Sunday, January 11, 2009

Metamorfosa Kosong 4


( 4 )
SEBUAH PENJARA. LELAKI SETENGAH TUA DAN GEMPAL MENGEPEL LANTAI. HENING. HANYA KERESEK SANDAL LELAKI TUA DAN KAIN PEL YANG BERADU DENGAN LANTAI. DI SATU SUDUT, DI BALIK TERALI, PONCO DUDUK.

PONCO : (MENGHAMPIRI LELAKI) Kau tentu orangh hukuman juga.
LELAKI : Siapa di sini yang tak mengalami hukuman.
PONCO : Apa perkaramu?
LELAKI : Biasanya lelaki yang ada di sini. (PAUSE) Kubunuh tiga orang dalam satu gerakan.
PONCO : Kau rampok mereka?
LELAKI : Begitulah. Tapi...ah sudahlah. Di sini tahanan dilarang bicara sebenarnya.
PONCO : Kau sebenarnya tidak merampok.
LELAKI : (MEMANDANG PONCO. LALU CELINGUKAN) Anakku belum makan dua hari. Kalau aku dan istriku tak persoalan. Tapi uang panenku, seluruhnya untuk bayar lintah darat. Itu soalnya. Kuminta sebagian, tak boleh. Ya, aku kesel, kuambil semuanya.
PONCO : Dia melawan.
LELAKI : (TERKEKEH) He..he.. Ronggo kok dilawan. Entek kabeh.

LELAKI TERTAWA. JUGA PONCO. SUARA PENJAGA TERDENGAR DI BALIK PINTU MEMBENTAK. KEDUANYA MENUTUP MULUT.

LELAKI : (CELINGUKAN) Kalau kau? Berapa?
PONCO : Satu orang.
LELAKI : Umurmu?
PONCO : Sekarang jalan dua empat.
LELAKI : Belum kawin?
PONCO : Belum.
LELAKI : Selamat.
PONCO : Aku takkan beruban di sini?
LELAKI : Aku saja belum. (TERKEKEH) Kau pasti akan merasakan enaknya kawin. Pasti. Mudah-mudahan pada saat itu aku bisa datang. (TERKEKEH. TIBA-TIBA) Siapa yang kau bunuh, anak muda?
PONCO : Residen.
LELAKI : (TERLONCAT) Diamput! Diamput!
PONCO : Kenapa, pak?
LELAKI : (MATANYA NYALANG) Diamput. (GELENG-GELENG) Berat, berat.
PONCO : Aku sudah tahu. Itu yang aku pengen.
LELAKI : Bajingan! Tapi aku ndak rela..ndak rela.
PONCO : Kenapa?
LELAKI : Kau orang organisasi?
PONCO : Ya. Kenapa?
LELAKI : (MENDEKATKAN WAJAHNYA) Aku algojonya di sini.
PONCO : (TERTAWA) Selamat...selamat!
LELAKI : (BINGUNG) Kurang ajar. Kok malah ngakak. Kok ndak tahu kau bikin repot saja.
PONCO : Kenapa?
LELAKI : Kalau aku memenggal satu kepala atau menembak mati, satu tahun hukumanku berkurang. Tapi tiga tahun bertambah kalau aku menolak tugas itu.
PONCO : (TERTAWA)
LELAKI : Dan aku sudah mau bebas!
PONCO : (TERTAWA)
LELAKI : Padahal aku nggak mau membunuhmu, goblok!
PONCO : (TERTAWA LEBIH KERAS)

SEORANG PERWIRA DAN DUA PENJAGA TIBA-TIBA SUDAH MASUK. BERSAMA SEORANG WANITA.

PERWIRA : Diam!

PONCO MASIH TERKIKIH. LELAKI SURUT, MEMBUNGKUKKAN BADAN, MENENGOK SEBENTAR PONCO. DAN PERGI.

PERWIRA : Apa yang dibicarakan?
PONCO : Bapak itu cerita, dia terkencing di celana waktu pertama kali melihat Anda. (TERTAWA)
PERWIRA : (MARAH) Diam!!

PERWIRA INGIN MEMUKUL PONCO DENGAN POPOR SENJATANYA. TAPI DICEGAH WANITA. LALU IA MENGUSIR LELAKI, MENGHAMPIRI PONCO DAN MEMBUKA PINTU SEL.

PERWIRA : (MEMPERSILAKAN WANITA MASUK KE DALAM SEL) Nyai ingin bicara padamu. Dia tak bermaksud jelek. Kuminta, kau juga bersikap sama. Bahkan bisa bekerjasama. (MENETI REAKSI PONCO) Silakan, Nyai.

PERWIRA KELUAR. MENGUNCI SEL DAN PERGI. DIIKUTI PENJAGA.

NYAI : Selamat siang, anak muda.
PONCO : Aku belum kenal Anda. Aku tak terbiasa meladeni orang tanpa tahu lebih dahulu siapa dia.
NYAI `: Aku Tuminah. Orang biasa panggil aku Nyai Tumi. Aku istri Residen yang kau bunuh.
PONCO : (TERKEJUT) Oohh...
NYAI : Aku ingin bicara padamu.
PONCO : (MENGENDALIKAN DIRI) Kalau aku bersedia atau menyediakan waktu untuk itu. Tapi rasanya aku ragu.
NYAI : Aku tak perduli itu. Aku mau bicara. Itu saja. Apa terlalu sulit kau menerimanya.
PONCO : Tak ada waktu untuk kompromi.
NYAI : Untuk orang yang telah kehilangan sebagian hidupnya karena kau. Untuk anak-anak yang jadi yatim karenamu?
PONCO : Tak ada sempat untuk menghasut.
NYAI : Kau berhadapan dengan wanita yang tiga puluh tahun capek menderita. Dan baru sebentar saja menerima ketenangan. Bersama lelaki yang seluruh hidupnya ia baktikan untuk mengabdi pada pendidikan orang kecil. Kau berhadapan dengan orang yang hendak mewakili anak-anak yang kini ragu akan masa depannya. Dan itu kau bilang menghasut?
PONCO : Pengkhianat punya seratus bibir, dan ribuan lidah untuk membasahinya.
NYAI : Bagaimana kau bisa bilang begitu pada seorang wanita yang berhari-hari tak mampu menahan dirinya untuk tidak merasa kehilangan? Pada seseorang yang tiba-tiba kehilangan seluruh temannya. Dan ia butuh bicara. Hanya untuk mencari teman. Bukan musuh, bukan. (PAUSE) Barangkali aku tidak dendam padamu. Orang yang sudah menghancurkan harapan yang baru saja muncul. Habis, habis sudah dayaku untuk membenci. Untuk dendam. Aku hanya ingin bicara.
PONCO : Sedari tadi kau sudah bicara.
NYAI : Ya, tapi bukan pada telinga. Aku ingin telinga. Hal yang di zaman ini tak lagi bisa kudapatkan. (MENGHAMPIRI PONCO) Katakanlah, anak muda, bahwa kau mendengar apa yang kukatakan!
PONCO : Aku mendengar. Karena aku bertelinga. Tapi buat apa?
NYAI : Buat apa? Buat kau gunakan, tentunya. Untuk menjawab pertanyaanku. Meredakan kegelisahanku. Memberiku sedikit saja perhatian.
PONCO : Aku menolak. Semua itu percuma. Untukku, juga bagimu.
NYAI : Barangkali wajahku sudah tak berujud manusia. Ya, bisa jadi. Beberapa hari ini kurasakan sudah hal itu. Tepatnya, ada sesuatu yang hilang dari diriku. Diriku sendiri...Lalu buat apa memberi perhatian pada orang yang telah kehilangan dirinya sendiri?
PONCO : Kau hadir di sini. Dan ada.
NYAI : Seorang nyai, bekas seorang istri residen. Itulah kenyataan yang hadir di depanmu. Dan ia tak memiliki apa-apa. Sebenarnya hal itu sangat kau mengerti. Apa yang dimiliki seorang nyai jika ia sudah menjadi janda? Kosong. Bahkan kehinaan. Mungkin anak-anakku sendiri takkan mengakui aku lagi sebagai ibunya. Hanya lantaran kulitku lebih gelap dari mereka. Nyai sepertiku sebenarnya tak lebih dari selembar foto. Mungkin menarik jika ia dihias pigura dan menempel pada satu dinding. Ia akan jatuh dan pecah jika dinding itu hilang. Tinggal foto yang ada. Tinggal foto, yang kau lihat sekarang. Ia bukan lagi manusia.
PONCO : Segala kehormatan telah dilucuti dari tubuhmu.
NYAI : Kau mengetahui itu, anak muda. Tapi lebih dari itu, ada hutang darah di antara kita. Aku tidak mau menagihnya. Cuma mengharap simpati dari seseorang yang tiba-tiba aku merasa dekat. Yang ternyata simpati itu tak bisa kudapat.
PONCO : Perhatianku kini terpusat antara mencari dan kehilangan diriku sendiri.
NYAI : Kita senasib. Itu aku tahu. Bukankah hal itu yang membuat kita kini ada di sini.
PONCO : Tapi aku tak membutuhkanmu. Aku mau sendiri. Aku mau kau pergi!
NYAI : Kenapa? Aku tidak tahu, sekonyong aku merasa kehadiran suamiku di ruangan ini. Adakah kau kau masih menyimpan sedikit darah suamiku. Mungkin di lengan bajumu, atau di ujung cahaya matamu.
PONCO : Aku tahu, besok aku akan menjalani hukuman tembak mati. Saat yang memang kutunggu sebenarnya. Karena dengan itu lengkap sudah, apa yang bisa kuberikan pada revolusi ini. Aku merasa bahagia. Perjalanan waktu menuju hukuman itu terasa abadi untukku. Aku seperti melihat jelas diriku sendiri. Aku ada. Karena ada sesuatu yang besar meluap dari ruang di ubun-ubunku, ruang di bathin, dan ruang yang diisi seluruh tubuhku. Tapi untuk itu aku harus sendiri. Aku tidak membutuhkan siapa pun. Tidak juga kau. Barangkali tidak juga teman-teman seperjuanganku. Aku memang mencintai mereka. Seluruh semangatku seakan masih bergentayangan di antara kawan-kawanku, di dalam rumah kecil di mana kami memulai perjuangan. Dan kehadiranmu di sini membuat aku merasa berkhianat pada mereka.
NYAI : Aku melihat sesuatu yang hidup. Meletup-letup. Aku melihat darah suamiku di situ. Aku seperti dibangkitkan. Suara itu, suaramu itu, anak muda. Mirip sekali suara suamiku jika ia sedang marah, melihat petani yang terlalu miskin dan tak berpendidikan.
PONCO : Tak ada kata-kata lagi yang dapat kudengar. Aku merasa hilang. Aku lenyap. Tapi ada. Aku ditelan oleh ruang ini, oleh penantian abadi ini. Atau akulah yang menelan semuanya.
NYAI : Suara itu, ya suara itu, milik suamiku. Juga matamu, gerak kecil tanganmu. Tarikan bibirmu. Tubuhmu. Rambutmu, lubang hidungmu...(MENDEKAT) Aku melihat suamiku hidup kembali.
PONCO : Seluruh inderaku mati. Mendengar dan merasa aku tak bisa. Tubuhku membesar. Ooh...membesar. Ruangan ini menjadi sempit. Kulit-kulitku menyentuh semua ruangan ini. Aku harus berkata, ruang ini sudah jadi tenggorokan nafasku. Dan kau perempuan, seperti duri ikan yang menyangkut di dalamnya.
NYAI : (TERSENYUM) Darahku bergolak. Semangatku menggelegak. Jangan-jangan aku sudah tak ada lagi di dunia. Ini seperti surga. Atau neraka? Persetan! (MEMBELAI PONCO) Aku tak mau kembali. Aku tak mau pergi dari sini. Di luar sana terlalu banyak masalah. Biarlah aku di sini, walau aku harus jadi masalah, jadi duri di tenggorokanmu. Biarkan aku hadir bersamamu, suamiku. Biarkan aku ada.
PONCO : (MEMEJAMKAN MATA) Tubuhku kian besar saja. Aku tak mampu menahannya. Ia mengambil ruang di luar penjara ini. Membesar terus. Mengisi segala ruang. Membuat padat udara seluruh negeri. Aku melihat diriku menjadi negeri. Kebebasan...Adakah itu kemerdekaan bangsaku? Adakah kulihat kebebasan bagi Indonesia? Oh... (DIBELAI-BELAI NYAI) Rasanya sesak dan lapang. Rasanya aku penuh dan kosong. Penuh dan kosong...kosong.
NYAI : Suamiku...suamiku... (MEMBELAI-BELAI, MERANGKUL, MENELUSURI SELURUH TUBUH PONCO)

LAMAT-LAMAT.

LALU PUDAR.

DAN GELAP.

0 comments:

Post a Comment