Tuesday, January 20, 2009

Indonesia dan Revolusi Kata

Barangkali manusia ada ketika Adam jatuh dari surga ke sebuah daratan di Asia Tengah. Bisa jadi pula ia bermula dari seekor monyet yang berkembang menjadi pelbagai jenis hominid hingga homo sapiens sapiens alias manusia modern, sebagai perwujudan akhirnya. Semua penjelasan itu masih dapat dianggap kontroversial, ratusan hingga ribuan tahun setelah penjelasan awalnya.
Tapi satu hal yang tak lagi ditolak adalah proposisi yang menyatakan: manusia ditemukan oleh kata, oleh bahasa. Bahkan sebagian pemikiran, purba maupun modern, mengafirmasi bagaimana semesta ini ada –dalam arti bermakna—ketika ada kata-kata yang memberinya sebutan, memberi nama dan makna. Bukan hanya kata “kun” (jadilah) –dan homonimnya di berbagai bahasa—melukiskan bagaimana semesta ini berihwal dari sebuah mantra. Kata pertama dari ayat pertama kitab suci Islam pun menyebutkan “iqra” (bacalah), yang menjadi imperasi manusia untuk memahami bahasa (kalam) yang tersebar di tiap mili semesta ini, sebagai perangkat dasar manusia untuk mengetahui makna, menyadari keberadaannya.
Riwayat orang Jawa mungkin dapat menjadi cermin ontologis banyak sukubangsa. Walau hanya berasal dari penuturan seorang raja di salah satu kraton Solo –cerita yang berselubung mitos yang kental—orang Jawa mengakui bahkan menemukan diri eksistensialnya pada tarikh 78 M. Ketika Ajisaka, seorang Prabu dari India Selatan, ke pulau besar di Selatan ini. Ketika raja muda itu menaklukan raja lokal Dewata Cengkar, menganeksasi wilayahnya, merangkum riwayat itu dalam serangkum alfabet penuh makna: “hana caraka data sawala maga batanga pada jayanya”.
Maka dengan huruf-huruf itulah (penggalan dari setiap suku katanya), orang Jawa kemudian menyusun dirinya: hidup, sejarah, jatidiri, mimpi, hingga pemahaman-pemahaman filsafat dan spiritualnya, penyatuan mikro dan makrokosmosnya. Jawa, hanyalah sebuah allegori dari kekuatan kata/bahasa dalam menemukan manusia, menempatkannya sebagai khalifah bagi semua yang ada di bumi, juga semesta.
Kata atau bahasalah yang melucuti manusia dari kegelapan akal bahkan spiritual, bahkan keterputusan abadi dengan: “kebinatangan” homo sapiens yang hidup 30-35 ribu tahun SM. “Dan manusia”, sebagaimana dikatakan Julia Kristeva, dalam karya awalnya, Le Langage, cet inconnu, (Seuil, 1981), “seperti bahasa, (dan) bahasa di tempat manusia adalah sebuah gerak demistfikasi yang sempurna”. Bahasa, sebuah ruang tertutup dan terbuka sekaligus, dimana manusia henyak dan senyap di dalamnya. Dalam Les Mots (Gallimard, 1964), novel autobiografis tentang masa kanak-kanaknya, Jean-Paul Sartre menulis, “J’ai commencé mau vie vomme je la finirai sans doute: au milieu des livres” (“kumulai hidupku sebagaimana aku akan mengakhirinya dengan sebuah kepastian: di kerumunan buku-buku”). Sartre menemukan sekujur diri, hidup, dan makna yang berputar sekitar dirinya, dari kata-kata (les mots).
Apa jadinya hidup pendek yang sangat panjang ini tanpa kata? Tak ada manusia.

***

Dan apa jadinya kata tanpa pikiran di dalamnya? Tanpa gagasan yang memberinya isi, memberinya hidup, pertumbuhan dan apa yang disebut dengan “kekinian”? Sejak tulisan pertama di temukan di masa Sumeria, 4.000 tahun SM, manusia sadar: kebudayaan yang disusun dan peradaban yang terbentuk adalah hasil sublimasi dari kerja keras akal mereka ke dalam sublimasi medium komunikasi mereka, tanda-tanda simbolik bernama bahasa. Bahasa dan kata adalah tubuh dari pikiran dan gagasan manusia, pengambilalihan arti alam ini ke dalam dirinya.
Dua hal itu bukan saja tak terpisahkan, bahkan kesatuan yang akan membuat satu sisinya terpotong jika kita mengiris bagian lainnya. “Seperti satu lembar kertas,” kata Ferdinand de Saussure dalam kanonnya, Cours de linguistique générale, (1965: 157), “pikiran adalah recto dan suara adalah verso; seseorang tak dapat memotong satu sisinya tanpa memotong sisi lainnya di waktu yang sama; dan di dalam arti yang sama, dalam bahasa, seseorang tak dapat mengisolasi suara dari pikiran maupun pikiran dari suara (kata)”.
Maka, sejarah keberadaan –dengan kata lain penemuan dan berulangkali penemuan-penemuan baru setelahnya—manusia, adalah sebuah perjalanan dari pikiran, dari gagasan. Sebagaimana –juga disebut Yudi Latif—kata aqala (akal/pikiran) disebut hingga 50 kali dalam al-quran, begitupun baik Kristeva yang menyatakan, “pour saisir de langage”, untuk meraih (makna) bahasa, “il nous foudrait suivre le trace de la pensée,” (mau tak mau) kita harus mengikuti jejak pemikiran, Frederic Jameson di belahan dunia lain, menegaskan “sejarah pemikiran ada dalam sejarah modelnya...(dimana) model itu adalah bahasa” (The Prison-House of Language, Princeton, 1972).
Bila kata dan bahasa kemudian menjadi rumah di mana akal/gagasan berdiam dan menjelaskan dirinya, maka di tempat itu pula “the house of being”, rumah kenyataan dan keberadaan manusia. Rumah dimana kekuatan terbaik manusia, kebudayaan dalam makna luasnya, mendapatkan markasnya. Peradaban akhirnya terbentuk sebagai manifestasi material dari adab bahasa.

Apa yang terjadi kemudian adalah lalu lintas, dalam berbagai carrefour (perlintasan), adu kepentingan hingga kemacetan, diskursus bahasa yang ketat, yang memberi manusia sejarah, juga selebrasi atas kejayaan dan kedegilannya. Inilah sebuah sejarah bahasa, sejarah kata-kata, dalam arti politik (kekuasaan) adalah riwayat pertarungan antara diksi. Dalam rumah atau panggung itu, politik memang menjadi bagian yang sangat penting, karena ia juga menggunakan bahasa sebagai arsenal utamanya. Di samping kegiatan artistik (sastra khususnya), politik juga adalah prajurit tangguh bersenjata bahasa.
Di saat politik begitu kuat, menentukan hampir semua arah kehidupan, sesungguhnya pilihan kata dalam bahasa pulalah yang turut menentukan politik itu. Inilah motif yang membuat Cicero, bangsawan kata-kata, pindah dari Roma ke Yunani, mempertajam kemampuan bahasa, menyusun senjata mematikannya, retorika, dan meyakini, “tak ada satu hal pun yang tak dapat diciptakan atau dihancurkan atau diperbaiki dengan kata-kata”.
Dan betapa kita mafhum, bagaimana retorika, sebagaimana dinyatakan Antoine Compagnon, kritikus sastra yang berdiam paralel di Paris dan New York, telah kembali mendapat momentum dan kejayaannya di milenium ketiga ini. Setelah seratus tahun lalu ia dicurigai di Eropa daratan sebagai penyebab stagnasi bahkan kemunduran. Seratus tahun lalu rerotika pernah diturunkan dari panggung-panggung sucinya di jurusan-jurusan sastra dan humaniora lainnya.
Kini, dengan perluasan teknologi canggih informasi, yang memberi peluang kepada manusia –seperti iklan global minuman Amerika: siapa, dimana dan kapan saja—dapat mengaktualisasi diri lewat berbagai medium bahasa (suara, abjad, visual, hologramik, dan sebagainya), retorika dalam arti bahasa yang lebih luas, mengambil posisi yang sangat signifikan bahkan vital untuk sebuah penjelasan eksistensial, bahkan menciptakan kebenaran yang mengiringinya.
Politik bahasa ternyata mendapatkan kelanjutan atau kesinambungan yang penuh tenaga pada masa kini, bukan hanya untuk merebut perhatian publik, bahkan afirmasi publik demi terwujudnya pasar yang diinginkan, wilayah dominasi yang diinginkan, kekuasaan yang diinginkan. Maka sejarah bahasa dalam politik ini, sesungguhnya tetap menyimpan kerentanan paling purbanya sendiri: dunia politik rapuh dan cemas justru pada (kekuatan) bahasa lain. Pada kata atau diksi yang lain. Karena dalam logika politik, paling tradisional hingga paska-modern pun, bahasa dan diksi yang ada di dalamnya adalah penyangga dan benteng bagi pertahanan sebuah kekuasaan (status quo).


Dalam pemahaman terakhir di ataslah mungkin poin utama dimana kumpulan tujuh esai Yudi Latif dalam buku ini, mendapatkan sasaran panahnya. Ia tidak hanya memulai buku ini dengan sebuah aforisma, “setiap gerakan kebangkitan selalu bermula dari kata”, tapi juga menyitir di banyak bagian tulisannya, bagaimana berbagai kitab, teks utama atau babon-babon sastra menunjukan posisi kata atau bahasa sebagai “tuhan”, atau sebaliknya (the Word-God).
Dalam refleksinya tentang kebangkitan masyarakat kepulauan ini menuju sebuah bangsa, Yudi menunjukkan bagaimana bahasa yang tergunakan, pilihan diksional di dalamnya, menentukan tidak hanya cara berpikir, alternatif dalam memandang kenyataan, tapi juga stimulus pergerakan bagi sebuah kemajuan atau pembebasan. Kata kemadjoean atau perubahan kata indische menjadi indonesische hingga indonesia, memainkan atau menciptakan diskursus yang sangat penting dalam cara orang-orang kepulauan ini merumuskan diri, kenyataan sekitar, serta tujuan-tujuan hidupnya.
Karenanya, dengan pilihan kata yang hampir imperatif dan berulang, buku ini menegaskan pilihan terbaik bagi sebuah perubahan atau reformasi apa pun (di tingkat apa pun), tidak dapat terjadi secara substansial dan signifikan tanpa sukses kita menginisiasi sebuah gerakan kebudayaan. “Gerakan kebudayaan merupakan jantung reformasi sosial,” tulisnya seraya meneguhkan kebudayaan di sini dilandasi oleh sebuah arsenal terpenting: bahasa. Sastra dan keberaksaraan dalam arti praktisnya.
Dan betapa pentingnya bahasa/sastra/keberaksaraan sebagai landasan kebudayaan dari sebuah kebangkitan dan perubahan, membuatnya juga memiliki posisi sentral dan fundamental dalam diri manusia sebagai kekuataan terbaik dalam proses kebangkitan itu. Kualitas manusia yang tumbuh sebagai karakter kuat, yang mampu menolak atau meminggirkan dua bahasa mediatik paling dominan, sebagaimana dikutip Yudi dari Rushworth Kidler: politik (who’s the wining, siapa yang menang) atau ekonomi (where’s the bottom line, dimana untungnya), dan menggantinya dengan satu bahasa dominan baru, bahasa kebudayaan, tentang what’s right (dimana kebenarannya).
Pada pertarungan kekuasaan, yang sekali lagi tak lain adalah pertarungan bahasa ini, kata-kata dan diksi menjadi prajurit di garda depannya (avant-garde). Dimana kekuatan dan kekuasaan tradisional, seperti dijelaskan di atas, mendapat ancaman terkerasnya dari munculnya kata, diksi dan bahasa baru di wilayah kekuasaan, di tengah publik yang didominasinya. Kita tahu, di banyak dekade mutakhir, pilihan-pilihan kata yang dipilih penguasa (politik-ekonomi-militer-agama, dsb) –yang juga didistribusi oleh media massa yang berkepentingan sama—menciptakan sebuah pola kesadaran tertentu. Pola dimana kenyataan ternyata sudah dikonstitusi lebih dulu, menjadi sesuatu yang semu, ilusif dan pada akhirnya menciptakan sebuah kesadaran semu dalam bentuk lain.
Diksi-diksi seperti “separatisme”, “teror”, “penyesuaian harga”, “penyalahgunaan wewenang”, “ganti rugi”, “narapidana”, “PSK”, “BLT” hingga pada terma-terma seperti “demokrasi”, “pemilu langsung” atau “keterwakilan”, sebenarnya tidak lain adalah ruang-ruang tertutup dimana kepentingan politik dan status quo bersembunyi di dalamnya. Bila di masa lalu kata kemadjoean dapat memainkan peran penting dalam meneguhkan diri masyarakat sebagai sebuah bangsa, mungkin pada saat ini hanya dengan kata, misalnya, “wakil” atau “perwakilan”, sebuah perubahan radikal bisa dilakukan. Dengan misalnya, mengubah makna kata tersebut, atau menggantinya dengan istilah lain, karena kata tersebut sudah tidak lagi mewakili makna otentiknya, di saat mereka yang disebut “wakil (rakyat)” atau orang dipercaya rakyat, justru mengkhianati mereka yang telah memberinya kepercayaan dan kekuasaan.
Maka siapa pun yang menyatakan dirinya sebagai “wakil” pun pantas ditolak bahkan dikhianati. Apapun yang dilakukan dan diproduksi oleh “wakil” tersebut juga pantas ditolak, diingkari. Maka, dari sebuah diksi pun, perubahan radikal bisa dibayangkan terjadi: masyarakat menolak semua produk yang dihasilkan parlemennya! Satu gerakan bahasa, sebagai inti dari gerakan kebudayaan, landasan dari satu kebangkitan dan perubahan pada akhirnya, akan terjadi: dimulai dari beroperasinya, bergeraknya kaki-kaki dari kata-kata.
Itulah makna yang membuat buku renungan esaik Yudi Latif ini pantas dikunjungi dan juga direnungi lebih dalam. Gerak manusia, gerak sebuah bangsa, tidak lain berhulu pada satu gerak kebudayaan, dimana bahasa sebagai intinya. Revolusi pun terjadi, bermula dari kata-kata yang melawan, karena kaki-kakinya yang perkasa mulai melangkah dengan penuh tenaga.
pamulang, 2008

1 comments:

Arsyad Indradi said...

Ada beberapa penyair mulanya berusaha berpaling terhadap kata,seperti Sutardji, Danarto dan lain-lain. Tapi sejauh itu secara total tak juga pernah bertahan lama. Sebab sesungguhnya " kata "lah yang lebih dapat melahirkan sesuatu yang ada baik dalam perenungan maupun pikiran. Secara pribadi saya tak pernah lepas terhadap " kata " sebab tak ada pilihan lain yang dapat memproyeksikan apa kata hati saya. Salam kreatif.

Post a Comment