Sunday, January 11, 2009

Metamorfosa Kosong 5


( 5 )
DI RUANG PERTAMA. CAHAYA LEBIH TERANG. FITRI DAN DARMO DAN SEGELAS KOPI. ROKOK YANG MENYALA. DUA MINGGU KEMUDIAN.

FITRI : (MONDAR MANDIR) Dingin sekali....
DARMO : Kau kedinginan. Masih terlalu pagi, memang. Mendekatlah sini. Biar kau kena cahaya dan bisa merasa lebih hangat.
FITRI : Ponco juga pasti merasa kedinginan. Biar aku di sini saja. Aku ingin merasakan apa yang Ponco rasakan.
DARMO : Tapi di situ terlampau gelap, Fitri.
FITRI : Sel Ponco pasti lebih gelap lagi.
DARMO : Kau tidak merasa takut di situ?
FITRI : Apa yang dihadapi Ponco tentu lebih mengerikan.
DARMO : Terlampau larut kau dibawa perasaanmu sendiri.
FITRI : Ponco pagi ini akan ditembak mati.
DARMO : Sudahlah, Fitri. Sudah. (BERDIRI DAN BERJALAN KE SUDUT YANG LAIN)
FITRI : Kenapa sudah, Darmo? Apanya yang sudah? Kau pikir kita sudah bisa tenang dengan Ponco dilahap peluru panas di lehernya? Sementara badannya tentu terlalu dingin untuk itu.
DARMO : Aku tidak berkata begitu. Aku cuma memintamu untuk mengerti dan tenang, bahwa ini memang mesti terjadi.
FITRI : Jangan mendakwa aku, Darmo. Aku sangat mengerti. Mengerti sekali bahwa ini memang harus terjadi. Ponco ditembak mati. Keyakinan yang begitu besar, semangat yang begitu tinggi, kejujuran hati. Semua itu harus ditembak mati.
DARMO : Ia mati untuk menghidupkan yang lebih banyak lagi.

FITRI : Ponco adalah patriot besar. Negeri ini tak boleh melupakannya. Juga darah darah lain yang tumpah untuknya. (MENUNDUK) Aku hanya merasa ngeri, banyak orang setelah kita, duduk di atas darah Ponco, mengatasnamakannya untuk mendapatkan posisi dan memperoleh keuntungan-keuntungan politik, ekonomi, atau sosial karenanya.
DARMO : Terkutuklah orang seperti itu.
FITRI : Zaman selalu diisi oleh jenis-jenis manusia seperti itu.
DARMO : Dan kitalah yang menentangnya. Tanpa boleh menyerah.
FITRI : Dengan tubuh dingin dan peluru panas.
DARMO : (MENGHELA NAFAS) Tenangkan jiwa dan pikiranmu, Fitri. Ponco bisa saja bebas. Kalau Gubernur Jenderal mau mema'afkan dia. Dan rekan-rekan kita di Volksraad tentu tak berhenti bersuara dan berusaha untuk membebaskannya. Aku yakin, Thamrin, Yamin dan yang lainnya akan membelanya terus. Dan ...kita tahu, orang seperti Ponco masih kita butuhkan.
FITRI : Tidak. Ia akan mati. (DARMO MENOLEH KE ARAH FITRI) Inilah jalan yang memang sudah diinginkannya. Ponco akan merasa lebih bahagia dengan kematian ini. Aku bisa merasakannya. Dalam hitungan mundur ini, aku rasakan tubuhnya yang dingin sudah jadi kosong. Tanpa lagi diderita rasa dingin atau kekecewaan pada kita yang mungkin tak mampu melanjutkan perjuangannya dengan lebih baik.
DARMO : Kita tidak akan pernah berhenti berjuang, Fitri.

SUTRIS TIBA-TIBA SUDAH MUNCUL DI PINTU.

SUTRIS : Kita tidak akan pernah berhenti berjuang, Fitri.
DARMO : (MENOLEH) Kau kembali, Sutris.
SUTRIS : (MELANGKAH MASUK) Aku akan menggantikan tempatnya, setelah dulu aku gagal menjadi pendampingnya. (DUDUK) Aku tak bisa menahan getar tubuhku, saat di sidang kudengar Ponco berkata lantang, "kematian akan merupakan protesku yang tertinggi terhadap dunia yang penuh darah dan airmata ini."
FITRI : “Dunia yang penuh darah dan airmata”.
SUTRIS : Ponco kemudian berteriak seperti sebuah sangkakala, "Protes yang menyerap segenap kemanusiaan yang kumiliki ini, akan memanggil seluruh jiwa yang jujur untuk membela dan memperjuangkan apa yang sebenarnya menjadi haknya." Pada saat itu aku mengambil keputusan untuk kembali. Aku tak bisa mema'afkan kepengecutanku yang lalu. Aku berlari. Dan membunuh bergundal kolonial yang memperkosa seorang gadis. Kini, bom sudah kutanam di jantung dan benakku. Aku siap melemparkannya, kapan pun. Aku siap menerima tugasmu, Darmo. Apa pun.
DARMO : Aku bahagia dan bangga, Sutris. Kuterima baik kau kembali.
FITRI : Ponco pasti merasa senang. Dari semula tak pernah luntur kepercayaannya padamu, Sutris. Tubuhnya tentu akan sedikit lebih hangat jika ia bisa mendengar kata-katamu ini.
SUTRIS : Mestinya aku bisa menyelusup ke tempat hukuman tembak dilangsungkan. Tapi aku bertemu Wali di sana. Ia minta aku ke sini. Dan aku kembali.
FITRI : Waktunya sudah dekat. Mestinya kini ia tengah digiring dengan mata tertutup ke lapangan hukuman. Dan bibirnya pasti takkan pernah berhenti menyenandungkan, "Indonesia merdeka...!"
WALI : (MEMBUKA PINTU DAN MASUK) Dia memang rekan dan pahlawan yang dapat dibanggakan. Kita keliru kalau selama ini sering menyangsikannya. Aku merasa bersalah karena itu.
FITRI : Kau dari sana, Wali?
WALI : Aku menyaksikan semuanya.
FITRI : Adakah ia gemetar?
WALI : Ia tegar dan menolak matanya ditutup.
FITRI : (PADA DIRI SENDIRI) Tubuhnya mesti kedinginn. (PADA WALI LAGI) Adakah yang dikatakannya.
WALI : Ia mendengar apa yang dikatakan oleh seorang ahli agama di depannya. Tapi kemudian ia bicara dengan lantang, "Aku tidak menolak adanya Tuhan. Tapi kematian seperti ini sudah kupilih. Aku tidak membutuhkan petuah-petuah cengeng. Aku tidak butuh Tuhan. Apalagi jika ia diucapkan hanya sebagai hiburan".
FITRI : Dan peluru ditembakkan.
WALI : Dan peluru diletuskan.
FITRI : Dan tak ada keluhan sedikit pun keluar dari bibirnya.
WALI : Tak ada keluhan keluar dari hatinya.
FITRI : Tubuhnya layu dengan darah di sekujur tubuhnya.
WALI : Cukup, Fitri! Buat apa kau menyayat-nyayat dirimu sendiri dengan cara seperti itu.
FITRI : Dengar, Wali. Kau harus menceritakan lebih rinci, dan lebih rinci lagi. Bagaimana semua itu berlangsung dan terjadi. Karena aku mau kepahitan itu berarti. Karena Ponco tidak boleh mati sia-sia.
DARMO : Diam!!
FITRI : (LEBIH KERAS LAGI) Tidak!! Kau harus bicara. Kita harus bicara. Ceritakan padaku sekarang, Wali, bahwa Ponco melangkah dengan kaki menapak lantai yang ia jejak. Bahwa Ponco menegaskan perjuangannya sampai detik terakhir ia bisa merasakan dingin tanah negeri yang dicintainya ini. Sampai detik terakhir keindahan dunia bisa ia hisap!

WALI DIAM SAJA.

FITRI : Kau harus mengatakannya, Wali. Kau harus katakan!
DARMO : (MENGHELA NAFAS) Katakan, Wali!
WALI : Ia masih bicara satu kalimat di akhir kesempatannya.
FITRI : Terus, katakanlah Wali.
WALI : Ia berkata lurus, seolah pada moncong senapan yang diacungkan padanya, "Tak ada lagi yang kukenang sekarang. Urusanku dengan hidup sudah selesai. Dan aku sudah menyiapkan tempat untuk kematian".
FITRI : Ia telah dapatkan kedamaian. Terus, Wali.
WALI : Sampai kapan kita lanjutkan perkosaan bathin ini, Fitri.
FITRI : Aku punya hak untuk mendengarnya. Aku berhak. Mungkin bagimu hal itu jadi sebuah perkosaan. Karena kau cemburu padanya. Kau tak dapat berbuat seperti dia. Apalagi memperoleh apa yang telah dia peroleh. Kau takkan mendapat kemurnian, kejujuran, dan penyatuan diri sebagaimana Ponco telah dapatkan. Kau tak bisa berdamai dengan apa saja. Sebagaimana Ponco telah berdamai dengan hidup ini. Bahkan dengan semua derita yang ia peroleh, semua airmata yang mengalir di kakinya. Kau takkan memperolehnya. (MENGHADAP SEMUA) Juga kita.

SEMUA DIAM

FITRI : Kosong. Ia sampai pada kekosongan dimana segala unsur hidup bersatu. (MENUNDUK) Bertahun-tahun aku mencitakan hal itu. (PADA DARMO) Bertahun aku tak berbuat salah pada perjuangan ini. Bukan begitu, Darmo?
DARMO : Kau adalah wakil yang sempurna dari perjuangan kita, Fitri.
FITRI : Aku belum pernah meminta pertolongan padamu, bukan?
DARMO : Belum.
FITRI : Dan kau akan menolongku sekarang, Darmo.
DARMO : Ya.
FITRI : Berikan aku bom. Biar aku yang akan merakitnya sendiri. Tapi atas izinmu, Darmo, aku akan melemparkannya.
DARMO : Itu tidak mungkin, Fitri.
FITRI : Mengapa tidak? Mengapa Darmo?
DARMO : Peraturan organisasi kita melarang wanita melakukan itu.
FITRI : Aku tahu itu. Aku tahu, sejak tadi aku sudah melupakannya. Aku harus melempar bom, dan aku berhak. Dan kau akan mengizinkannya, kasihku.

DARMO GELISAH.

FITRI : Aku tahu kau akan mengizinkan, Darmo. Karena kau tidak akan terlampau memikirkan kepentinganmu sendiri. Ketiadaanku akan justru menolongmu nantinya, sebagai pimpinan, sebagai pejuang. Sebagai orang yang mencintai...
DARMO : Fitri!
FITRI : Kau memberiku ijin? Aku tak salah dengar?

DARMO SANGAT GELISAH.

SUTRIS : Berikan ijin itu, Darmo.
WALI : Ia kini punya hak untuk itu.

DARMO MEMANDANG SEMUANYA DENGAN GELISAH. TERKAHIR PADA FITRI YANG MATANYA LURUS TAJAM MENATAP MATANYA.

DARMO : Aku tak mengerti, apakah aku telah mengambil keputusan yang tepat atau tidak. Tapi...memang, tak ada yang bisa menghalangi kau untuk melakukannya, Fitri.
FITRI : Bagus!

FITRI KE SUDUT. DUDUK MEMBERESKAN PERKAKAS. SUARA SIRENE MERAUNG TIBA-TIBA. SEMUA GELISAH. SALING BERTANYA DALAM HATI. SIRENE DAN SUARA RIBUT MENGURUNG. PESAWAT SEPERTI MENDERU DI ATAS KEGELISAHAN MEMUNCAK..DAN...SUARA BOM BESAR MENGGELEGAR. SEMUA HANCUR. FITRI MASIH MEMBERESKAN PERKAKAS.

LALU GELAP.

Jakarta, 03 Oktober 1990/Teater Kosong

0 comments:

Post a Comment