Wednesday, January 7, 2009

Batu Menangis Dan Sore Yang Ganjil

Cerpen Radhar Panca Dahana

BARANGKALI seperti kata orang, kami kembar identik. Tapi, sejak puting susu pertama disodorkan ke mulut kami yang berteriak, satu relasi penting –bahkan eternal—segera kami sadari: persaingan. Kalau Nano dapat berbuat apa saja, aku pun dapat berbuat serupa, bahkan merusaknya dengan hasil yang sama sempurna. Jika dia dapat buang air kecil dan besar sambil berdiri, kenapa aku tak juga melakukan hal yang sama?

Berdua, kami kepala batu. Lebih karang dari Pratapa, lelaki yang mengaku ayah kami, yang 15 tahun lebih mendidik kami seperti mengajar batu. Baginya, tak ada pembagian yang bernama jenis kelamin, terutama dalam pekerjaan. Nano mengangkat batu, aku mengangkat batu. Nano mengukir batu, aku mengukir batu. Pratapa adalah pengrajin batu, seperti ia merajini kepalanya sendiri.
Kami tidak pernah menangis. Bagaimana batu bisa menangis? “Tangis itu musuh batu. Karena air itu waktu. Karena airlah batu terkikis dan habis.” Sekali itu saja, Pratapa memberi ajaran dengan kata-kata, yang kemudian menjadi moral-tunggal bagi kami berdua. Dan dengan itu Nano berkembang menjadi lelaki perkasa, dengan tubuh liat, dengan otot hidup yang menggelinjang di balik kulitnya.
Aku tidak seperkasa itu, kuakui. Tapi aku mengatasinya dengan kelincahan luar biasa. Karena itu kami mampu mengangkut batu sama banyaknya. Karena itu kami berdua berlari sama cepatnya, dengan celana pendek maupun rok panjang yang diberikan Pratapa pada kami. “Nana, kamu perkasa sekali.” Sekali pernah kudengar komentar Nano tanpa tendensi. Sebentar aku merasa jijik, sebentar kemudian aku mulai menghargainya.
Penghargaan itu, entah kenapa, menebal setelah kami melewati usia empatbelas. Tak ada penanda umur di keluarga gunung ini. Waktu adalah musuh abadi keluarga kami. Aku mengetahuinya dari seorang tetangga, yang melihat perbedaan perkembangan tubuhku, dibanding Nano. Pinggulku membesar dan dadaku membukit, kecil padat.
“Sudah perawan. Berapa umurmu, Na?” kata Pradata, tetangga spesialis pemecah batu.
Lelaki itu juga yang memberitahu panjang usiaku saat itu.
Aku tidak tersinggung. Aku mengamati diri sendiri. Aku mendapati bercak merah di celana pendekku satu kali. Aku memperhatikan Nano. Kurasa ia tidak mengalami hal serupa. Ia pasti juga tidak memiliki perasaan serupa denganku, saat aku mengamatinya. Dan jijik, aku dengan perasaan itu. Semula menghargai, kemudian mengagumi, akhirnya ingin memiliki. Apa pun yang ada dan dapat dilakukan Nano. Ototnya, jakunnya, pundaknya, perut bertelurnya, panjang penisnya, kakinya, suara beratnya, semua...!
Dan perasaan menjijikan itu menjadi siksaan. Terutama setelah setahun kemudian kami dipisahkan, oleh longsor dan banjir bandang yang menyerbu semua desa seputar gunung ini. Pratapa ditemukan mati. Murdipa, perempuan yang kukenal sebagai ibu, meringkuk di sebelahnya. Mati juga. Nano entah dimana. Berbelas tahun setelah itu, tak ada yang berhasil menjumpainya.
Aku tidak pernah ikut mencari. Aku memikirkannya selalu. “Kamu rindu,” kata Praswara, keluarga entah dari jalur mana, yang kemudian memeliharaku. Mungkin. Aku rindu, tanpa mengerti makna itu. Aku memikirkannya. Terutama hal-hal yang membuatku tersiksa: Nano dengan segala yang dimilikinya. Siksaan yang bertambah berat setelah kejadian aku menemukan Pradata, tiba-tiba ada dan mendengkur di sebelahku saat aku bangun tidur di bengkel batu.
Tubuh dan bajuku semrawut rasanya. Kudapatkan bercak darah di celana sebelum waktunya. Sekonyong aku merasa sangat jijik pada manusia yang terlentang di sebelah, dengan bulu dadanya yang kumal dan terasa gatal. Aku merasa takut. Jijik, benci, kotor, kumal, jeri, pusing, dan semua perasan negatif menyerbu. Pandangku nanap. Aku begitu saja mengambil batu yang berserak dan memukul kepala lelaki tidur itu. Lalu pergi dengan sedikit rasa lega.
Setelah itu aku adalah diam yang lebih diam dari diamku selama ini. Hanya Nano dalam pikiranku. Pikiran yang membuatku merasa muak melihat manusia-manusia lain. Dari berbagai jenis. Dan pikiran itu, sekali lagi, menyiksa. Siksaan yang sedikit lerai ketika kupukulkan kepalaku ke batu, atau minum air sebanyaknya sehingga aku tak bisa tidur, sulit bernafas dan merasa melayang. Atau menggoreskan alat ukir ke dagingku sendiri. Kebiasaan yang kini bergeser ke beberapa binatang kecil: kodok, kadal, ikan, dan terakhir tikus.
Aku mengukir batu di daging tikus. Darahnya yang menetes, setelah tikus itu kulepas, seperti penunjuk jalanku menuju Nano. Betapapun aku tak tahu dimana itu. Beberapa kali kesal, akhirnya tikus yang terseok itu kulempar batu. Cukup kuat, tentu. Bagaimana kemudian tikus itu, tentu siapa pun tahu.
Aku terus memburu tikus. Mencipta jalan darah, menuju Nano.

Batu Ketapel Rasol

Pertemuanku dengan Rasol terjadi secara tidak sengaja. Pulang sekolah, sepuluh tahun lalu, seperti biasa aku menyusuri jalan raya sendiri. Dekat pintu kereta, aku melihat sebutir uang logam seribuan di badan jalan, mengerdip ditimpa matahari. Reflek aku mendekat dan coba mengambilnya. Belum tersentuh logam itu, sekonyong tenaga yang sangat kuat menyentak tas punggung, dan mendorongku hingga terjerembab ke pinggir jalan.
Aku terkejut dan tentu harus marah besar. Tapi di detik itu pula kusadari, sebuah motor melaju hanya beberapa senti dariku. Umpatan kasar pengendaranya terdengar menjauh. Aku memandang dengan mata nyalang ke atas: seorang bocah –betapapun kupikir dia dua-tiga tahun lebih tua dariku—berdiri lurus di sisi pinggangku. Bibirnya mencemooh, lalu pergi begitu saja. Tangannya mengayun kecil, sebutir logam ribuan jatuh tak jauh dari hidungku.
Aku tidak tahu harus mengucapkan apa. Beberapa lama terdiam, akhirnya dengan logam seribuan tergenggam aku berusaha mengejar “bocah” itu. Tak berhasil. Lima hari kemudian hasil itu kudapat. Bukan mengejar, namun menemukannya di pinggir kali dekat kampung tempat tinggalku. “Rasol,” ia menyebut diri setelah pada akhirnya kami berkenalan.
Aku tidak bertanya apa yang ia lakukan di pinggir kali. Aku melihatnya. Ia membawa sebuah botol, dengan isi alkohol kurasa. Ia, yang ternyata 2-3 tahun lebih muda dariku, begitu fasih dengan botol itu. Sekali aku menanyakan jenis isi botol itu. Ia tak menjawab tapi menyodorkannya. Seolah menguji pengetahuanku tentang jenis minuman. Biar tahu kebodohanku, kuterima botol itu dan coba menciumnya. Huh. Tajam dan menusuk!

“Minuman apa ini?” teriakku.

“Solar,” jawabnya datar.

"Kau minum solar?" bocah itu menggeleng. Aku hanya mencium baunya, katanya.
"Kalau diminum, sudah mati dari dulu aku," ketusnya lagi.
Aku tak bertanya lebih berikut. Hanya kutahu, nama Rasol berasal dari julukan teman-temannya karena kegemaran itu. Kutahu, beberapa tahun kemudian, ia berganti-ganti isi botol yang diciumnya. Dari solar, minyak tanah, spiritus, dan akhirnya bensin.
Tak tahu aku darimana ia berasal. Siapa keluarga, atau orangtuanya. Ketika kutanya, ia menjawab seraya tertawa, menyodorkan botol bensin dan bersuara –kering seakan derit roda kereta api, “ Ini ibuku!” Begitupun saat kutanya ayahnya, wajahnya menggeram dan tangannya mengeluarkan sebuah paku besar bergagang kayu, yang telah pipih dan menjadi tajam karena dilindas roda kereta. “Ini bapakku!”

Hingga umur 22, aku berkawan dengannya. Menyaksikan ia ngamen di perempatan jalan, menggoda pengemis perempuan setengah baya –bahkan mungkin memperkosanya—menjambret tas karyawati yang pulang selepas maghrib, atau...onani di kolong jembatan seraya memperhatikan perempuan-perempuan yang lalu di atasnya. Saat usia 14, ia mengajakku merampok anak sekolah menengah agama dekat stasiun kereta. Anak sekolah itu melawan. Rasol menghajarnya habis, mematahkan tulang hasta anak sekolah itu, merebut dompet yang ketat digenggamnya.

Sebenarnya aku takut. Tapi Rasol seperti menghisap. Ia tak mengganggu apalagi memeras atau merampokku. Ia tahu ayahku orang sederhana. Pegawai jawatan kereta api rendahan. Bahkan ia sering memberiku makanan, kadang uang. Dan aku tidak menolaknya.
Aku pun tidak menolak belajar menggunakan ketapel darinya. Dengan batu-batu yang menghampar di sekujur rel kereta, aku berusaha membidik sehebat Rasol. Burung, adalah sasaran utama Rasol. “Aku benci burung. Seenaknya ia terbang kemana saja, hinggap dimana saja. Emang dunia milik dia?!” Lalu ia melentingkan karet ketapel, membidik, dan satu burung akan jatuh. Ia tidak peduli jatuh dimana. Ia yakin, burung itu pasti mati.
Sampai satu ketika, ia meleset. Batu kecil yang ia ketapel tidak mengena sasaran, tapi membentur tiang listrik dimana burung itu bertengger. Kerasnya lontaran, membuat batu itu deras memantul, menimpa daging lembut di kening Rutri, adikku. Dua hari Rutri di rumah sakit dan pulang dengan delapan jahitan. Rasol hilang. Aku tak berhasil mencarinya. Berhari berminggu.
Sampai kutemukan tempat ia biasa menginap. Hal paling rahasia darinya. Sebuah ruang kecil di antara kayu-kayu peti di pojok pasar dekat stasiun. Beberapa benda mengonggok begitu saja: radio kecil, beberapa pisau paku belum bergagang, celana dalam perempuan, foto-foto porno, makanan kering, botol-botol berbau bensin, dan sebuah gambar potongan koran. Kukenali sebagai gambar seorang jenderal besar di masa revolusi dulu. Kenapa? Entah.
Dan, sebuah ketapel baru. Licin, bagus bentuknya. Seperti sengaja diletakkan untuk kutemukan. Aku merasa ketapel itu titipan, atau hadiah Rasol untukku. Kuterima dengan hikmat. Kugunakan dengan baik, dengan teknik yang kudapat dari Rasol. Sasaranku adalah apa pun yang terasa paling tinggi untukku. Pucuk daun, atap rumah, layangan, tiang listrik, atau pesawat terbang.
Jauhnya lontaran batu ketapel, menurutku adalah jarak dan arahku menemukan Rasol.

Kolonel Jon Dukusemak

Panggil saja aku, lelaki 40 tahunan ini, “Jon”, dari Sir Marjon Dukusemak. Anakku dua, istriku –Drita—sarjana magister untuk manajemen. Kami keluarga bahagia, tepatnya: menjanjikan. Rumahku cukup bagus, tidak mewah. Sebuah jip sederhana, berusia hampir setengah umurku, mengantar kami sekeluarga menjalankan wajib hidup tiap harinya. Penghasilan istriku delapan juta sebulan, kotor. Aku sekitar tiga jutaan, bersih. Kami pekerja keras. Untukku, sangat keras.
Baru sepuluh bulan lalu, sebagai prajurit aku masuk jajaran perwira tinggi: kolonel, karena prestasiku memimpin misi pasukan perdamaian internasional di sebuah negara konflik di tengah Afrika. Baru sejak enam bulan lalu, aku tergolek di rumah sakit ini, dua kali lima jam tiap minggunya. Perawatan permanen yang harus kujalani seumur hidup. Satu bentuk pengobatan yang membuatku lumpuh sepanjang setengah dari waktu hidup yang tersisa untukku.
Kecelakaan berat terjadi saat aku memimpin satu latihan tempur. Tiga belas tulang rusukku patah, setengah badan tak dapat bergerak selama dua minggu, delapan belas jahitan di ubun-ubun, kedua ginjal bocor, dan infus darah dua kali seminggu selama dua bulan. Tiga minggu dirawat rumah sakit, aku keluar dengan satu pekerjaan tambahan: hemodialisis.
Dunia memang tidak selesai. Tapi waktu berhenti. Rutin pengobatan itu memang tidak membunuhku, malah membuat hidupku bertahan (satu hal yang kemudian kusesali). Tapi dunia sekeliling kini hanyalah tempat pemakaman untukku. Aku menjauh dari istri dan Drita seperti mengubur jutaan keluhan di palung mata dan gurat bibirnya. Tugasku pindah dari lapangan ke sebuah meja di markas besar, dan aku tak bisa lagi memegang pistol tanpa gemetar, bahkan hanya untuk mengangkat anak bungsuku.
Dunia memang tidak selesai. Namun pertunjukan usai. Lampu-lampu menjadi gulita, panggung lengang, cerita hampa. Aku aktor yang bermain tanpa peran. Aku aktor yang cuma terdiam, saat lawan mainku di sebelah, berteriak-teriak minta mati. Lalu ia mati, ketika jarum suntik masih menghujam dan berbagai selang mengurung tubuhnya. Temanku bicara, Pak Lakatepa, terjatuh di kamar mandi suatu pagi, saat ia menyanyikan lagu “Darah Muda”, dan ditemukan tewas hanya tiga menit setelahnya.
Banyak cara menyelesaikan dunia, bagi sejawatku di ruang dialisis. Pedagang India itu menghabisi nyawanya dengan mengunyah satu porsi daging kambing di depan istrinya yang sangat cantik. Seorang pejabat pemerintah, yang baru saja kawin keempat kalinya, menyusuri pantai dekat rumah peristirahatannya sambil membawa sesisir pisang ambon. Buah paling berbahaya. Sore hari, ia ditemukan kaku disiram air pasang. Pisang sesisir belum habis dinikmatinya.
Dan aku tahu, sebagai aktor aku harus menyelesaikan drama menggelikan ini. Aku tidak akan bermanis-manis. Tidak membalas dendam semua larangan yang ada padaku. Tidak mau mautku datang seperti pencuri tengah hari. Tidak. Aku harus mati dengan keras. Laiknya seorang prajurit. Aku harus turun panggung dengan tegas, mendebat sutradara mengapa peranku jadi kosong belakangan ini.
Aku lalu berjalan. Berjalan. Berjalan.

Perempuan yang Tersenyum

KU bisa saja menjadi pelacur. Dan bukan karena Tuhan tidak mengizinkan atau aku tidak menginginkan. Tapi tak ada yang mau membayarku, atau menawariku tidur dengan imbalan berapa saja. Tubuhku langsing padat, kulitku kuning langsat, bola mataku hitam padam, tak berkerut di mata maupun dahi, kecuali sedikit lesung di pipi. Bibirku bergaris kuat, dan senyum tak pernah pergi darinya.
Senyum bukan tradisi di wajahku, bukan bawaan hatiku. Senyum adalah terapi terbaik untuk pikiran dan perasaanku. Sejak Darius, suami yang memberiku tiga putra, kena PHK dari perusahaan sepatu asing, senyum menjadi obat bagi semua hal yang menghimpit, memuakkan, dan kerap memintaku membunuh diri atau membunuh siapa, apa pun.
Ketiga anak kami hanya berselang rata-rata enam belas bulan. Yang terbesar baru lima tahun. Dan Darius adalah suami sejati. Pergi pagi pulang petang hari. Tanpa buah tangan sama sekali, tapi meminta nasi dan lauk harus siap tersaji. Meminta televisi dan wayang kulit radio tetap menyala. Meminta kupijat tiap malamnya. Meminta servis lebih setiap menjelang paginya. Meminta sebagian modal dagang kainku menjelang berangkatnya.
Darius menjalankan tugas lelakinya dengan setia. Soal hasil nomor dua, atau dua ribu tiga, tak berubah makna. Aku upayakan semua. Menyusui, memasak, memandikan, bersih rumah, cari uang, belanja, menghadapi rentenir, menyambut tamu er te, bersihkan halaman dan kebun singkong, mencuci mobil pik-ap yang berganti pakai dengan Darius.
Hari-hari ini, tak ada harga yang tak naik. Cuma pembeli kain dan harapan yang turun drastis. Biaya te ka si sulung pun naik. Air ledeng naik. Gas naik. Listrik naik. Telepon naik (sudah kuputus dua minggu lalu). Bahkan Darius naik makin tinggi tiap menjelang pagi. Seluruh yang ada dalam tubuh dan pikiranku turun. Kecuali tekanan darah, dan gejolak –entah apa—yang belakangan kuyakin meninggi cepat.
Seminggu lalu, Darius meminta seluruh modalku, untuk modal bisnis barunya. Ia pertaruhkan seluruh yang ia miliki (entah apa), kalau perlu perkawinan ini (entah kenapa) untuk membuatku percaya. Aku tak percaya. Tapi kuberikan modal itu padanya. Dan ia memenuhi kebutuhan harian kami. Selama seminggu. Setelah itu ia tak pulang. Aku tahu, ia kalah judi –bisnis baru yang disebutnya itu.
Kini tinggal pik-ap berharga tak seberapa. Selebihnya, rentenir, pak er te, te ka si sulung, utang kain, belanja, susu, harga meninggi, dan bibirku yang tersenyum. Bukan lagi obat, ia adalah senjata. Karena semua kini kuhadapi dengan senyum. Kata-kata sudah cukup lama aku tak punya. Terserah bagaimana orang menanggapinya. Aku tersenyum. Aku tersenyum menyusui anakku dengan tetek yang kering. Aku tersenyum saat utang belanjaan. Tersenyum saat pak er te menjawil pantatku. Tersenyum saat kuputar kepala ayam tetangga untuk makan tengah malam anakku.< Menjelang maghrib ini, aku pun tersenyum. Dadaku penuh dan kosong. Baru saja kuikat mulut, kaki, dan tangan ketiga anakku. Kubawa dengan pik-ap, dan kubuang mereka di sungai yang diderasi hujan gunung. Aku tersenyum saat banyak orang memaki karena pik-apku melewati begitu saja lampu merah. Aku pun tersenyum, ketika... Dan Suatu Ketika...

EMPAT kudengar lelaki separuh baya, berwajah lebih tua, pucat, kurus tapi gagah itu mengumpat, ketika ia menginjak tubuhku dan tergelincir karenanya. Seharusnya ia bersyukur, karena dengan tergelincir, lelaki berseragam militer lengkap itu, selamat. Sebuah pik-ap yang melaju kencang dari arah Selatan tidak jadi membenturnya.
Pik-ap itu seperti melintir, justru bergerak ke samping dan mengarah seorang lelaki tegap yang baru saja mulai menyeberang jalan. Benturan akhirnya terjadi keras. Lelaki tegap itu terlontar cukup jauh. Kuyakini tubuh, terutama dada dan kepalanya, hancur. Orang-orang segera berkerumun. Coba menyelamatkan. Tapi desahan nafas banyak orang memberitahuku, upaya mereka sia-sia. Kecuali satu keluhan, begitu dalam melebihi tangisan. Suaranya lirih terdengar dari seorang wanita yang bersimpuh di sisi mayat hancur, “Nano...Nano...mengapa begini...mengapa begini?” Suara wanita itu kemudian tenggelam dalam keributan.
Beberapa detik aku sempat menengok pik-ap terguling. Satu wajah muncul di balik kaca yang pecah. Wanita cantik, kering, bermata dalam, kerut tajam di pipi, dan bibir tersenyum abadi. Aku bergidik. Hingga tak sadar ketika sebuah kaki yang keras menyepakku. Kaki lelaki militer itu. Umpatannya keras dan tinggi ke arahku.
Aku terlontar keras sekali. Jatuh di aspal, menggelinding dan terjun ke sebuah selokan. Kejatuhan keras kedua. Yang pertama beberapa menit lalu, aku dilentingkan dari ketapel seorang pemuda, ke arah burung merpati di sebuah menara. Tubuhku menghujam keras, menembus daging burung itu, mengoyak dadanya dan terus mendesing, jatuh berdebam di aspal, bersamaan dengan bangkai burung itu.
Di aspal itu, sepatu kulit lelaki militer menginjak dan memelintirku. Dan seterusnya. Kini tubuhku basah dalam selokan. Bukan lagi basah darah burung merpati. Darah itu sudah terkikis habis oleh air. Entah air selokan. Entah airmataku. Aku termangu. Banjir air di tubuhku. Pertanda buruk bagi batu. Dan air itu, terus menyeretku.

1 comments:

MOONY said...

Mas Radhar, kok versi yang ini agak beda ya dengan yang dulu pernah saya baca (lupa dimana, tp judulnya sama). Saya suka sekali cerpen-cerpen Mas, apa pernah dibukukan?
"Batu adalah oposisi Waktu". Seperti judul antologi2nya Mas Radhar ya? :)

Post a Comment