia di sini...
JANE ASPARI : Ya, aku melihatnya sendiri, Kep.
LELAKI A : Dia janji akan menunggu kita?
JANE ASPARI : Seharusnya begitu...
LELAKI A : Seharusnya...?
JANE ASPARI : Ketangkep dia, kali.
LELAKI A : Nggak percaya aku...
JANE ASPARI : Tentara sombong macam kamu, mana bisa percaya pada orang lain..
LELAKI A : Aku tahu di mana dia...
JANE ASPARI : Kalau begitu, jangan ngomong melulu...

JANE ASPARI LANGSUNG MENEROBOS KERUMUNAN, DISUSUL LELAKI A, LALU MENGHILANG BEGITU SAJA.

BISING DEMONSTRASI.

BISING. DAN BLACK OUT.

Adegan Enam

DI SEBUAH KANTOR DINAS RAHASIA. BEBERAPA ORANG BERSERAGAM MILITER DAN SIPIL BERJAS DAN DASI, HILIR MUDIK. SUASANA BEGITU FORMAL.

LELAKI A MASUK BERPAKAIAN MILITER DENGAN TANDA KEPANGKATAN LETNAN KOLONEL, BERJALAN BERSAMA LELAKI B YANG BERJAS DAN DASI.

MEREKA MEMASUKI SEBUAH RUANGAN. SEORANG KEPALA MENUNGGU DI DALAMNYA, DUDUK DI SUDUT AGAK GELAP.

LELAKI B : Tak ada lagi yang perlu dikuatirkan.
KEPALA : Hmm..
LELAKI B : Biaya juga sudah ditanggulangi...bahkan berlebih.
KEPALA : Hmm...
LELAKI B : Hanya...
KEPALA : (Menelengkan kepala)
LELAKI B : Satu kartu mati.
KEPALA : (Memperdengarkan suara aneh)
LELAKI B : Kami sudah mengeliminasi sumbernya. Pers sudah beres, parlemen tinggal menunggu dua fraksi...dan rekanan kita di Hong Kong dan London pun oke...dan....
KEPALA : Tetap harus bertanggungjawab!
LELAKI B : Ya..ya...kami tahu (Menoleh ke arah Lelaki A)
LELAKI A : (Menatap Seseorang yang kini menghadap ke arahnya) Ya, saya yang bertanggung jawab.
KEPALA : Bagaimana?
LELAKI A : Kita ke rencana C. Dan saya handle semua.
KEPALA : Tidak cukup!
LELAKI B : (Berusaha membantu Lelaki A) Dia berjanji mencari resource-nya sendiri. Saya pun janji akan memback-up-nya.
KEPALA : Tidak cukup!
LELAKI B : (Memandang gentar ke arah Lelaki A)
LELAKI A : Saya siap dieliminasi!
LELAKI B : Ton...tapi!!
KEPALA : Bagus!
LELAKI A : Siap, pak!
KEPALA : Okay, tinggalkan tempat!
LELAKI A & B : Siapa!

LELAKI A & B BERGERAK SERENTAK. MEMBALIKKAN BADAN DAN MELANGKAHKAN KAKI BERSAMA KE ARAH PINTU. LALU MENGHILANG.

SANG KEPALA MENYALAKAN CERUTU. ASAPNYA MEMENUHI WAJAHNYA, MEMBUMBUNG, MENYESAKKAN KAMAR SEMPIT ITU. TERLIHAT WAJAHNYA YANG GELAP MENYUNGGINGKAN SENYUM. KERAS.

DAN BLACK OUT.

Adegan Tujuh



SEBUAH LORONG JALAN DI POJOKAN PERTOKOAN BESAR. BEBERAPA PENJUAL SIBUK MENGUMPULKAN BARANG DAGANGANNYA. ADA PEDAGANG KAKI LIMA, ADA TENGKULAK, ATAU PEMILIK KIOS. ADA JAWA, MINANG, ARAB, ATAU CINA. MASING-MASING SIBUK TANPA SUARA. HANYA KERESEK KARDUS, LANGKAH KAKI ATAU NAFAS MEREKA.

TIBA-TIBA SUARA SIRENE TERDENGAR MAKIN KERAS DAN DEKAT. LALU GELOMBANG SUARA BANYAK ORANG YANG BERTERIAK-TERIAK DI KEJAUHAN.

PARA PENJUAL TERSENTAK, MELIHAT KANAN-KIRI, LALU BERGEGAS MAKIN SIBUK MEMBENAHI BARANG-BARANGNYA.

TIBA-TIBA KEMBALI, SUARA MELENGKING SEORANG PEREMPUAN TERDENGAR DI UJUNG LORONG JALAN ITU. SEMUA ORANG MENENGOK KE ARAH YANG SAMA.

TAMPAK DALAM SILUET TIGA PRIA BERSENJATA MENYERET SEORANG PEREMPUAN, MENELANJANGI DAN MEMPERKOSANYA SATU PERSATU. PEREMPUAN ITU TERUS BERTERIAK HINGGA SUARANYA HABIS DAN TERTINGGAL RINTIH. PARA PEDAGANG HANYA MEMANDANG DAN TERPANA. SEMUA BEKU, KECUALI GERAK PEREMPUAN DAN PEMERKOSANYA DI KEJAUHAN.

GELOMBANG BISING ORANG-ORANG YANG BERTERIAK MENDEKAT SUARANYA. KETIGA PEMERKOSA TAMPAK TERGESA. MEREKA MENEMPELENG DUA KALI KORBANNYA, LALU PERGI DENGAN PENUH TAWA.

GELOMBANG ORANG DATANG. PARA PENJUAL BERBAUR DI DALAMNYA. SEMUA BARANG DAGANG RUSAK, ADA PULA ORANG TERINJAK.

SESEORANG : Ada cina diperkosa!
SESEORANG : Ada cina diperkosa!

BISING DAN KALANG KABUT.

BLACK OUT.

Adegan Delapan

SEBUAH KAMAR KONTRAKAN, LUSUH. EMPAT ORANG MASUK TERGESA-GESA: MARKO, TOGAS, LELAKI A, DAN JANE ASPARI. KEEMPATNYA MENGHEMPASKAN DIRI DENGAN NAFAS TERBURU.

DI LUAR TERDENGAR MASIH BISING DEMONSTRASI.

TOGAS : (Pada Jane Aspari) Seharusnya kau tidak ke sini....
LELAKI A : Terlalu bahaya memang untukmu, Jane...
JANE ASPARI : Kalian lelaki memang penuh lagak...
LELAKI A : Tapi, aku nggak main-main...
MARKO : Keadaan memang tidak bisa...
JANE ASPARI : Kau tak perlu ikut-ikutan, Mar!
MARKO : Tapi ini demi kami, Jane!
JANE ASPARI : Kenapa laki-laki di sini, kini jadi ceriwis. (Bangkit dan menuju pintu).
LELAKI A : Mau kemana kau?
JANE ASPARI : Kau bilang aku tak pantas di sini, hei lelaki!
LELAKI A : Tapi kau pun tak bisa pergi sendiri begitu saja.
MARKO : Terlalu bahaya di luar...(Bangkit hendak menghampiri Jane Aspari).
JANE ASPARI : (Membentak Marko) Kau tetap di situ! Duduk!! Aku tak butuh pertolonganmu. (Bergegas keluar dan hilang dengan cepat).
MARKO : (Hendak mengejar)
TOGAS : (Mencegah) Tidak perlu.

KETIGA LELAKI ITU MENGHELA NAFAS, HAMPIR BERSAMAAN. LALU BERPANDANGAN. TOGAS MEMANDANG LELAKI A DENGAN TAJAM.

SUARA BISING DI LUAR AGAK MENDEKAT.

LELAKI A : Kau tak perlu memandangku seperti itu, Gas.
TOGAS : Tak perlu juga merasa bersalah, Ton.
LELAKI A : (Menunduk dan menghela nafas) Bagaimana tidak? Kini
pun kita harus memilih: siapa?
TOGAS : (Melihat dengan tajam Lelaki A)
MARKO : (Bingung) Kalian membicarakan apa?

SUARA BISING DI LUAR KIAN DEKAT.

TOGAS DAN LELAKI A BERTUKAR TATAP DENGAN TAJAM.

MARKO : (Kian bingung) Apa yang terjadi? Apa yang sedang kalian rencanakan?

BISING SUDAH DI DEPAN PINTU. MARKO MENJADI PANIK.

SEKONYONG TOGAS DAN LELAKI A BERSERU DAN MELAKUKAN SATU GERAKAN CEPAT DI SAAT YANG SAMA. MEREKA MEMBALIKKAN BADAN KE ARAH PINTU BELAKANG DAN KEDUA TANGAN LELAKI A DI SAAT BERSAMAAN MENDORONG MARKO.

MARKO TERGULING. DI DETIK YANG BERBARENG SEROMBONGAN ORANG BERSERAGAM MENEROBOS MASUK KE DALAM RUANGAN. MARKO YANG TENGAH MENGELUH DIBEKUK HABIS. IA BERTERIAK BEBERAPA KALI TERKENA PUKULAN.

SEBAGIAN ORANG BERSERAGAM LAINNYA MENGGELEDAH SELURUH ISI KAMAR. TOGAS DAN LELAKI A SUDAH TAK TERLIHAT BUNTUTNYA.

SERAGAM 1 : Bersih...
SERAGAM 2 : Cuci sekali lagi!

SEBAGIAN MERINGKUS DAN MENGGIRING MARKO YANG TERUS MENGUMPAT-UMPAT. SEBAGIAN BERSERAGAM TERUS MENGGELEDAH.

SUARA MENGGELEDAH TERDENGAR BEGITU MENYEBALKAN.

BLACK OUT.

Adegan Sembilan

DALAM SEBUAH RAPAT BESAR. SEKITAR 15-20 ORANG BERKUMPUL. SUARA BISING DARI ORANG YANG BERDEBAT. PERDEBATAN DAPAT TERJADI SECARA UMUM, BISA PULA PADA POJOK-POJOK TERTENTU ANTARA DUA ATAU TIGA ORANG.

MEREKA RATA-RATA BERUSIA 20-30-AN TAHUN. TIGA EMPAT ORANG BERUSIA AGAK LANJUT. SATU ORANG, BUNG X, DI ANTARANYA DUDUK DALAM POSISI DI PUSAT PERHATIAN. PAPAN TULIS BERGAMBAR BAGAN DAN DENAH. KERTAS-KERTAS DI MEJA.

ARIANI : Sejauh ini semua berjalan cukup baik. Satu-dua kejadian tak terduga memang membuat rencana agak menyimpang. Saya kira itu cukup wajar.
LELAKI B : Soal Marko tampaknya bukan penyimpangan yang wajar. Tapi jelas kita kecolongan.
ARIANI : Itu sudah bukan wewenang saya (Menengok ke arah Lelaki A)
LELAKI A : Saya memang bertanggungjawab. Saya yang merekrutnya...dan yang saya ketahui...
JANE ASPARI : Anda tak tahu apa-apa, bung. Data intelejen Anda benar-benar murahan. Yang namanya Marko itu bukan lain adalah Primus alias Sutanto alias Rezma alias ....banyak lainnya. Dia pedagang buku di Senen asalnya, orangtuanya mati tahun 66, tak punya saudara di kota ini, tambahan lagi....
LELAKI A : Ya, kami mengetahui benar semua itu...
JANE ASPARI : Tapi kenyataannya, Anda kecolongan!
LELAKI A : Setiap operasi pasti ada deviasinya...
JANE ASPARI : Dan saya sudah mengingatkannya sejak mula!!
LELAKI A : Betapapun, tak perlu kau bicara keras seperti itu!
JANE ASPARI : Apa? Bicara keras? Kau tidak senang aku bicara keras? Orang macam apa kau? Memangnya kita ini kumpulan badut atau penari keraton? Kita di sini memang sedang usaha keras, dalam dunia keras, dengan tujuan yang keras. Siapa yang tidak berminat, takut, cerewet, atau lemah hatinya, tidak pantas berada di kumpulan ini. Siapa pun!!
LELAKI A : (Mencoba tersenyum) Kuakui kau memang keras, keras lebih keras dari lelaki.
JANE ASPARI : Apa-apan ini? Ini bukan soal banding-bandingan, Tuan. Bukan soal lelaki atau perempuan. Dalam perjuangan ini, jangan masalahkan gender. Aku tidak setuju. Dalam mentalitas dan intelektualitas tak ada batasan gender. Kau salah benar, Tuan...jika menganggap aku ingin mendepankan keperempuan atau kelelakian dalam kerja ini. Seperti yang kau sendiri lakukan!!
LELAKI A : Aku tak merasa melakukannya...
JANE ASPARI : Memang bagian kau untuk menolak atau tidak mempercayai orang. Itu disiplinmu, hei lelaki!
LELAKI A : Ya, disiplin lelaki. Bukan perempuan.
JANE ASPARI : Kau berani mengejek!!?
MAYONG : (Bercanda dan tertawa kecil) Kau sendiri yang mulai gender-genderan....
JANE ASPARI : (Balik ke arah Mayong) Ooo...begitu. Solidaritas. Kalian ingin bersekongkol untuk mendominasi opini di sini. Opini maskulin, nafsu maskulin, ambisi maskulin...
MAYONG : Jangan salah kira, Jane.
JANE ASPARI : Aku tidak salah kira, sama sekali tidak! Aku sudah melihatnya sejak mula. Kalian semua sebenarnya punya persekongkolan untuk mendominasi gerakan ini dengan ambisi-ambisi maskulin kalian. Memang tidak diungkapkan, tapi itu naluri menjijikkan yang kalian sepakati diam-diam. Dan perempuan, cuma alat...cuma tameng atau hiasan di muka, agar wajah, nyawa, harta, juga masa depan kalian selamat. Aku tahu itu. Aku tahu!!
TOGAS : Kau terlalu jauh, Jane.
JANE ASPARI : Kau yang terlalu jauh, Gas. Kini pun kau ikut nimbrung. Itu tak sadar. Itu naluri kelakianmu yang bodoh itu. Kau tak tahu, tak menyadarinya. Tapi aku melihat, merasakan, dan menyadarinya. Karena aku di luar. Aku punya jarak. Jarak dengan gerakan yang sudah dimanipulasi ini!
TOGAS : Mengapa kau harus menuduh?
JANE ASPARI : Kau yang menuduh! Kau yang tuduh aku terlalu jauh!! Padahal kau tahu bahwa aku benar. Bahwa aku tahu dan tidak terlalu jauh. Bahwa gerakan ini sudah dimanipulasi. Sekali lagi, dimanipulasi!!
TOGAS : Wah, itu terlalu jahat!
JANE ASPARI : Jahat? Jahat?! Siapa yang jahat. Kalian atau aku? Yang memperdaya atau yang diperdaya? Boneka seperti aku atau dalang-dalang menjijikkan seperti kalian?
MAYONG : Kau emosional, Jane! Rusak pertemuan ini!
JANE ASPARI : Bukan aku yang memulai. Tapi kalianlah yang telah merusak bukan cuma pertemuan, tapi juga semua rencana yang bertahun-tahun kita rancang.
TOGAS : Kau tak tahu, Jane. Kau cuma menuduh.
JANE ASPARI : Itulah senjata kalian, senjata ampuh. Kau tak tahu, Jane. Kau tak mengerti, Jane. Kau tak bisa, Jane. Bosan aku mendengar kalimat-kalimat sok dan diskriminatif itu. Dan kau (Menunjuk Bung X) cuma di situ terpekur dan diam saja. Turut bersekongkol, memanfaatkan boneka-boneka seperti aku ini...
LELAKI B : Wah ini sudah kelewatan!!
JANE ASPARI : (Berbalik ke Lelaki B) Memang kelewatan. Kau benar! Kita sudah kelewatan. Dan aku tidak bisa berdiam diri saja.
LELAKI B : Lalu apa yang hendak kau perbuat?
JANE ASPARI : Tak ada kata lain: aku keluar!!

TANPA BANYAK KATA LAGI, JANE ASPARI BERBALIK DAN BERJALAN KE ARAH PINTU. BEBERAPA ORANG BERDIRI, MENERIAKKAN NAMA JANE SEPERTI HENDAK MENCEGAH. TAPI JANE TAK DAPAT DICEGAH.

RUANGAN MENJADI BISU. BEBERAPA ORANG SALING MEMANDANG. HINGGA AKHIRNYA SEBAGIAN BESAR MEMANDANG KE ARAH BUNG X.

BUNG X : (Mendehem) Rapat dimulai.

GERARO MEMULAI RAPAT DENGAN EVALUASI. DISUSUL MERARI MEMBERI KOMENTAR. MAYONG MEMOTONG. DAN DISKUSI PUN BERJALAN RAMAI SEKALI. PEMBICARAAN MELOMPAT-LOMPAT. KADANG TERDENGAR BEBERAPA ORANG SEPERTI MELAKUKAN ORASI/PIDATO LAIKNYA SEORANG POLITIKUS, PEJUANG BESAR, TUKANG OBAT, ATAU DEMAGOG MURAHAN.

LELAKI B : Sekarang ini perubahan, tepatnya revolusi, sudah di depan mata. Saya kira kita tidak boleh lagi tanggung-tanggung. Seluruh daya yang kita miliki, ditambah dukungan dalam dan luar negeri, harus dikerahkan, agar besi yang sudah panas tidak menjadi dingin kembali.
MAYONG : Pemimpin negeri ini sudah lumpuh, habis kekuatannya. Saya setuju, jangan kita buang lagi kesempatan. Kita harus hancurkan pusat-pusat kekuatan yang mereka miliki dengan cara apa pun. Basis-basis masanya kita rusak. Jaringan bisnisnya kita busukkan. Seluruh agen kita siap untuk melaksanakannya.
GERARO : Kita adu domba saja mereka. Semakin kacau akan semakin habis kekuatan mereka. Lalu kita propagandakan isyu-isyu baru yang harus menyesatkan, sehingga rakyat bertambah bingung dan bodoh dan keadaan makin tak terkendali. Di sinilah kekuatan baru ditunggu dan mendapatkan kesempatannya. Kekuatan kita.
MERARI : Walaupun tentu jangan sampai kita korbankan rakyat.
GERARO : Bagaimana tidak ada korban? Setiap revolusi membutuhkan korban. Begitupun rakyat perlu berkorban. Seperti kita yang sudah berkorban waktu, pikiran dan tenaga...
MERARI : Itu akan melanggar tujuan kita sendiri...
GERARO : Tak perlu naif kau. Demi ratusan juta manusia, adalah lumrah kita korbankan sepuluh dua puluh, bahkan seratus atau seribu orang. Masa depan anak cucu kita sedang kita pertaruhkan. Jangan lagi kita kuatir, ragu, atau mendua, atau semua yang telah kita lakukan akan jadi sia-sia. Kita harus berani berkorban dan mengorbankan, melukai, merusak jiwa, bahkan kalau perlu mengambil nyawa.
ROMODI : Apa perlu sejauh itu?
MAYONG : Kenapa harus kau tanyakan lagi, Romo? Mungkin untuk penyair macam kau hal ini terasa melanggar prinsip. Tapi ini revolusi, bukan sastra, bukan seni. Kau harus mengerti itu. Kita membela ratusan juta nyawa, bukan seribu dua ribu pembaca. Rakyat harus membantu kita menggulingkan kekuasaan yang sudah bejat.
ROMODI : Termasuk meracuni rakyat...
MAYONG : Tidak semua rakyat. Tapi satu dua rakyat yang menjadi martir dan pahlawan untuk semua. Itu hukum revolusi. Harus muncul kejahatan untuk melihat kebaikan. Rakyat harus melihat dirinya rusak untuk bangkit melawan kepalsuan kekuasaan.
MERARI : Termasuk membunuhi kyai...
MAYONG : Itu hanya cara. Dan banyak cara lain. Apa pun akan kita lakukan. Jika perlu menyebarluaskan ide kita di kalangan pelacur, di meja judi, atau lewat video porno. Mau apa lagi, habis memang di situlah rakyat biasanya kumpul dan paling gampang diberi pesan.
ROMODI : Ini sih sudah keterlaluan, bung. Menurutku, apa pun yang kita lakukan tidak bisa lepas dari tujuannya. Kita ingin membersihkan ruangan tidak mungkin dengan cara mengotorinya. Kita ingin memperbaiki seseorang tidak bisa dengan cara merusak pikiran dan hatinya. Dan lagi....
GERARO : Bagus betul kata-katamu, Romo. Indah. Tapi sayangnya, hidup tidak seindah bahasamu, tidak secantik pikiran dan ide-idemu. Wajar, bagianmu adalah keindahan, dan bagian kami adalah kekerasan dan kesulitan.
ROMODI : Kau ingin mengatakan bahwa aku hanya melulu mengurus keindahan, tanpa pernah mempersoalan kekerasan dan kejahatan? Apa kau mau bilang juga bahwa hanya orang seperti kau yang punya hak dalam soal seperti ini? Apakah sebenarnya....
GERARO : Nanti dulu, nanti dulu. Jangan salah sangka. Sama sekali aku tidak berpikiran bahwa kau tidak punya tempat di ruangan seperti ini. Justru sebaliknya. Tempat kau sangat jelas di gerakan ini. Saking jelasnya, tugas dan wewenangmu pun terbatas.
ROMODI : Sejak kapan kau bertindak sebagai pemimpinku?
GERARO : Aku tak bermaksud mengaturmu,...
ROMODI : Tapi caramu yang menjengkelkan itu...

PERDEBATAN PUN TERJADI LAGI DENGAN SENGIT. MASALAH SATU MENYUSUL MASALAH LAINNYA. RUANG ITU MENJADI BISING DENGAN KATA-KATA. BISING SEKALI. BAHKAN SESEKALI TERDENGAR ORANG TAKBIR ATAU ISTIGHFAR.

BISING BERKEPANJANGAN.

BLACK OUT.

Adegan Sepuluh

SEBUAH RUANG YANG GELAP. SEPERTI SEBUAH PENJARA, ATAU RUANG INTEROGASI. DALAM KEGELAPAN ITU, TAMPAK SILUET BEBERAPA ORANG. SEMUA BERDIRI, KECUALI SATU ORANG YANG DUDUK DI KURSI, TERIKAT DAN KELIHATAN SANGAT LEMAH.

BEBERAPA ORANG DI SEKELILINGNYA TERDENGAR MEMBENTAK-BENTAK DENGAN KALIMAT TAK JELAS. DIJAWAB OLEH PESAKITAN DI KURSI DENGAN JERITAN ATAU KATA-KATA YANG SAMA, “AKU TIDAK TAHU!”. BEBERAPA PUKULAN DAN SIKSAAN PUN MENERPA.

PESAKITAN ITU MENJERIT LAGI. DAN PARA PENYIKSA TERTAWA, TIDAK MENGHENTIKAN BENTAKAN DAN DESAKAN PERTANYAAN.

UDARA DIKUASAI OLEH JERIT KESAKITAN YANG MENGGIRISKAN.

JERITAN ITU MENJAUH.

DAN BLACK OUT.

Adegan sebelas

DI SEBUAH RUMAH, KECIL DAN KUMUH.

SEORANG IBU, TERDUDUK DI POJOK. WAJAHNYA SANGAT MURAM, TEBAL DENGAN KESULITAN. DI DEKATNYA DUDUK ANDARI DAN MERARI.

HENING. SAYUP SEKALI BUNYI SERANGGA.

MERARI : Ibu dapat percaya pada kami, kami akan bantu menemukan anak ibu dengan selamat. Sebagai organisasi yang spesial mengurusi penculikan, kami sudah sangat dikenal.
ANDARI : Kita bisa bekerjasama. Ibu tolong beritahu kami teman-teman Koko, di mana dia bisa bermain, kegiatannya apa, dan apa saja yang dia lakukan selama beberapa hari belakangan ini.

SANG IBU WAJAHNYA BERTAMBAH MURAM. HENING.

MERARI : Kami dengar Koko diculik oknum tentara. Kami akan selidiki, sampai kemanapun.
ANDARI : Akan kami dapatkan dia secepatnya, dalam keadaan hidup.

SANG IBU MAKIN MURAM. WAJAHNYA MENUNDUK.

ANDARI : Ibu tak perlu gelisah.
MERARI : Kami banyak teman yang bisa diandalkan.

HENING. WAJAH IBU KIAN MENUNDUK.

ANDARI DAN MERARI SALING BERPANDANGAN. SALING MENGANGKAT BAHU.

PUNDAK WANITA TUA ITU KINI TERLIHAT BERGERAK. TEPATNYA TERSENGGUK-SENGGUK.

MERARI : (Mulai gelisah) Ma’af kalau ibu merasa terganggu.
ANDARI : Karena sebenarnya kami tidak ingin mengganggu.
MERARI : Kami ingin membantu.

SENGGUKAN WANITA ITU KIAN KERAS. KINI MULAI TERDENGAR TANGISNYA. PERLAHAN. MENYAYAT DAN TAJAM.

MERARI DAN ANDARI SEMAKIN BINGUNG. MEREKA SALING BERPANDANGAN LAGI.

TANGIS ITU TIDAKLAH TERDENGAR TAPI TERASA MENYAYAT. DAN TUBUH SANG IBU TIBA-TIBA MELONJAK. MERARI DAN ANDARI BERGERAK KAKU HENDAK MENJANGKAU. TAPI PERCUMA.

SANG IBU : Dia sudah mati! Anakku mati...!!

IBU TUA ITU SEPERTI BERONTAK PADA SESUATU. MEREGANG DAN MENGULANG KATA-KATANYA SEPERTI HISTERIA.

ANDARI DAN MERARI TAK BISA BERBUAT APA. SUASANA MENJADI TERLALU KELAM.

BLACK OUT.