Wednesday, January 7, 2009

Menggugat Kapitalisme: Ambisi Tuhan-Manusia

Oleh Radhar Panca Dahana


Banyak kecurigaan, krisis finansial yang terjadi belakangan ini hanyalah siasat kecil dari penguasa kapital global untuk mengembalikan dominasinya, melalui berbagai lembaga keuangan dunia. Menjerembab kembali negara-negara berkembang dan terbelakang dalam skema kredit atau utang, yang beberapa tahun lalu “berhasil” meluluhlantakkan fundamen ekonomi serta diobral habisnya aset negara-negara tersebut.


Permohonan beberapa negara Asia, Afrika, Amerika Latin bahkan Eropa Timur pada IMF untuk mendapat pinjaman kembali serta kesiapan Bank Dunia menggelontorkan 100 trilyun rupiah hingga 2009, menunjukkan bukti untuk itu. Krisis finansial saat ini kemudian dipahami bukan lagi sebagai krisis ekonomi yang murni, yang nyata, namun sekadar layer depan dari beberapa hidden scenario dari pemegang kapital raksasa dunia, untuk antara lain menciptakan satu tata ekonomi global baru demi status quo.

Ada beberapa skenario-tersembunyi yang dapat terbaca. Hal yang paling jelas dari bacaan itu adalah realitas dimana kapitalisme sudah berkembang demikian rupa, dimana modal tidak lagi dioperasikan untuk satu kegiatan produktif dalam arti tukar-menukar produk material sebagaimana pemahaman pasar tradisional. Namun pertukaran itu sudah berubah menjadi jual beli modal itu sendiri, bukan secara fisik, tapi dalam nilai-nilai yang didenominasi ke dalam bentuk lain: virtual, terutama.

Apa yang terjadi kemudian adalah pasar “kapitual” (kapital-virtual), pasar modal dalam bentuk virtual, dimana yang bermain sesungguhnya adalah politik pencitraan melalui penguasaan jalur-jalur mediatik dan otoritas (jasa) pemeringkat/penilai keuangan. Pasar dalam game di tingkatan abstrak ini tentu saja hanya dapat diikuti oleh mereka yang berada dalam posisi atau arus kebijakan di tingkat setinggi itu (elit). Dan pelaku pasar di bawahnya tinggal menerima limbah, tertimpa akibat: jadi korban tanpa daya untuk melakukan reaksi apa pun.

Pada titik ini sesungguhnya beberapa hal yang selama ini menjadi sumber kecemasan dan kecurigaan berbagai kalangan dunia terhadap kinerja kapitalisme –sebagai sebuah sistem—yang menindas, eksploatatif, bahkan rapuh bangunannya, memiliki bukti-bukti praktisnya. Korban-tanpa-daya di atas adalah fakta: kemiskinan tidak hanya sebuah akibat tapi juga semacam keharusan sistemik atau conditio sine qua non bagi berlangsungnya etos dasar kapitalisme yang selalu mendesak siapa saja untuk lebih kaya lebih kaya lebih kaya...dst.
Pemiskinan Sistemik

Kapitalisme di negeri-negeri berkembang, khususnya non-oksidental, memang problematis sejak awalnya. Ia tidak dimulai, antara lain, oleh struktur sosial yang serupa dengan apa yang ada di tanah kelahirannya. Lewat berbagai karakteristik dan unikum lokalnya, kapitalisme negeri berkembang berlangsung bukan untuk menciptakan keseimbangan, kesetaraan atau kesejahteraan bagi semua elemen masyarakat/bangsa di negeri bersangkutan. Tapi justru sebaliknya.

Persoalan di antaranya ada pada asas laissez faire, dimana setiap pihak (seakan) memiliki hak dan peluang yang sama untuk merebut akses atau kesempatan ekonomis yang ada atau disediakan. Namun kenyataan sosial-politik-ekonomi-kultural yang ada di masyarakat-masyarakat tersebut justru menciptakan keadaan yang membuat proses ekonomi pun berlangsung secara terbalik atau bertentangan dengan asas itu.

Hal itu terjadi ketika hak dan peluang –mau tak mau—harus dipahami oleh bagaimana struktur sosial yang ada mendistribusi prasarana-prasarana (politik, ekonomi, dsb) kepada tiap elemen masyarakat, untuk dapat mengoperasikan hak dan peluangnya masing-masing. Distribusi itu dalam kenyataannya sesungguhnya sudah timpang. Dimana segolongan kecil bangsawan tradisional lebih memiliki kemampuan untuk mengakses, memiliki dan mendayagunakan prasarana-prasarana tersebut.

Maka seorang pengusaha dari kalangan bangsawan (pemodal besar), misalnya, akan memiliki prasarana modal, jaringan, birokrasi, dan infrastruktur lain yang lebih kuat ketimbang pengusaha non-bangsawan (pemodal kecil). Katakanlah, pengusaha bermodal Rp1 miliar tentu saja memiliki “hak” dan “peluang” yang jauh lebih besar ketimbang mereka yang bermodal Rp 10 juta atau kurang dari Rp 1 miliar.
Konsekuensi logisnya, hasil atau keuntungan yang diperoleh oleh masing-masing pemodal pun –tanpa menghitung kasus—adalah kelipatan wajar dari nilai nominal dasarnya. Bahkan dengan peluang yang berlipat lebih besar dari pesaing kecilnya, pemodal besar pun dapat menggandakan modal serta keuntungannya, untuk meninggalkan sang pemodal kecil jauh di belakangnya. Bahkan pada titik tertentu, pada nafsu kekayaan tak terbatas hingga ke tingkat greedy (serakah), pemodal besar sebenarnya sudah merebut –tak hanya hak dan peluang tapi juga—keuntungan dari pemodal kecil.
Di sinilah, proses pemiskinan secara sistemik sudah menjadi keharusan kapitalistik.


Puncak Nafsu Manusia

Ilustrasi kecil di atas, sebenarnya hanyalah satu di antara sekian banyak bukti dari sudah tidak kapabelnya lagi kapitalisme sebagai sistem yang menggaransi kesejahteraan masyarakat, garansi bagi pemuliaan manusia, sebagaimana jargon-jargon klasiknya. Karena juga, antara lain, kapitalisme sudah kehilangan kemampuan –juga karena absennya premis-premis dasar untuk itu—dalam mengontrol apalagi menghentikan gairah atau nafsu manusia untuk meraih kekayaan (kekuasaan dalam arti lain), dengan cost apa pun dan berapa pun.

Absennya perangkat mental, sprititual bahkan pula intelektual itu juga membuat manusia tidak mampu lagi berseru “enough!” alias “cukup!” bagi dirinya sendiri. Hal ini membawa akibat lebih jauh yang cukup menggiriskan. Pertama, sebagaimana kita mafhum, sumberdaya natural yang ada pun diperkosa habis-habisan untuk menghasilkan keuntungan tanpa batas, hingga di titik alam menjerit dan membalasnya dengan semacam kemarahan lewat bencana tiada habisnya.

Kedua, petambahan kapital hingga ke tingkatan hampir tak terukur (sebutlah data misalnya, yang mengatakan akumulasi modal dari elit kapitalis dunia yang nilainya lebih dari 10 kali PDB dunia, 60 kali PDB Amerika, 1.000 kali PDB Indonesia), menciptakan sebuah kebutuhan absurd dimana nilai kekayaan tidak lagi didasarkan pada nilai riilnya, namun dengan persepsi abstrak yang dikenakan padanya. Inilah yang bekerja di berbagai bursa dan pasar derivatif, yang jika ia sedikit saja terguncangan pun terjadi pada harapan puluhan atau ratusan juta penduduk di bawahnya.

Dan ketiga, yang paling mencemaskan, adalah ketika kemampuan material manusia sudah sampai pada tingkatan dimana ia dapat menentukan apa pun yang bersifat fana. Sebuah tingkatan yang mendorong ambisi kekuasaannya pun menohok ke tingkat “di atas” (beyond) dunia fana itu. Ia ingin juga menentukan nasib, takdir, masa depan, bahkan menaklukan waktu: menjadi tuhan bagi manusia lain. Pada saat itu, sebenarnya, godaan terberat iblis bekerja dengan baik. Tuhan mati tak lagi secara filosofis, tapi defintif. Di puncak kejayaan manusia. Di puncak kapitalisme. Katanya.

1 comments:

Dede Pramayoza said...

Bukankah tuhan juga sudah dijual setiap hari, menjelang Pemilu ini mas...
Berapa banyak sekarang yang berjanji atas nama tuhan...
Mereka juga minta agar orang indonesia mendoakan mereka menuju "kursi" itu...
Apalagi, partai-partai banyak tapi seragam...
Orang bahkan nyaris bisa menutup mata saja saat mencoblos nanti...
pada dasarnya sama, komprador !
Lalu apakah menyarankan spiritual masih penting?

Post a Comment