Wednesday, January 7, 2009

Luna, Toilet dan Dagu Pendek

cerpen Radhar Panca Dahana
SUDAH hampir seminggu ini penampilan perawan hampir tiga puluhan itu berubah. Dan hampir selama seminggu itu, ia mendapat pengalaman yang berbeda dari biasanya. Entah mengejutkan, mengesankan atau menggelikan, ia masih belum bisa merumuskan. Yang jelas, kini ia harus berhadapan dengan tatapan mata penuh variasi dari semua rekan-rekannya, di tempat kerja, di kafe tempat biasa ‘nongkrong’, di fitness center, atau di lingkungan perumahan tempatnya selama ini mengontrak rumah.

Pasalnya, bisa dibilang sederhana bisa pula tidak. Sejak seminggu lalu, Luna, perawan itu, telah melakukan operasi kecil di sebuah klinik yang cukup mahal, untuk memperbaiki bentuk dagunya. Dagu yang selama bertahun-tahun sebelumnya menjadi pusat keresahannya sebagai wanita. Sebagai keturunan asli manusia Pacitan, Jawa Timur, tempat dimana nenek moyangnya berasal, Luna mewarisi tubuh yang kecil, ramping, namun kuat dan sintal. Wajahnya oval dengan mata kecil, alis cukup tebal, hidung tidak pendek tapi sedikit melebar cupingnya, bibir penuh dan hangat serta (ini masalahnya) dagu yang sempit, pendek.

Untuk seorang karyawati perusahaan swasta yang cukup maju, berkantor di pusat ibukota, dan pergaulan boleh dibilang high-middle class, penampilan Luna memang terasa kurang memadai. Orang bilang ia cantik, tepatnya cukup cantik, dengan aroma tradisionalnya yang khas. Kening sempit, rambut ikal hitam, alis tebal dan mata bening adalah modal utamanya. Bibirnya yang penuh pun beberapa kali mendapat reaksi yang merangsang dari beberapa teman lawan jenisnya.

Namun satu hal itu: dagu. Memang tidak ada yang mempersoalkan. Namun dari sekian banyak komentar teman kencan lelakinya, tak satu pun yang menyinggung bagian yang satu itu. Luna mengartikannya sebagai ketidakpuasan atau ketidaksempurnaan: dagunya terlalu pendek. Ia sering merasakan beberapa tangan lelaki mengusap atau bibirnya mengecup bagian mata, kening, hidung atau bibir. Tapi dagu? Memandangnya pun mereka terasa sungkan. Sementara ia merasakan bagian itu adalah salah satu sudut terpenting di tubuhnya. Kerinduan yang menguat akan perhatian lelaki pada dagunya, membuat bagian itu makin terasa khusus, bahkan baginya adalah bagian yang paling merangsang dari keseluruhan wajahnya.

Luna tidak tahu harus menyesali apa dan siapa. Kenyataan itu sering ia baca di depan cermin toilet rumah kontrakannya –atau kadang di kantornya-- tempat ia biasa berhias atau sekadar menilai penampilan terakhirnya. Di hadapan cermin toilet itu, kerap ia duduk termangu, melulu merenungi dagu. Berbagai peralatan kosmetik yang bertebar di depan cermin tak dapat bicara apa. Semua bisa bermakna untuk memperbaiki kelemahan-kelemahan semua bagian wajahnya. Kecuali dagu.

Seringkali ia mengusap-usap dan sesekali coba menarik dagunya, seraya membayangkan jika daging kecil yang menjuntai itu sedikit lebih panjang. Ia pasti akan mengubah segalanya. Bukan saja ia tampak lebih manis, wajah ovalnya sedikit memanjang, tapi juga bisa dipastikan aroma tradisional di wajahnya akan sedikit lebih “modern”. Tepatnya lebih mendekati tekstur wajah artis-artis (Hollywood, terutama). Luna dapat memeriksanya pada beberapa teman, yang ia rasa, menjadi pusat perhatian karena kecantikan wajahnya dilengkapi oleh dagu yang lebih menjuntai.
Satu hal lebih penting dari pengamatan itu, tak peduli dagu rekan-rekannya itu asli atau buatan (karena operasi plastik), penampilan mereka tampak lebih kuat dan lebih percaya diri. Pikiran itulah yang kemudian ikut menggantung seperti dagunya, di depan cermin toilet. “Haruskah kuubah bentuk daguku?” Dengan operasi plastik? Luna kembali mengusap-usap dagunya. Menarik-nariknya, kini sedikit lebih kencang. Tak ada perubahan, tentu saja.

Ia mengambil shadow dan mencoba membuat garis tebal dengan warna tipis-gelap yang sesuai dengan wajahnya di tarikan ujung bibir ke bawah ke dua sisi dagunya. Ia kaburkan dengan beberapa usapan kuas. Ia berharap dengan itu lebar dagunya mengecil sehingga terkesan ia sedikit lebih lancip. Tidak berhasil. Garis suram di ujung bibir itu malah membuat wajahnya tampak murung.

Luna mengeluh sedikit. Mengambil spon dan menghapus kebasan warna tipis itu. Dan dagu pendek itu kembali muncul. Ia mengusap dan menarik-tariknya lagi. Tak ada perubahan. Ia memandang cukup lama wajahnya, dan kembali berkali-kali ke arah dagunya. Dihempaskan nafasnya agak keras bersama keluhan tak bersuara. Dan lihat! Wajah di cermin itu, tampak begitu berduka. Sedikit kosong pandangnya. Beberapa detik terasa hampa. Luna bangkit, ia harus segera pergi tidur. Kerja seharian membuatnya lelah.

Tak ia sadari, begitu tubuhnya berlalu dan lenyap di balik pintu toilet, cermin itu bergeming dari keadaan semula: tubuh, wajah, dan dagu pendek itu masih tetap duduk dalam kebeningan cermin itu. Wajahnya tetap berduka. Kini ia tiba-tiba sedikit menunduk dan menggeleng-geleng. Dan ketika ia menengadahkan kembali wajahnya, astaga, ia menangis! Satu dua butir airmatanya jatuh, sebagian menimpa kosmetika yang bertebar di hadapan cermin.

Dan Luna tidak akan pernah tahu, mengapa dirinya menangis dalam cermin. Ia sudah tertidur pulas.


TELAH beberapa kali lagi Luna berkencan dengan teman-teman lelakinya. Tak ada yang ia harap kecuali: perhatian. Perhatian pada dagunya yang baru. Dari lima orang yang pernah membawanya ke bioskop, karaoke, bahkan liburan ke satu hotel di Puncak, hanya Droge (entah dari mana nama itu), temannya di komunitas kafe, yang sempat menyentuh dagunya dengan usapan.

Luna sungguh tergetar. Betapapun sentuhan itu bukanlah sebuah tindakan romantis, untuk mengagumi, mencium atau merangsangnya. Tapi sekadar untuk bertanya, “Berapa biaya untuk mengubah dagumu ini?” Tentu saja Luna tidak menjawab. Ia coba melempar dan mengalihkan pertanyaan itu dengan tawa yang ia usahakan semanis dan semerangsang mungkin. Droge bergeming. Ia tetap mengusapnya dua-tiga kali, tetap dengan pertanyaan yang sama.

Akhirnya Luna menyerah. Ia telengkan wajahnya, membuatnya sedikit miring sehingga terlepas dari jari-jari Droge, dan memajukan sedikit hingga mendekati wajah lelaki pertengahan tiga puluhan dengan anak dua itu. Sebelum Droge menyadarinya, Luna sudah menyambar bibir pria pegawai bagian sales sebuah bank nasional itu. Droge tak mampu, sebenarnya tak mau, mengelak lagi. Mereka berpagutan. Bukan cuma bibir, dagu mereka pun bergesekan. Ada sensasi tersendiri yang Luna rasakan.

Tapi sungguh, setelah beberapa hari momen romantisnya dengan Droge itu, Luna belum mengerti jelas, sensasi apa sebenarnya yang ia rasakan. Pergesekan dagu itu memang sedikit membuatnya tambah bergairah. Namun ia tidak merasakannya sebagai sensasi biologis yang kuat, sebagaimana jika bagian tubuh lainnya ter atau disentuh. Mungkin karena tak banyak urat-urat syaraf atau bagian-bagian sensitif lainnya terlibat. Kalau mau jujur, sesungguhnya ia merasa agak kebal.

Dari situ, ia kembali merasa ragu. Bukan melulu lantaran harapan dagunya menjadi sumber rangsangan utama tidak tercapai, tapi juga berminggu setelah usapan Droge itu, tidak ada lelaki lain lagi yang memberi perhatian khusus pada dagu barunya. Mereka tetap mengambil fokus pada bagian lain wajahnya, juga tetap pada bagian dada dan pinggulnya yang pepat dan ranum atau pinggangnya yang ciut.
Sebagian bahkan, ia merasa, coba dengan sengaja tidak atau mengalihkan perhatiannya pada dagu itu. Seperti ada perasaan menyesal, menyayangkan, atau malah....mencibir?

Hal terakhir itu lebih ia rasakan justru dari para teman-teman ceweknya. Hampir semua melontarkan “kekaguman” pada dagu barunya. Tapi ia mengerti benar mulut perempuan, tak lebih dari iklan atau promo produk: tempat paling indah menyembunyikan keburukan yang sebenarnya ada. Karenanya ia tidak perduli. Ia dengan segera menanggapinya sebagai kecemburuan, persaingan, atau mungkin ketidakmampuan. Di hadapan “penggemar-penggemar” ceweknya, ia berhasil tampil lebih percaya diri.
Ia tak peduli apakah alasannya tepat atau tidak. Dalam dunia ini, bukan pujian sesama jenis yang ia butuhkan, tapi lawannya. Ia butuh. Ia sudah mau tigapuluh.
Luna hampir saja menghantam cermin di toilet pribadi di hadapannya. Kenapa kini ia justru merasa lebih ragu, ketika ia sudah menetapkan mengubah keindahan dagunya. Dipandangnya dengan tak tetap wajah lesu di cermin itu. Dagu itu, indah baginya. Ia raba pelan. Kenyal dan kuat. Memanjang sedikit dan agak maju ke depan, lengkap dengan tekukan kecil di tengahnya. Seperti seusai operasi, ia tetap merasa puas dengan hasil itu. Tapi, sungguh, ia merasa tidak puas dengan reaksi yang didapatnya.
Tak seperti biasanya, lebih dari 40 menit ia termangu di depan cermin. Ia lupa harus segera makan malam jauh sebelum tidur, agar tak menjadi lemak yang berlebihan. Ia lupa besok pagi sekali ada rapat pemasaran. Ia lupa waktu bahkan dimana ia kala itu. Luna sudah tergolek kepalanya di depan cermin toilet. Ia tertidur. Entah malam sudah selarut apa. Dan yang lebih ia tak ketahui, wajah lesu di depan cermin itu tetap tegak dalam duduknya. Memandang Luna yang bibirnya sedikit terbuka, menghembuskan nafas agak keras. Mungkin karena begitu letih dan kecewa.

Wajah lesu di cermin toilet itu, sekali lagi, meneteskan airmata. Ia tak menghapusnya. Membiarkannya jatuh. Satu dua menimpa rambut hitam ikal Luna, yang entah di dunia mana.

ESOK paginya, beberapa karyawan di kantor pemasaran perusahaan produk elektronik asing asal Korea, melihat meja di salah satu sudut, tempat Luna biasanya ada, kosong. Berbagai peralatan kerjanya tampak berantakan. Laci terbuka. Tidak biasanya, untuk seorang perempuan yang tangkas dan bersih seperti Luna. Bahkan semua bisa melihat, sebuah kertas besar menempel di layar monitor komputer personal pegawai cukup senior itu, dengan satu tulisan spidol besar, “Sedang Cuti”.

Tak ada yang tahu, kapan Luna mengajukan cuti kerja. Selain ia jarang mengambil cuti, kalaupun akhirnya ia ambil, berminggu sebelumnya sudah ia ramai bicarakan rencana-rencananya. Benarkah Luna cuti? Kemana ia sebenarnya? Pegawai dari bagian cleaning service memberitahukan, Luna memang pulang agak lat malam sebelumnya. Beberapa teman kencannya di luar juga tak menjumpai Luna malam kemarin. Tidak biasa.
Sementara di rumah kontrakannya, di toilet persisnya, di dalam cermin khususnya, tampak Luna masih tergolek pulas dengan kepala jatuh di meja rias. Hari sudah tinggi, dan sinar hangat mulai menembus kisi-kisi tirai jendela. Luna-dalam-cermin itu tampak menggeliat dan sangat perlahan mengangkat kepalanya. Ia mulai siuman dan menyadari pagi sebentar lagi akan lewat. Dan seperti biasa, otomatis, ketika berhadapan dengan kenyataan-di luar-cermin, ia akan mengamati dengan seksama wajahnya yang tiap pagi ada di situ. Mengusap-usap seluruh bagiannya dan terakhir jatuh pada dagunya.
Dan betapa terkejut Luna saat ia menyadari dagunya kini sudah berubah lagi. Tak lagi sedikit panjang dan menukik dengan lekukan kecil di tengahnya. Tidak lagi manis seperti artis-artis itu. Kini ia kembali seperti semula, kecil, penuh dan pendek! Tepat dalam kondisi prima tradisionalnya. Luna-dalam-cermin memandang dan meraba tiada habisnya. Apa yang telah terjadi. Mimpikah ia? Atau dagu operasi itu sebenarnya yang cuma mimpi?
Ia memandang Luna di hadapannya. Tepatnya, ia mencari Luna. Karena Luna yang biasanya tiap pagi bercermin, kini tak ada di tempatnya. Kemana dia? Apakah saat aku tertidur ia sudah siuman lebih dulu? Melihatku masih pulas? Atau.... Kemana Luna?
Dalam gugupnya, Luna-dalam-cermin memutar pandangan ke seluruh arah. Sampai akhirnya ia tiba pada salah satu sudut meja rias. Dan ia terpekik, menyaksikan bagian itu dipenuh oleh cairan kental berwarna merah gelap. Ada apa? Ia tidak dapat melihat, di bagian bawah ujung meja rias itu, di bawah darah yang satu-satu masih menetes itu, beberapa sayatan daging kecil tampak menggeletak, menggelepar.
Ia tak tahu. Dimana Luna?
Jakarta, 2007

0 comments:

Post a Comment