Monday, August 3, 2009

Seni Dalam Fatsoen Politik

radhar panca dahana

Berangsur-angsur, kebudayaan terangkat menjadi sup hangat dalam meja wacana kehidupan kita berbangsa, yang belakangan dipenuhi menu (nafsu) politik dan ekonomi saja. Betapapun di dalamnya masih tersimpan komprehensi dan apresiasi yang cukup dangkal, penambahan menu itu menunjukkan minat dan awal yang mengarah pada kesadaran: kebudayaan adalah salah satu kunci penyelesaian masalah bahkan masa depan yang diharapkan.
Kecenderungan yang pantas diapresiasi ini diperlihatkan, misalnya, pada Deklarasi Damai di antara para kontestan Pemilihan Presiden yang diselenggarakan KPU beberapa hari lalu. Dengan memberi waktu terbatas pada tiap kontestan menyuguhkan sebuah nomor kesenian di awal acara, mereka –para petinggi politik—tidak hanya memperlihatkan niat baik di atas. Namun juga memberi wajah unik pada praksis demokrasi kita, dan lebih jauh lagi, sebuah ambisi untuk memproduksi hidup politik yang lebih kultural, lebih beradab.

Namun, begitulah, sebuah refleksi selalu membayang di semua peristiwa publik semacam itu. Kebudayaan yang dipahami sebagai sebuah produk artistik itu, tidak hanya menunjukkan naifitas –dalam kematangan politik mereka—namun juga kekeliruan yang berpotensi merugikan –bahkan menghancurkan—kedua wilayah yang tengah berusaha menjalin honey moon-nya –setelah sekian lama bersitegang atau pisah ranjang—itu: kesenian dan politik.
Hal pertama tampak pada nomor-nomor kesenian yang disuguhkan para kontestan. Kubu Mega-Pro menghadirkan nomor kesenian dari Jawa Tengah, SBY-Boediono menampilkan tarian Melayu, dan JK-Win menghadirkan tarian yang lebih kontemporer. Mungkin ada “maksud” atau pesan tersembunyi di balik itu. Seperti usaha melepaskan citra “terlalu Jawa” bagi SBY-Boediono untuk meraih dukungan non-Jawa. Atau gambaran tentang progresivitas dan kegesitan modern bagi pasangan JK-Win.
Namun, apapun message yang samar dan sumir itu, ketiga kontestan dengan kuat menunjukkan kegagalan yang naif, untuk menyajikan sebuah nomor kesenian yang –setidaknya secara simbolik—mampu merepresentasikan realitas (karakter) dirinya. Atau mungkin realitas keindonesiaan, kenusantaraan, yang menjadi inti ideologis dari semua perjuangan politik.
Kesenian dalam performa atau pemahaman seperti ini pun tinggal menjadi aksesori atau manekin di dalam kaca etalase politik. Keindahan yang segera dapat diganti atau ditinggalkan begitu ia tidak lagi diperlukan. Sebagai buah dari kebudayaan, ia pun menyiratkan bagaimana kesulitan paradigmatis terjadi di kalangan pekerja politik dalam menempatkan kebudayaan (cq kesenian) dalam praksis kerja sehari-harinya. Honey moon itu tidak jua terasa manis, bahkan bisa eksploatatif dan destruktif.

Seni: Arsenal Politik

Kesulitan paradigmatis tersebut, adalah hal kedua dalam realitas relasional yang terlukiskan di atas. Baik kesenian dan politik tidak memahami bila mereka sesungguhnya bermain dalam wilayah kerja yang secara substansial berbeda arasnya. Bila politik lebih banyak bermain di tataran praktis, dimana kepentingan golongan (partai) menjadi pagar untuk menegaskan eksistensi, posisi diri, hingga siapa dan dimana kawan serta lawan. Maka kesenian, sebaliknya berada pada tataran simbolis, dimana kode-kodenya bermain meng’atas’i pagar-pagar kepentingan itu, dan bicara dalam sebuah nilai yang justru memersatukan. Bukan memisahkan, sebagaimana praksis politik.
Maka, jika kemudian kesenian masuk atau dimasukkan ke dalam pagar politik, secara otomatis ia telah diperangkap atau memerangkap dirinya. Ia terpenjara oleh tuntutan praktis yang akan kian mengerdilkan dirinya sendiri. Dalam logika politik, hal ini lumrah bahkan mungkin ia dapat menjadi taktik atau strategi yang jitu.
Sebuah sebuah kekuatan yang menakdirkan dirinya ke dalam konflik atau kompetisi yang frontal, politik membutuhkan berbagai peralatan tempur untuk memenangkan konflik/kompetisi itu. Kesenian pun dapat menjadi satu arsenal yang ampuh. Bukan hanya daya retorik dan simboliknya yang kuat dan tajam. Namun juga, ia bisa jadi tempat persembunyian yang aman untuk, misalnya, menutupi nafsu dan ambisi dominasi di balik apa yang disebut –katakanlah—licensia poetica. Semacam kebebasan (fakultatif) yang memberi ruang kreatif pada kesenian untuk bebas berekspresi tanpa ditelikung oleh batasan-batasan tradisi, konvensi, atau regulasi formal.
Tentu saja, pemanfaat lisensi dengan cara seperti itu adalah sebuah cara yang dangkal bahkan manipulatif. Ia tidak hanya mengancam kebebasan dan kekuatan kreatif seni itu sendiri, namun juga mendangkalkan hidup dan budaya politiknya pula. Lebih jauh lagi, ia akan menciptakan artifisialisasi dalam apresiasi hidup secara kolektif.

Sebuah ‘Fatsoen’

Kerugian atau destruksi yang potensial tercipta dalam relasi seni-politik, kebudayaan dan politik di atas, tentu saja bukanlah intensi umum yang kita harapkan dari sup panas kebudayaan di menu makan kita belakangan ini. Kebudayaan, dalam produk utamanya kesenian, dapat memainkan peran yang penting bahkan menentukan, ketika ia diposisikan –oleh sektor mana pun yang memerlukan keberadaannya: politik, agama, ekonomi, dll—sebagai sebuah ekspresi idea(logis) tentang kebaikan dan kemuliaan manusia secara umum (universal).
Sebagai salah satu puncak dari meditasi, kontemplasi dan komprehensi manusia pada diri dan kehidupannya, kesenian dapat berfungsi untuk mengelevasi ruang sempit dari pagar-pagar politik. Pagar yang membuat nafsu politik hanya menjadi pelayan satu golongan saja dan meminggirkan kepentingan keseluruhan (nation). Inilah pragmatisme politik (demokrasi) yang menjebak: ia hanya membutuhkan sebagian untuk menguasai keseluruhan. Biarpun yang sebagian itu pun palsu atau hasil dagang gaya obralan.
Maka, bila kebudayaan secara umum, dan kesenian secara khusus, hendak kita hidangkan di daftar menu, ia tak cukup menjadi semangkuk sup. Ia sesungguhnya adalah menu itu sendiri. Adalah motif, tujuan, dan cara kita yang paling dasar untuk menghadirkan semua tujuan ilmu atau pelbagai praksis hidup: kemuliaan manusia, kesejatian diri, kedaulatan yang tak terbeli.
Mungkin seperti agama, ilmu, adat, dan lainnya, kesenian sepantasnya menjadi bagian yang inheren dalam semua praksis hidup kita, khususnya politik. Semua ekspresi hidup kita selaiknya unik dan artistik, sehingga ia tidak hanya menyimpan pragmatisme sempit yang –katanya—menjadi imperasi hidup saat ini. Tapi juga menyiratkan idealisme di mana manusia selalu dibayangkan berdaulat terhadap dirinya sendiri. Bukankah manusia bukan hanya homo politicon, namun pula homo aestethicus?
Maka, betapa indahnya, bila kita temukan para petinggi (elit) politik, ekonomi, agama dan sebagainya tampil tidak hanya dengan kecerdasan politik tapi juga dengan keindahan bahasa, keluasan gagasan, sehingga membuat ia ramah, santun dan dicintai publiknya. Bukan sebaliknya, ia nampak kotor, ambisius, licik, manipulatif bahkan nampak satanik di hadapan konstituennya.
Ini mungkin awal dari sebuah fatsoen, sebuah kultur Indonesia dalam politik kita.

Presiden Kebudayaan

Ir. Soekarno membantah tudingan para sejawatnya soal ide Pancasila yang ia cetuskan pada sidang BPUPKI, 1 Juni 1945, sebagai sebuah hasil analisis yang mentah dari data-data yang miskin. Ia menjelaskan dengan panjang lebar, riwayat negeri ini, jauh sebelum Hindu (India) datang; riwayat negeri-negeri yang jauh, dengan cermat, detail, dan di luar kepala. Hingga kutipan ujar-ujar pemikir dan filosof ternama, di masa lalu hingga yang kiwari.
Semua menjadi bahan renungan untuk mendapatkan nilai terdalam dan terbaik dari bangsa-bangsa di kepulauan ini, yang dapat dijadikan landasan hidup bersama mereka dalam masa yang baru, masa merdeka, masa depannya di tengah dunia. Hasil kontemplasi serta ide dasar negara yang –pada awalnya—ia sebut sebagai Panca Dharma itu, sampai pada kita dalam satu pengertian yang jelas dan kuat: Pancasila pada dasar dan pada akhirnya adalah sebuah kerja kebudayaan, bukan sekadar ideologi politik misalnya.

Satu contoh, dharma kelima –yang kemudian menjadi sila pertama—ia rumuskan sejak dini, bukan dalam proposisi baku “Tuhan Yang Mahaesa”, namun sebagai “Tuhan yang berkebudayaan” (garis miring dari cetakan buku pertamanya). Yakni religiusitas bangsa yang dilekatkan dan diintegrasikan dengan realitas kontekstual kehidupan masyarakat yang memilikinya.
Religiusitas yang –dalam pengertian Ir. Soekarno—sangat purba ini, bukan sekadar aturan agama formal, namun inti dari lakon kehidupan bangsa kita dalam menjalankan ritus-ritus kehidupan sehari-harinya. Sebuah pandangan yang modernis, yang pada akhirnya melahirkan –antara lain—gagasan “Islam nusantara”, yang di awal 70-an ide itu turut membesarkan nama-nama seperti Nurcholish Madjid, Bachtiar Effendy, Abdurrahman Wahid, dan sebagainya.
Apa yang dibuktikan Ir. Soekarno lewat paparan dan penjelasan berulang tentang makna kebudayaan Pancasila, tak lain sebuah kapasitas dan kualitas seorang pemimpin bangsa yang berhasil “melampaui” pemahaman, dimensi atau kepentingan yang sektarian/partisan. Seorang pemimpin, sebelum ia menjadi seorang yang mampu meng”atas”i sebuah negara (state-man) alias negarawan, harus terlebih dulu meng”atas”-i kebudayaannya, menjadi budayawan (man of culture).
Seorang presiden kebudayaan (yang budayawan) ini, ditandai oleh kemampuannya melihat keseluruhan permasalahan, semacam komprehensi kultural, dari sebuah hal yang bahkan tampak kecil atau sepele. Terlebih persoalan-persoalan yang substansial atau vital dalam –misalnya—penyelenggaraan negara. Ia tidak cukup hanya ditunjukkan oleh retorika normatif, atau sekadar satu-dua data statistik yang kering dan steril.
Namun keluasan atau komprehensi itu ditunjukkan oleh pemahaman dan pengalaman yang multidimensional. Bukan melulu dari bacaan-bacaan yang luas, akses intelektual pada berbagai ilmu, pengalaman yang kaya, atau kontemplasi yang mendifusi seluruh asupan tersebut dengan kemampuan apresiasi yang tinggi, tapi juga kapabilitas menggunakan khasana simbolik dari (hasil) kerja-kerja kultural yang diapresiasinya.
Maka, bila kerja kultural itu, katakanlah seni atau agama sebagai contoh, seorang Presiden dalam arti tertentu juga seorang yang artistikus dan estetikus, seorang yang mapan dalam religiusitasnya. Itu akan nampak dalam wacana (discourse) yang diutarakannya, dalam kode atau simbol-simbol linguistik (daya literer) yang digunakannya, dalam referensi yang menghiasinya, dalam kristal-kristal bening dan padat gagasannya.
Dari gambaran tidaklah terlalu ideal itu, standar dalam pandangan penulis, kita pun dapat menakar apa yang kita temukan –dan mungkin kita pilih—dalam bursa calon presiden serta wakil presiden di final kompetisi demokrasi belakangan ini. Telah cukup banyak, bahkan over exposure karena ulah media-media yang rakus sensasi, data dan pembuktian kapasitas dan kapabilitas para calon pemimpin bangsa itu, kita dapatkan dalam dua bulan terakhir ini setidaknya.
Dan Anda dapat menilai sendiri, siapa di antara mereka, memenuhi kualitas dasar seorang negarawan, dari kemampuan mereka melihat persoalan; dari komprehensi masalah, visi ke depan: dari nilai kebudayaan dalam diri mereka. Dari berbagai debat, mimbar, panggung kampanye, hingga hasil wawancara mereka yang begitu pragmatis, praktis, kering, bahkan cenderung artifisial, banyak pihak menganggap kita sebenarnya tak memiliki (cukup) pilihan.
Tapi demokrasi mewajibkan kita memilih. Inilah paradoks demokrasi, kekerasannya yang otoriter: kita harus memilih ketika tak ada pilihan. Bagaimana bila hal ini dihadapkan pada siswa yang sedang menghadapi UAN? Apa ia harus membuat pilihan jawaban tambahan? Sistem kita, ternyata, tak mengizinkannya. Tak mengizinkannya.

radhar panca dahana

Presiden yang Bukan Ksatria

Radhar Panca Dahana

Pemilihan umum presiden yang baru saja diselenggarakan, selalu menyisakan persoalan moral, terutama setelah diketahui siapa pemenang dan siapa pecundangnya. Imbauan berulangkali disuarakan banyak kalangan, agar kedua pihak (yang menang dan kalah) dapat menerima hasil dengan hati dingin, damai, dan elegan. Ngeluruk tanpo bolo, menang tanpa ngasorake, kata orang Jawa.

Namun sejarah politik di negeri ini mengajarkan, kehendak dari peribasa di atas tampaknya selesai di tingkat wacana. Berkali-kali pergantian kekuasaan, senantiasa dimaknai dengan pergantian total aparatus puncaknya. Semacam pendekatan zero sum game, terlebih bila pergantian itu diwarnai dengan sebuah keributan, besar dan kecil. The winner takes all, dan yang pecundang siap habis total.
Pendekatan atau tradisi pergantian pimpinan seperti ini sebenarnya memiliki akarnya juga dalam masyarakat kita, terutama dalam tradisi kerajaan konsentris, di Jawa dan berbagai kerajaan beradab “daratan” lainnya. Pendekatan atau tradisi ini berasal dari pemahaman, kekuasaan (politik) dan penguasaan (bangsa/negara) dihasilkan melalui sebuah perjuangan keras dan fisikal dari para ksatria. Raja atau Sultan yang kemudian bertahta adalah mereka berada dalam garis atau kasta itu.
Kekuasaan yang didapat dan dipahami dengan paradigma/tradisi ini tentu saja berkonsekuensi melahirkan pemerintahan yang cenderung totaliter, hegemonik dalam penguasaan infrastruktur, sumberdaya dan berbagai akses sosial. Dan semua itu dilakukan melalui cara-cara yang koersif, represif, baik yang halus maupun kasar, baik dalam bentuk yang tradisional maupun canggih karena menggunakan peralatan modern.
Beberapa negara dunia, seperti Myanmar, Kuba, Lybia, atau negara-negara Timur Tengah, mempraktekkan tradisi kepemimpinan semacam itu. Bahkan hingga busana pemimpinannya, mewakili gambaran ksatria sejati, militer dalam perkembangan modernnya. Di beberapa negara demokrasi-semu, modernitas, teknologi, ilmu, sistem demokratis itu sendiri, dan perangkat canggih lainnya, digunakan semata hanya untuk label, justifikasi, atau hiasan di etalase peradaban internasional.
Bagaimana sebenarnya tradisi (kepemimpinan) politik kita harus dibangun, dengan latar semacam itu? Kenapa kompetisi penuh adab, seperti pemilu pilpres ini, mesti “habis-habisan”, termasuk menghabisi lawannya? Mengapa demokrasi sekadar menjadi dekorasi, menjadi alat pemuas dahaga kekuasaan, bukan sebagai mekanisme pengabdian dan pengadaban negeri? Satu upaya untuk memperluhur derajat kita sebagai bangsa, mempertinggi kualitas kita sebagai manusia?

‘Bun’ dan ‘Bu’

Masalah di atas, mungkin, berawal dari kacau atau bertabrakkannya ukuran atau standar-standar (etik dan emik) perpolitikan kita antara dua kecenderungan paradigmatik, oksidental dan oriental. Umumnya, yang pertama bermain di tingkat akal, dan yang terakhir mengendap di kedalaman mental. Dua dimensi yang sangat berpengaruh pada output perilaku para pelakunya. Bila terjadi semacam ambiguitas atau bahkan skizofrenia politik karenanya, tentu lumrah adanya.
Paradigma oksidental kita paham benar, karena kita terdidik sejak dini dengan itu. Untuk yang oriental, selain tradisi yang terinternalisasi dengan pendekatan “aryan” atau India –melalui kitab-kitab semacam Mahabarata—di atas, juga ada sebuah logika menarik dari Cina. Dalam riwayat maupun legendanya, kultur Cina mengenal dua kecakapan utama yang dapat diraih manusia: “bun” dan “bu”. Yang satu ilmu “surat” (sastra) dan yang lainnya ilmu “silat” (kanuragan/militer).
Dalam dua dunia itu berlaku pemeo, “tidak ada nomor satu dalam bun” (karena siapa yang dapat menentukan karya sastra nomor satu), dan “tidak ada nomor dua dalam bu” (karena pesaing sudah mati oleh pesilat paling tangguh). Ajaran moral itu berhasil membagi dengan cermat kecenderungan idealistis dan pragmatis dari manusia. “Bun” adalah perkara-perkara yang menyangkut idea, dunia abstrak dan simbolik, seperti sastra, ideologi, agama, ilmu, juga politik. Sementara “bu”, adalah dunia yang mewakili kecenderungan praktis-pragmatis, yang kongkret dan material, seperti silat, militer, dagang, dan sebagainya.
Masalah terjadi ketika dunia berkembang semakin mengutamakan penumpukan fasilitas dan ukuran-ukuran yang praktis-pragmatis-material. Dunia “bun” bukan hanya kian tertekan, bahkan terkooptasi, dan akhirnya diperalat sebagai arsenal, dalam kekuasaan misalnya. Urusan politik dan pemerintahan yang sebenarnya berada di wilayah moral “bun”, dimana “tak ada nomor satu” dan respek menjadi etos utama, pada akhirnya mengeras menjadi konflik terbuka, bahkan secara fisik.
Karena politik kemudian diperalat oleh kaum “bu” yang tetap mempertahankan moralitas “tak ada nomor dua” lewat kekerasan fisikalnya. Kaum ksatria mengambil alih otoritas politik dan melakukan hegemonisasi lewat caranya yang keras. Kekacauan standar-standar hidup pun terjadi, karena pertentangan keras sudah terjadi di dalam tubuh kekuasaan –bahkan di level rendah sekalipun—itu sendiri.

Kasta Pangreh Praja

Maka, ketika SBY, selaku capres mengatakan dirinya adalah “ksatria” dalam sebuah pidato publik, untuk menjelaskan bahwa ia mendapat banyak serangan dan tidak membalasnya, bisa dikatakan benar dan keliru sekaligus. Benar, ia memang ksatria (mantan perwira tinggi) dan menjadi pemimpin karena tradisi kekesatriaan dari kerajaan konsentris kita, termasuk juga yang dipahami pendahulunya, mantan presiden Suharto.
Namun ia keliru, bila sebagai ksatria ia tidak “membalas” serangan yang tertuju padanya. Seorang ksatria harus membalas dan menang, sebagaimana etos itu diajarkan oleh tradisi. Dan jadi lebih keliru, bila sebagai pemimpin nasional ia “membalas” serangan itu. Karena terdapat jarak yang menentukan, antara posisi puncak sebagai pemimpin nasional dengan takdirnya sebagai elit dari kasta ksatrianya.
Bisa jadi inilah absensi dalam paradigma/tradisi berpolitik kita. Tidak ada kasta khusus bagi mereka yang “memerintah negara”, yang menjadi politikus, jadi negarawan. Seseorang tidak cukup menjadi ksatria untuk jadi “pemerintah” atau negarawan. Ia harus memiliki beberapa kapasitas dan kapabilitas tersendiri untuk mencapainya. Setidaknya sebuah komprehensi yang “melampaui” logika atau disiplin keksatriaannya. Melihat manusia, bangsa, sejarah dan masa depannya secara lebih utuh, multidimensional.
Untuk kita bisa menggunakan istilah berbeda, kasta baru, bisa diletakkan antara brahmana dan ksatria, yang menempatkan seorang politikus –tepatnya negarawan—hanya seurat di bawah kebijaksanaan non-duniawi dari seorang brahman. Katakanlah untuk sementara –sebelum ada yang lebih tepat—istilah pangreh praja atau pangembating praja kita gunakan untuk posisi atau kasta itu.

Sebuah kasta baru yang tidak mencampuradukan antara kebijaksanaan dan kebijakan yang idealistik dan visioner dengan ambisi-ambisi pragmatis yang material dan temporer. Dengan posisi ini, seorang pemimpin tidak berhenti dalam wacana, retorika dan romantika karena pribadinya yang sudah mampu meng”atas”i kepentingan sektoral dan kecenderungan personalnya. Ia menjadi jabatan puncak, yang diraih lewat cara yang meritokratik, bukan sebuah takdir yang dibawanya sejak lahir.
Karena tak ada manusia yang ditakdirkan selamanya menjadi syudra, waisya, maupun ksatria. Semua berpeluang menapaki jenjang yang lebih tinggi, hingga menjadi pangreh atau pangembating. Sebuah jenjang yang menuntut tanggungjawab dan kemampuan sangat tinggi, bahkan bukan sekadar “bun” dan “bu”. Jenjang yang seharusnya ditempati oleh seorang pemimpin, seorang presiden.
Adakah sang pemenang nanti ada di jenjang itu? Anda semua, juga sejarah, yang akan mencatat dan membuktikannya.