Sunday, January 11, 2009

Metamorfosa Kosong 3

(3)

ooo

LIMA HARI KEMUDIAN. DI TEMPAT YANG SAMA. MEJA BERSIH. LAMPU LEBIH REDUP. SEMUA HADIR, KECUALI SUTRIS.

WALI : Kemana Sutris? Mestinya ia sudah ada di sini.
FITRI : Ia tampak begitu letih beberapa hari ini.
DARMO : Ia butuh tidur, dan mungkin sedikit hiburan.
WALI : Biar saya cari dia di luar.
DARMO : Tak perlu, terlalu banyak risiko.

KETUKAN DI PINTU. SEMUA MEMANDANG PINTU. DARMO MENGANGGUK DAN WALI DENGAN TANGAN TETAP DI TANGKAI BELATI, MEMBUKA PINTU.

DARMO : Itu pasti Sutris.

SUTRIS MASUK. WAJAHNYA LETIH SEKALI. TAPI IA TAMPAK BERUSAHA TERLIHAT GEMBIRA.

SUTRIS : Halo bung sekalian! Cerah bukan hari ini? (MENGEMBANGKAN KEDUA TANGANNYA)
DARMO : Ya, langit tak berawan. Bagaimana kau sendiri?
SUTRIS : Aku merasa senang hari ini (SUARANYA BERGETAR).
WALI : Kau tidak sehat. Wajahmu pucat. Kulitmu hampir seperti mayat, Sutris.
SUTRIS : Kenapa? Ada apa? Aku biasa-biasa saja. Ya, mungkin aku kurang tidur. Tapi kenapa dengan orang yang kurang tidur? Kalian semua tahu, semangat kita tak pernah sama sekali lelap, bukan?
DARMO : Seharusnya kau perbanyak jam tidurmu.
SUTRIS : Sudah kuusahakan. Tapi tak begitu berhasil. Mungkin udara buruk, atau banyak nyamuk.
DARMO : Tanganmu gemetar.
WALI : Dan kutahu, orang seperti kau tak pernah mendapat halangan hanya karena udara busuk atau tidak tidur di atas kasur yang tak empuk.
SUTRIS : (TERTAWA IRONIS) Nampaknya kalian semua memperhatikan aku. Jelasnya, mengkhawatirkan kekuatanku. (TERTAWA LAGI. SINIS) Itu tak perlu. Jika memang harus begitu, mestinya lima hari yang lalu. Andai kata kita jadi lemparkan bom itu.
PONCO : Ma'afkan aku, bung. Itu semua salahku. Salahku juga yang membuat kesehatanmu berkurang. Membuat banyak orang mungkin menjadi bimbang.
SUTRIS : Oh tidak, tidak Ponco. Sama sekali aku tidak menyalahkanmu. Bahkan mungkin kau telah menyelamatkanku.
FITRI : Rasanya tidak perlu diperpanjang lagi. Andong Residen itu akan lewat dua jam lagi. Ada baiknya kita segera berkemas.
SUTRIS : Tapi sebelum itu, boleh aku bicara denganmu, Darmo?
DARMO : Empat mata?
SUTRIS : Empat mata.

DARMO MENGEDARKAN ISYARAT. LALU SATU-PERSATU, WALI, PONCO, DAN FITRI MENGUNDURKAN DIRI.

DARMO : Mungkin ada yang ingin kau bikin terang, Tris?
SUTRIS : Begitulah, Darmo. (MENUNDUK) Namun, aku agak sungkan mengatakannya...
DARMO : Kau menolak melemparkan bom itu, bukan?
SUTRIS : Aku mesti mengakuimu sebagai pemimpinku, Darmo. Kau dapat membaca pikiran dan hatiku. Walau dengan segenap rasa malu di perasaanku.
DARMO : Apa yang terjadi padamu, saudaraku?
SUTRIS : Tiba-tiba tak hanya tanganku, tapi juga seluruh hati, seluruh pori dan pikiranku bergetar. Aku tak mampu melanjutkan perjuangan ini. Kembalikan saja aku ke seksi sekretariat atau propaganda.
DARMO : Baru dua hari yang lalu, kulihat matamu masih berbinar dibakar semangat. Apakah ada orang lain yang telah mengacau semangatmu?
SUTRIS : Tak ada, Darmo. Semua berlangsung begitu cepat. Empat malam ini aku diganggu mimpi buruk. Karena itu aku tak pernah menikmati malam istirahatku dengan baik. Keyakinanku goyah. Aku merasa revolusi seperti ini bukan bagianku lagi. Atau katakanlah, aku kurang revolusioner. Namun bagiku, persoalannya tak cukup selesai sampai disitu.
DARMO : Pikiranmu agak terganggu. Kau betul-betul butuh istirahat. Dan aku mengijinkan kau pergi, dua tiga minggu ke Bogor, atau bahkan Sumatera.
SUTRIS : Tidak, Darmo. Sekali aku tidak mau melempar bom itu, aku akan tidak melemparkan benda yang sama selamanya.
DARMO : Jangan terlampau kau besarkan persoalan.
SUTRIS : Persoalannya tidak sesederhana yang kau bayangkan, Darmo. Bagimu mungkin lebih ringan, mengatur, merencanakan dan memberi perintah. Tanpa harus melewati malam dan kegelapan di lorong-lorong air. Menghindari ketajaman pedang atau panasnya peluru serdadu Belanda. Atau anak dan wanita yang bergegas mencari satu dua sen atau satu dua buah ubi. Lelaki yang berkeluh kesah di seputar kota, cuma menanti tatapan penuh harap anak dan istrinya di rumah. Kau jauh dari kenyataan itu, Darmo. Kau ada di luarnya. Kau tak berada dalam situasi dimana kau menggenggam sebuah bom di hatimu, yang siap kau lemparkan saat andong yang berisi anak kecil itu lewat di depanmu. Kau tak di sana, Darmo. Tapi aku? Aku mengalaminya.
DARMO : (TERDIAM SEAAT) Bisa jadi kau benar. Tapi, aku pikul semua tanggungjawab itu.
SUTRIS : Dengan dada terbusung, kau bisa katakan itu, Darmo. Ma'af sama sekali aku tak mampu melakukan hal yang serupa. Itu bukan bagianku. Aku harus berada di tempat dimana -mungkin- ketakutanku bisa berdiri. Dimana mungkin juga aku bisa punya harga diri. Pada saat itu, seorang penakut kukira- akan bisa berguna bagi revolusi.
DARMO : Bagi pejuang, dimana pun tempat sama saja. Juga risikonya. Paling sedikit penjara atau dihukum tembak.
SUTRIS : Kau dapat mengatakan itu sebagai imajinasi. Tapi tidak untuk orang yang merasakan panasnya peluru berdesing di sisi hidungnya. Aku tak bisa berada di situ. Juga tak bisa berada di tempatmu, yang harus menggenggam hidup orang lain, untuk kau terjunkan dalam salah satu jalan maut yang mengerikan. Dan aku harus menerima diriku seperti itu. Seperti apa adanya.
DARMO : Lalu apa yang hendak kau lakukan sekarang?
SUTRIS : Saya akan pergi, sekarang juga. Saya tak ada muka lagi berhadapan dengan teman-teman. Hanya tolong sampaikan pada Ponco, ia tak punya salah. Dan katakan pada semua, saya mencintai kalian.
DARMO : Saya akan sampaikan. (BERDIRI)
SUTRIS : (MEMELUK DARMO). Selamat tinggal, bung. Semoga revolusi ini berhasil. Yakinilah aku, bahwa aku akan melanjutkan perjuangan ini dengan caraku sendiri.
DARMO : (MELEPAS PELUKAN) Pergilah dengan damai, saudaraku. Jangan biarkan hatimu tambah kecut dengan perpisahan ini.
SUTRIS : Merdeka!
DARMO : Merdeka!

SUTRIS KELUAR, TERGESA, LEWAT PINTU YANG LAIN. SEBENTAR IA MENENGOK DARMO. DARMO MEMANDANGNYA. LALU DENGAN PASTI, SUTRIS MENGHILANG.

DARMO MENGHELA NAFAS, MELIHAT ARLOJI, DAN BERJALAN KE PINTU. MEMBUKA PINTU SAMBIL MEMBERI KODE DENGAN TANGANNYA.

SATU-PERSATU KETIGA LAINNYA MASUK. PANDANGANNYA BERTANYA KE ARAH DARMO.

WALI : Mana Sutris?
DARMO : Ia pergi.
FITRI : Ia tak melemparkan bom itu?
DARMO : Ia ingin istirahat. Tiba-tiba sakit jantungnya kumat.
PONCO : (SEPERTI PADA DIRI SENDIRI) Aku sudah menduganya.
DARMO : O ya, ia menyampaikan pesan padamu Ponco. Katanya, kau tak bersalah. Dan ia juga minta untuk menyampaikan rasa cintanya pada kalian.
FITRI : Kasihan, Sutris.
WALI : Apakah kau akan menunda lagi rencana ini.
DARMO : Tidak.
PONCO : Kalau begitu siapa akan melemparkan bom kedua?
WALI : Aku yang akan melemparkannya.
DARMO : Tidak. (PAUSE) Kuputuskan sudah saat ini. Sutris keluar dari operasi ini. Dan saya akan gantikan tugasnya.
FITRI : Tapi kau mestinya berada di sini, untuk memproklamirkan pernyataan kita.
DARMO : Wali menggantikan tugasku.
WALI : Aku keberatan. Aku merasa tidak punya kapasitas membawa tanggungjawabmu. Dan lagi bukan bakatku.
DARMO : (KERAS) Ini perintah! (MEMANDANG YANG LAIN) Seorang pemimpin memang tak harus selalu menjadikan meja kursinya sebagai tempat berlindung. Begitu kecilnya meja, tapi betapa jauhnya jarak itu memisahkan seorang pemimpin dengan kenyataan yang diperjuangkannya. Dan kutegaskan keputusan ini; Wali, kau berada di sini. Yang lain tetap pada posnya. (MELIHAT ARLOJI) Tak berapa lama lagi, andong Residen itu akan lewat. Kita harus bergegas. Wali, kau ikut aku sebentar!

WALI DAN DARMO KELUAR.

FITRI DAN PONCO TERTINGGAL, DALAM SENYAP.

FITRI : (MENDEKATI PONCO) Kau nampak makin tidak gembira, Ponco.
PONCO : Hatiku diliputi rasa bersalah...terutama pada Sutris.
FITRI : Sutris hanya sedikit stress. Ia akan segera kembali.
PONCO : Aku tak yakin itu. Aku kenal wataknya. Kalau aku berada dalam dalam posisinya, mungkin kuambil sikap yang sama.
FITRI : Ia pasti merasa bahagia sekarang.
PONCO : Aku pun bahagia.
FITRI : Tidak untuk dua hari terakhir ini, sebenarnya.
PONCO : Aku bahagia. (PAUSE) Aku bahagia bahwa aku telah menetapkan sikap baru untuk membunuh Residen itu. Kalau dulu kukira membunuh itu sederhana saja, cuma membutuhkan patriotisme dan sejumput idealisme. Tapi nyatanya, itu tak memadai. Dan aku dilanda kesangsian. Aku tahu, kalau aku membunuh dengan rasa benci, ternyata rasa benci tidak akan membawa kebahagiaan. (PAUSE) Anehnya, kini aku merasa bahagia lantaran sudah kuputuskan untuk membunuh Residen itu atas dasar kebencian...Barangkali...aku terlampau sensitif. Atau ...dipermainkan pikiranku sendiri.
FITRI : Karena kau menganggap ada satu hal lagi di atas kebencian.
PONCO : Ya, ia yang bernama cinta.
FITRI : Kau hendak membunuh dengan dasar cinta?

PONCO HANYA MENJAWAB DENGAN PANDANGANNYA.

FITRI : (TERTAWA KECIL) Itulah soalnya. Kau mencari apa yang tidak terdapat dalam perjuangan ini.
PONCO : (TERTEGUN) Aku hampir tak mempercayai kupingku sendiri. Kau Fitri, yang telah begitu banyak memberi pelajaran untukku, berkata seperti itu.
FITRI : (TERSENYUM) Cinta yang ada dalam sebuah perjuangan adalah cinta yang telah membuat leher kita tegak. Sedang cinta yang dibutuhkan banyak orang adalah cinta yang tunduk kepalanya. (MENGELUH) Andaikata saja, kita punya sedikit waktu untuk memahami atau merasakannya. (BERPALING DAN MEMBUANG NAFAS)
PONCO : Aku melihat kebijaksanaan bersinar di balik itu.
FITRI : Sebenarnya lebih menjadi pertanyaan, Ponco. (MENATAP PONCO) Adakah kita memiliki waktu itu? Bagaimana sebenarnya rasa cintamu?

PONCO TERGAGAP. FITRI MENUNGGU.

FITRI : Kau tegakkan kepalamu.
PONCO : Aku belum menjawabnya, Fitri. Aku melihat semangat revolusi menggigit nuranimu.
FITRI : (MENUNDUK) Revolusi memang tak boleh meninggalkan duka, kecuali bagi dirinya sendiri. Tapi, betapa kian cepatnya waktu terasa sekarang. Dan kita seperti akan segera kehilangan kesempatan. Sayangnya, kau tak bisa membuat dirimu lebih berarti untuk saya.
PONCO : Aku tidak boleh terlalu sentimentil saat ini. Aku akan membunuh orang sebentar lagi.

FITRI MENGELUH. TERJATUH DALAM DUDUK. PONCO HENDAK MENDEKATINYA. SAAT ITU WALI MASUK. BEBERAPA KEMUDIAN DARMO.

DARMO : Segalanya sudah siap.
WALI : Beberapa waktu lagi.
DARMO : Kita berangkat, Ponco.

PONCO MEMANDANG FITRI SESAAT.

PONCO : (KEPADA FITRI) Kita akan bertemu lagi.
FITRI : Kata-katamu benar. Tapi itu terasa lebih mengerikan dari lima hari yang lalu.

PONCO HANYA MENDENGUS DAN MEMBALIKKAN BADAN.

WALI : (MENDEKATI PONCO) Kau akan berhasil, bung. Percayalah aku bersamamu.
PONCO : Aku percaya. (PAUSE) Merdeka!!
DARMO : Merdeka!!
WALI + FITRI : Merdeka!!

PONCO DAN DARMO KELUAR. PAUSE. WALI MENGAWASI PONCO DAN DARMO LEWAT JENDELA. BEBERAPA LAMA.

WALI : Tak lama lagi. Aku percaya, kali ini Ponco akan berhasil. Aku percaya. (ANTUSIAS MENGAMATI LEWAT JENDELA. BERULANGKALI MENENGOK ARLOJINYA. BERBALIK, MEMANDANG FITRI) Kenapa kau diam saja. Ada yang kau pikirkan? (FITRI MASIH DIAM) Aha..aku tahu, Ponco bukan?

FITRI MEMANDANG TAJAM KE ARAH WALI. LALU MENGALIHKAN LAGI PANDANGNYA KE ARAH LAIN.

WALI : Aku tahu. Aku tahu. Kau cinta padanya.
FITRI : Kenapa kau bicara seperti itu? Apa aku terasa mengacuhkanmu.
WALI : Kurasa wajar, orang-orang seperti kalian membutuhkan cinta yang romantis seperti itu.
FITRI : Cinta membutuhkan waktu, Wali. Sedang untuk revolusi saja kita kekurangan.
WALI :Kau benar. Sedang untuk revolusi saja kita kekurangan waktu. (PAUSE) Karena revolusi juga, sudah jauh hari kubunuh cinta. Apapun bentuknya. Aku harus memusuhinya, bahkan memusuhi manusia, hanya agar revolusi ini tidak sia-sia.
FITRI : Padahal manusia juga yang kau perjuangkan.
WALI : Ya, manusia. Manusia dalam arti seluruhnya. Sedang kita, kau, aku, Ponco, atau Darmo, apa? Cuma noktah di tengah kata besar manusia. Ia akan segera lenyap, cuma sebutir debu di padang pasir. Tapi revolusi tidak. Ia akan terus ada. Bahkan tanpa aku, tanpa kau, Ponco, Darmo, Amir, Hatta, Syahrir, atau Soekarno.
FITRI : Dalam hatimu cuma ada kebencian. Dan itu kau artikan sebagai revolusi.
WALI : Bisa jadi. (MEMANDANG TAJAM FITRI) Bisa jadi, hal itu juga yang ada dalam hatimu, terutama padaku. Aku tahu...aku tahu..kau sama sekali tak senang pada manusia yang sekarang berada di depanmu. Tapi suatu kali nanti kau mesti bertanya, apa benar sikapmu terhadapku. (MELEMPAR PANDANG) Aku terlanjur...aku sudah terlanjur. Aku mau cepat revolusi terjadi. Biar bangunan bobrok yang ada sekarang ini hancur jadi pasir. Hingga kesempatan masih tertinggal untukku Untuk...(MENGALIHKAN) Ah, mereka sudah tiba di posnya masing-masing.
FITRI : Kau belum selesaikan kalimat terakhirmu sendiri.
WALI : (MEMANDANG KEMBALI FITRI) Ya. Untuk kita, barangkali Fitri.
FITRI : (DINGIN) Seharusnya kuterima gembira kata-kata itu.
WALI : Sudah kuduga itu. Sudah kuduga kata-katamu. Aku memang tak pantas mengeluarkan pernyataan seperti tadi. Habis, apa aku? Apa seorang Wali ini? (TERTAWA MELEDAK) Bekas tahanan. Pembenci manusia. Dengan luka menganga di semangatnya. Dengan balur-balur cambuk di seluruh tubuhnya. Apa ini Wali? Uuuggghhh...(MENGHEMPAS TUBUH. MEROBEK BAJUNYA SENDIRI. BALUR-BALUR CAMBUK MASIH MERAH DI SEKUJUR KULITNYA). Ini wali. Ini Wali. Ini aku. (ANTARA TERTAWA, MARAH, DENDAM, MENANGIS) Bekas tahanan. Pembenci manusia. Dengan dendam, dengan luka hati yang tak tersembuhkan. (SEPERTI TERSIHIR FITRI MENDEKATINYA) Buat apa aku diperdulikan? Bukan bagianmu, wanita. Bukan. (FITRI MENGGENGGAM TANGAN WALI) Kau sentuh kulit sampah, wanita. Kulit yang seharusnya terbakar bersama mesiu di tubuh Residen itu. Aku bilang, aku menolakmu Fitri. Aku menolak, karena kau seorang wanita! (FITRI MENCIUMI TUBUH WALI. WALI HAMPIR TAK DAPAT BERGERAK. TUBUHNYA KAKU. LALU TERHENYAK. WALI TERSEDU. FITRI TERTUNDUK DI SISINYA)


SUARA DETAK JAM, SATU SATU.

WALI : (TERSADAR) Waktunya tiba. Waktunya tiba. (MELOMPAT KE JENDELA DAN MELIHAT ARLOJI) Beberapa detik lagi. (DETAK JAM. SEPERTI TAK SABAR) Beberapa detik lagi.

FITRI TERLALU GELISAH. IA KE MEJA. SEBELUM SAMPAI, LEDAKAN BESAR TERDENGAR.

WALI : Ponco telah melakukannya. Darmo tidak.

FITRI TERTUNDUK. TERSEDU.

GELAP.

0 comments:

Post a Comment