Sunday, January 11, 2009

Metamorfosa Kosong 2


(2)

oo

SEHARI KEMUDIAN. PADA RUANGAN YANG SAMA. CAHAYA TAMBAH REDUP. FITRI DUDUK DI KURSI MENGHADAP MEJA. DARMO MELIHAT KELUAR JENDELA.

DARMO : Mereka sudah di tempatnya masing-masing. Wali sudah menyalakan rokok pertanda semuanya sudah siap. (MELI-HAT ARLOJINYA) Tidak beberapa lama lagi. Dan Residen itu akan menemui ajalnya. (MELIHAT ARLOJINYA LAGI

FITRI : Duduklah, Dar. Kau nampak tegang ini hari.
DARMO : Sebenarnya aku merasa tidak enak berada di sini sekakarang. Aku merasa iri. (TERDIAM) Pada Ponco, pada Sutris, atau Wali. Kurasa mereka lebih baik diriku.
FITRI : Tapi kau juga yang akan memikul semua tanggungjawab setelah ini.
DARMO : Soal itu tak mampu menipu kesan kebanyakan. Bahwa seorang pemimpin menyimpan dualisme kehormatan dan kepengecutan. Dan bagiku, terasa lebih baik jika aku memegang bom yang kini dipegang Ponco.
FITRI : Semua ada bagiannya sendiri sendiri. Bukankah kau juga yang membagi tugas itu?
DARMO : Kau begitu pandai mengendalikan diri, Fitri.
FITRI : (BANGKIT. MEMBENAHI GELAS-GELAS DI MEJA) Tidak juga. Dua tahun lebih aku mengikuti gerakan ini. Kurasa aku sudah berusaha untuk tidak mengecewakan teman-teman seperjuangan.
DARMO : Kerjamu tak bercacat, Fit.
FITRI : Aku membuat bom-bom itu dengan keterlibatan segenap bathin, pikiran, dan badanku. Walau kutahu, ada satu lagi bagian dari diriku yang tidak ikut serta. Dan bagian itu telah membuat gemetar setiap nafasku.
DARMO : Mungkin karena aku tak mampu bersikap sebagaimana lelaki pada umumnya.
FITRI : Persoalan itu tak pernah jadi beban untukku. Walau karenanya aku harus berkeringat setiap bangkit dari tidur. Seharusnya aku relaks saat tidur malam. Namun bayangannya...senantiasa mengejar.(TERDIAM) Ma'af aku harus jujur padamu, Darmo. Tapi, aku sama sekali tidak menyesalinya.
DARMO : Aku justru ingin menyesalinya. Aku ingin meninggalkannya. Salah satu dari kita mesti hilang. Tapi apa hanya lantaran itu kita mesti tinggalkan perjuangan ini? Karena itu aku ingin mengusulkan padaku sendiri agar Darmo ini melempar bom yang pertama.
FITRI : Walau kau tahu itu perbuatan pengecut saja.
DARMO : Tak ada bedanya dengan kepengecutanku berada di sini.
FITRI : Kenapa kita tiba-tiba jadi melankolik seperti ini? (MENDENGAR) Suara kereta itu!
DARMO : Aku mendengarnya. Ia sudah datang. (MELONGOK JENDELA) Wali sudah menyalakan rokoknya lagi. (SUARA KERETA BERTAMBAH DEKAT) Kuharap Ponco siap.
FITRI : Ia sangat siap.
DARMO : (MELIHAT ARLOJI) Beberapa saat lagi. (MENUNGGU. BEBERAPA SAAT) Mestinya Ponco telah melempar bom itu. (BERULANG KALI MENENGOK JENDELA) Kemana Wali? Mana Sutris? Aku tak melihat mereka.
FITRI : Apa yang terjadi? (GELISAH SEKALI) Ponco mesti telah tertangkap. Ya, pasti Ponco tertangkap. (MULAI TERISAK. MEMELUK DARMO) Apa yang mesti kita perbuat, Dar.
DARMO : Tenang. (SUARA LANGKAH KERAS TERGESA) Lihat! Sutris berlari. Cepat buka pintu!

FITRI MENGHAMBUR KE PINTU. SAAT PINTU TERBUKA, SUTRIS MENGHAMBUR MASUK DENGAN NAFASNYA YANG MEMBURU.

SUTRIS : Aku tidak mengerti, aku tak mengerti, Dar.
DARMO : (PADA FITRI) Beri ia minum. Ambil panjang nafasmu. Ceritakan apa yang terjadi?
SUTRIS : (MENERIMA GELAS AIR PUTIH DARI FITRI) Ponco tidak melempar bomnya. Aku tak tahu apa yang terjadi padanya. Aku menunggu...satu detik...dua...tiga detik...hingga sepuluh detik. Dan aku yakin, operasi ini gagal.
FITRI : Dia tertangkap.
SUTRIS : Kurasa tidak. Keadaan aman-aman saja. Kulihat Residen dengan tenangnya, bahkan sambil tertawa memasuki gedung pertunjukan itu. Aku menengok pos kawan-kawan. Jajat ada di tempatnya. Juga Kanto. Tapi tak kulihat Wali dan Ponco.
FITRI : Ada yang diperbuat Wali pada Ponco.
DARMO : Ia takkan berbuat apa-apa, Aku mengenal Wali.

SUARA ORANG BERLARI. DAN PINTU DIBUKA PAKSA. PONCO MASUK MEMBANTING DIRINYA KE TENGAH TIGA ORANG DI DEPANNYA.

PONCO : (NAFAS MEMBURU) Anak-anak...anak-anak...!! Aku tak pernah mengiranya. Ia duduk di pintu andong itu. Demi nama keturunanku, aku tak pernah mengiranya.
DARMO + FITRI : Kau tak lemparkan bom itu?
PONCO : Kalian gila apa?
DARMO : Kenapa?
WALI : (SEKONYONG ADA DI PINTU) Hati lembut seorang penyair mana cukup tegas membunuh anak kecil (SINIS)

SEMUA MEMANDANG WALI. WALI BERJALAN PELAN KE TENGAH.

WALI : Aku sudah memperingatkan hal ini sebelumnya. Bahkan jari tangan pun bisa jadi pengecut.
PONCO : (MENGHADAPI WALI. KERAS) Aku tidak akan membantah jika kau bicara seperti itu. Hanya aku ingin bertanya padamu, Wali, apakah sebuah revolusi mengijinkan pembunuhan terhadap anak-anak yang belum jelas dosanya apa.
WALI : Sudah ribuan anak di negeri ini yang mati, karena perlakuan mereka. Mati secara fisik maupun mental. Dan kita harus menghentikan pembunuhan besar-besaran itu. Dan apa artinya satu dua anak keparat Residen itu, jika dengannya kita bisa menyelamatkan ribuan bahkan jutaan anak lainnya. Anak-anak kita sendiri. Jangan lupa bung, ini revolusi. Korban adalah salah satu kepastian dari keadaan seperti ini.
PONCO : Pembunuhan atau revolusi terjadi bukan disebabkan oleh seorang anak. Anak siapa pun dia, dari mana pun ia berasal. Kau tidak dapat menggunakan kata revolusi sebagai mantra atau apologi untuk membenarkan kekejaman. Aku memang telah memutuskan nasibku sebagai pembunuh, tapi bukan pembunuh anak-anak.
WALI : Beginilah jika perjuangan mesti dicereweti kecengengan. Dan hanya karena kebodohan seperti itu, kita semua, nasib organisasi ini akan terus terancam oleh mata-mata kolonial. Kebrengsekan mental seperti itu yang telah banyak menggagalkan revolusi dalam sejarahnya.
PONCO : (MENGHEMPAS NAFAS) Berbulan-bulan sudah kusiapkan diriku untuk kesempatan seperti ini. Bahwa aku tidak mau mati sebelum aku dapat berbuat. Apapun. Sama sekali kupahami apa arti kepengecutan dan segala macam kebrengsekan moral seperti yang kau katakan, Wali. Ketika kudengar suara roda kereta itu, hanya perasaan bahagia yang kurasakan. Darahku menggelegak, tangan dan jemariku bergetar. Seakan ada kekuatan lain menyelusup membangkitkan gairahku. Aku akan lemparkan bom itu tepat, tak seinci pun meleset dari sasaran. Tapi...(MENDENGUS) bocah itu bermata bening. Lewat di depanku dengan pandangannya yang kosong. Tangannya yang mungil berpegang erat kisi andong. (MEMANDANG DARMO) Aku punya dua adik yang kulepas di hutan untuk cari makan sendiri. Aku suka hidup yang keras karena ia indah. Tapi aku paling takut menerjang anak kecil jika aku sedang ngebut dengan kuda kesayanganku.
WALI : Kita sudah terlampau lama berputar dalam kecerewetan.
PONCO : (MENGERAS SUARANYA) Kalau memang aku dibilang bersalah karena aku tidak membunuh kedua anak, akan kuterima...
WALI : Perintah adalah perintah.
PONCO : (MEMBALIK KE ARAH WALI) Tapi tidak pernah kudengar sekali pun dalam instruksi, bahwa aku harus membunuh anak-anak!
DARMO : Tak ada instruksi itu sama sekali.
PONCO : (KEMBALI PADA DARMO) Namun bagaimanapun aku tetap bersalah. Aku berhutang pada kalian, berhutang pada perjuangan. Kalaupun kalian semua minta, aku akan kembali ke gedung itu menunggu hingga selesai pertunjukan, dan kulempar bom ini. Sendirian, aku tak perlu bantuan. Dan boleh kalian yakini, aku takkan gagal kali ini.
FITRI : (MENGHAMPIRI PONCO, MENGUSAP-USAP PUNGGUNGNYA) Tenanglah. Kupikir tak perlu tergesa-gesa seperti itu. Bukankah begitu, Darmo!
WALI : Kepengecutan ternyata telah merajalela.
DARMO : Aku belum hendak membuat keputusan.
FITRI : (KEPADA WALI) Hatimu sama sekali tidak damai, Wali. Kupikir hal itu juga yang menyusahkan revolusi ini.
WALI : Kita tak sedang menikmati roman picisan, kasihku.
FITRI : Apa kemudian kau ingin membuat tragedi dengan mengotori perjuanganmu sendiri? Kau ingin membayar kekejaman mereka dengan kekejaman kita. Apa jadinya revolusi seperti itu? Seandainya pun berhasil aku akan malu menerimanya sebagai hasil dari sedikit perjuanganku. Bahwa ternyata kita berhasil membuat negeri ini merdeka, dengan lumuran darah anak-anak di telapak tangan kita.
WALI : Kalian selalu bicara tentang anak-anak. Dan seolah-olah kalian menjadi suci karenanya. Kalian bicara tentang satu dua nyawa anak-anak. Tapi pernahkah kalian melihat puluhan bahkan ratusan anak mati? Pernah? Aku pernah. Perlahan-lahan mereka mati karena makanan yang sangat buruk harus mereka kunyah setiap hari. Perlahan-lahan mereka mati, karena otak dan jiwa mereka dijejali omong kosong dan kepalsuan ideologis. Ribuan anak menjadi batu, yang tidak mengerti apa yang sebenarnya tengah terjadi di sekitar mereka. Di negeri yang mereka miliki ini.
FITRI : Kesalahan besar tak bisa melegitimasi kesalahan kecil yang kerdil.
WALI : Atau kau yang ketakutan karena diburu ketakutan imajinasimu sendiri!
DARMO : Cukuplah! (BANGKIT) Sejak semula kita sudah menetapkan, perjuangan ini dilandasi oleh ideal-ideal kemerdekaan. Dan sedikit pun kita tak pernah bergeser dari keyakinaan bahwa nilai-nilai luhur, seperti keadilan atau kemanusiaan akan menjadi nafas dari setiap sikap dan tindakan yang kita tegakkan. (PAUSE) Aku bertanya padamu Fitri dan Sutris, apa yang akan kalian lakukan jika menghadapi keadaan yang dihadapi Ponco.
SUTRIS : Aku tidak akan melemparkan bom itu. Dan aku harus mendapatkan jalan yang lebih baik daripada membunuh anak-anak.
DARMO : (KEPADA FITRI) Kau?
FITRI : Terus terang aku tak pernah menghadapi hal seperti itu. Jadi bagaimana mungkin aku bisa menentukan sikap setuju atau tidak. Tapi lebih dari itu, anak-anak tidak bersalah, juga atas penderitaan orang-orang sebayanya. Mereka jangan dilibatkan dalam revolusi. Apalagi untuk menjadi korban.
WALI : Cah! Omong kosong!! Anak-anak adalah bagian utuh sebuah revolusi. Bagaimana kita bisa menghindari ini? Bagaimana kita bisa menolak kenyataan bahwa merekalah korban yang paling menderita. Apakah kita tidak tengah memperjuangkan mereka, masa depan mereka yang tak lain masa depan negeri ini? Dalam sebuah revolusi, anak-anak harus terlibat. Mau tak mau. Kita boleh membalas dendam untuk masa lalu kita, dan mereka membalas dendam untuk masa depan mereka sendiri. (TAJAM) Hanya sayangnya, kalian tidak mempercayai revolusi.
SUTRIS : Lalu kita meminjamkan tangan kita dengan alasan membalaskan dendam mereka?
WALI : Ini revolusi, bung. Ini kenyataan, bukan rekaan seperti yang biasa penyair muda kita ini pikirkan. Jangan berpikir satu atau dua titik darah yang tumpah, karena harga revolusi memang tidak murah. Setiap tempat dan keadaan memiliki hukumnya sendiri-sendiri. (MEMANDANG SEMUA) Satu tahun aku terdampar di hutan. Dimana tak satu pun tumbuhan yang dapat dimakan. Tak satu pun. Dan aku akan membunuh temanku sendiri, agar puluhan yang lainnya dapat mengumpani usus mereka yang menjerit. Agar puluhan orang bisa bertahan hidup.
SUTRIS : Aku memilih menyayat dagingku sendiri untuk itu.
WALI : (TERTAWA SANGAT SINIS) Kuberi kau pisau, ini! (MELETAKKAN SEBUAH BELATI DI MEJA) Dan datanglah sekarang ke gedung komidi. Bunuh residen itu dengan tanganmu sendiri!
SUTRIS : Akan kulakukan itu, jika bukan kau yang mengatakannya.
PONCO : (BANGKIT MENDEKATI WALI) Saudara Wali, dengarkan. Aku mengakui kesalahanku dalam hal ini. Biarpun begitu, aku juga takkan berdiam diri untuk membiarkan kau terus bicara. Sebagaimana aku tak berdiam diri pada keadaan busuk yang menelikung kita sekarang ini. Di luar maupun di dalam. Tak ada keberatanku sedikit pun untuk membunuh. Ya, aku akan membunuh. Tapi bukan sebagai centeng yang haus darah. Aku membunuh dengan tujuan, dengan dasar-dasar ideal.
WALI : Bagus! Kau pahami hal itu dengan baik. Tapi sayangnya, hatimu -katakanlah- tak terlampau siap, sebagai pengganti perkataan bahwa kau pengecut. Mestinya kau ingat, dalam revolusi seperti ini orang memang harus siap membunuh. Siapa saja. Demi tujuan, yang tentu jauh lebih berharga ketimbang nyawa-nyawa yang lenyap itu.
PONCO : Betul. Tapi kau mesti ingat, apa yang aku bahkan kita lakukan, diisi juga dengan rasa hormat dan bangga. Dengan jiwa besar. Hal itu juga yang kau gunakan untuk mengucapkan apa yang kau pikirkan selama ini.
WALI : Soal itu bukan urusanmu, bung. Soal apa dan bagaimana kebanggaanku adalah urusanku sendiri. Yang menjadi persoalan kita adalah rasa bangga orang lain, bangsa ini, akan keadilan, kebebasan, dan kemerdekaan.
PONCO : Kau ucapkan kata-kata itu dengan baik. Tak sebagaimana sikapmu. Membunuh anak kecil. Apakah hal itu bukannya malah merusak rasa bangga dan rasa adil yang kita perjuangkan?
WALI : Kau dipelintir oleh pikiran ruwetmu sendiri, Ponco. Soal membunuh anak kecil terlalu kau besar-besarkan seolah-olah ia menjadi noda tak terampunkan dari rasa keadilan. Kutegaskan sekali lagi, ini perang, bung! Kau boleh tutup mata -walau mungkin untuk sementara- agar apa yang kau citakan itu menjadi nyata. Sudah hukumnya, revolusi memakan sebagian anak-anaknya sendiri.
PONCO : Kau nampak begitu yakin bahwa masa depan ideal itu pasti akan ada.
WALI : (TERTAWA) Betapa bodohnya kau berjuang jika kau tak punya keyakinan akan datangnya masa depan itu.
PONCO : Barangkali aku bodoh. Namun kau juga harus ingat, aku tak ingin mengorbankan masa kini, untuk masa depan yang belum pasti.
WALI : Inilah semangat yang membuat revolusi ini seperti pisang busuk. Berjuang tanpa keyakinan.
PONCO : Kau tak bisa sembarang omong soal keyakinan. Bagaimana mungkin kau bisa memiliki keyakinan, jika kau menghancurkan masa kini untuk masa nanti.
WALI : Karena masa itulah yang akan kita bela.
PONCO : Ma'af, bung. Aku sama sekali bertentangan denganmu. Aku berdiri di sini, untuk pembela orang-orang yang hidup saat ini. Yang menginjak bumi kita ini, yang menjerit lapar dan terbunuh di hadapan muka kita sendiri. Soal masa nanti, akan ada yang meneruskan perjuangan kita. Aku tak pernah menganggap bahwa kitalah orang yang akan membebaskan negeri ini sekarang juga. Lalu hidup enak untuk menikmati hasilhasilnya sebagai pahlawan. Menjadi penguasa, jadi pengusaha, dan mati dengan kenikmatan upacara. Dengan kehormatan sebagai pahlawan besar.
WALI : Kau melantur. Itu kebiasaan orang yang senang berangan-angan. Tidak salah mungkin bagi seorang penyair. Bagi manusia seperti itu, tak ada ketegasan untuk bertindak sama sekali. Dan revolusi tak membutuhkan manusia semacam itu. Karena itu, aku tidak merasa rugi berlainan pendapat denganmu.
PONCO : Aku pernah menawarkan padamu, Wali, mengapa tak bisa kita berdampingan dalam damai walau mungkin kita tak sepakat akan banyak hal. Sekarang, sama sekali aku tak menolak membuat garis pisah denganmu. Aku sudah banyak berdiam diri. Ketika kau bilang aku pengecut, ketika kau sebut aku terlampau berangan-angan, ketika kau nyatakan aku tak pantas untuk revolusi ini. Memang, aku tak pantas untuk revolusi yang menanamkan ketidakadilan untuk keadilan yang belum terjadi. Aku menolak revolusi yang sengaja melumat anaknya sendiri. Aku akan keluar dari sebuah revolusi yang melanggar kehormatan manusia. (PAUSE DAN MEMANDANG SEMUA) Kalau memang seperti itu revolusi yang terjadi saat ini, aku mengucapkan selamat tinggal. (PAUSE) Jika bukan, aku tak akan mengelakkan kesalahanku. Perintahkan aku Darmo, detik ini juga aku akan lari ke gedung itu dan meledakkannya.
WALI : Putarlah apologimu untuk menyembunyikan kepengecutanmu, Ponco. Bunuh diri, huh!
PONCO : (TAJAM DAN KERAS) Wali, tak merasakah kau bahwa aku terlampau banyak menahan diri. Termasuk menahan keinginanku untuk tidak menghantam mulutmu yang kotor itu?!

PONCO MENYORONGKAN TUBUHNYA KE ARAH WALI. WALI MUNDUR DAN BERSIAP. DI TANGANNYA SUDAH TERGENGGAM BELATI YANG DILETAKKANNYA TADI DI ATAS MEJA.

DARMO : (MELONCAT) Cukup Ponco, Wali, semua cukup!! Kalian hampir saja merusak berbulan-bulan keringat, waktu, dan darah yang telah kita buang untuk perjuangan ini. Kalian hampir membuat percuma penderitaan Iwan, Bonar, Gadio yang kini dipenjara. Kalian hampir membuat kosong nilai Joko yang telah membuang nyawanya di depan peluru marchaussee. Bodoh! (MEMANDANG SEMUA) Aku tak perlu lagi menegaskan dasar-dasar perjuangan kita. (KEPADA WALI) Dan kau, tak ada satu pun yang sepakat padamu di sini. Bagaimana mungkin kau tak menerima itu. Hanya karena jasa-jasamu yang besarlah aku harus mempertahankan kehadiranmu di sini. (MENUNGGU REAKSI)
WALI : (MENDENGUS) Kalau begitu keputusanmu, aku terima. Cuma, aku hanya ingin menyatakan, lebih baik segala macam kecengengan dan rasa kasihan dihilangkan dalam organisasi ini. Tegaskan, kita ada di sini untuk membunuh, jadi pembunuh.
PONCO : Lidah busuk! Aku memang akan mati, aku akan membunuh. Tapi untuk menghilangkan sekian banyak pembunuhan. Aku bukan centeng. Tapi aku bisa membunuh orang yang di dalam benaknya hanya ada kata "bunuh bunuh bunuh"!

PONCO MAKIN MENYORONGKAN TUBUHNYA. TUBUHNYA MENEGANG. TANGANNYA MENGGENGGAM BOTOL. WALI BERSIAP. DARMO MENCELAT KE TENGAH MEREKA, MELERAI.

DARMO : Berhenti!! Sebelum kutendang kalian dari ruangan ini! Kalau memang cuma bertempur, ayo layani kebodohanku! Ayo! (MEMANDANG KEDUANYA) Kenapa diam! (TAK ADA YANG BERGERAK) Harus kukatakan, semua ini tak lebih dari salahku. Apapun yang terjadi pada operasi ini, semua tanggungjawabku. Aku peringatkan, agar tak terjadi lagi tuding-tudingan di ruangan ini. Atau kulempar kalian ke keluar!

PAUSE. DARMO MENGELILINGI PANDANGANNYA.

WALI : Lalu apa kita teruskan perjuangan ini? Atau kita kembali jadi petani, atau begundal kolonial?
DARMO : Kita lanjutkan perjuangan ini. Seperti kau tahu, dalam lima hari ini, residen itu akan kembali menonton komidi stambul. Pada saat itu kita bereskan perjuangan awal ini.
WALI : Bagaimana kalau ada anak-anak itu lagi?
DARMO : Kita tunda sampai kesempatan berikut.
WALI : Kalau istri residen itu ikut?
PONCO : Aku dengan gembira akan melempar bom itu!
SUTRIS : Ada orang datang! (SEMUA DIAM. ADA LANGKAH TERGESA MENDEKAT. WALI MEMEGANG BELATINYA MEMBELAKANGI PIN- TU. PONCO MENGAMATI JENDELA. LANGKAH ITU MENGERAS, DIIRINGI TERIAKAN, LALU LEWAT DAN MENGHILANG PERLAHAN)
SUTRIS : Ada orang mencuri tebu. Centeng-centeng juragan dan beberapa orang mengejarnya.

SUTRIS DAN FITRI MENARIK NAFAS. MEREKA BERKUMPUL LAGI. DARMO DUDUK DI ATAS MEJA.

DARMO : Sekarang sudah selesai semua. Fitri, kau persiapkan kembali semuanya. Yang lain tetap pada tugasnya semula. Ada pertanyaan? (MEMANDANG) Kalau begitu, bubar! Ponco, Wali, kalian ikut aku!

BUBAR. DAN GELAP.


0 comments:

Post a Comment