Monday, August 3, 2009

Presiden Kebudayaan

Ir. Soekarno membantah tudingan para sejawatnya soal ide Pancasila yang ia cetuskan pada sidang BPUPKI, 1 Juni 1945, sebagai sebuah hasil analisis yang mentah dari data-data yang miskin. Ia menjelaskan dengan panjang lebar, riwayat negeri ini, jauh sebelum Hindu (India) datang; riwayat negeri-negeri yang jauh, dengan cermat, detail, dan di luar kepala. Hingga kutipan ujar-ujar pemikir dan filosof ternama, di masa lalu hingga yang kiwari.
Semua menjadi bahan renungan untuk mendapatkan nilai terdalam dan terbaik dari bangsa-bangsa di kepulauan ini, yang dapat dijadikan landasan hidup bersama mereka dalam masa yang baru, masa merdeka, masa depannya di tengah dunia. Hasil kontemplasi serta ide dasar negara yang –pada awalnya—ia sebut sebagai Panca Dharma itu, sampai pada kita dalam satu pengertian yang jelas dan kuat: Pancasila pada dasar dan pada akhirnya adalah sebuah kerja kebudayaan, bukan sekadar ideologi politik misalnya.

Satu contoh, dharma kelima –yang kemudian menjadi sila pertama—ia rumuskan sejak dini, bukan dalam proposisi baku “Tuhan Yang Mahaesa”, namun sebagai “Tuhan yang berkebudayaan” (garis miring dari cetakan buku pertamanya). Yakni religiusitas bangsa yang dilekatkan dan diintegrasikan dengan realitas kontekstual kehidupan masyarakat yang memilikinya.
Religiusitas yang –dalam pengertian Ir. Soekarno—sangat purba ini, bukan sekadar aturan agama formal, namun inti dari lakon kehidupan bangsa kita dalam menjalankan ritus-ritus kehidupan sehari-harinya. Sebuah pandangan yang modernis, yang pada akhirnya melahirkan –antara lain—gagasan “Islam nusantara”, yang di awal 70-an ide itu turut membesarkan nama-nama seperti Nurcholish Madjid, Bachtiar Effendy, Abdurrahman Wahid, dan sebagainya.
Apa yang dibuktikan Ir. Soekarno lewat paparan dan penjelasan berulang tentang makna kebudayaan Pancasila, tak lain sebuah kapasitas dan kualitas seorang pemimpin bangsa yang berhasil “melampaui” pemahaman, dimensi atau kepentingan yang sektarian/partisan. Seorang pemimpin, sebelum ia menjadi seorang yang mampu meng”atas”i sebuah negara (state-man) alias negarawan, harus terlebih dulu meng”atas”-i kebudayaannya, menjadi budayawan (man of culture).
Seorang presiden kebudayaan (yang budayawan) ini, ditandai oleh kemampuannya melihat keseluruhan permasalahan, semacam komprehensi kultural, dari sebuah hal yang bahkan tampak kecil atau sepele. Terlebih persoalan-persoalan yang substansial atau vital dalam –misalnya—penyelenggaraan negara. Ia tidak cukup hanya ditunjukkan oleh retorika normatif, atau sekadar satu-dua data statistik yang kering dan steril.
Namun keluasan atau komprehensi itu ditunjukkan oleh pemahaman dan pengalaman yang multidimensional. Bukan melulu dari bacaan-bacaan yang luas, akses intelektual pada berbagai ilmu, pengalaman yang kaya, atau kontemplasi yang mendifusi seluruh asupan tersebut dengan kemampuan apresiasi yang tinggi, tapi juga kapabilitas menggunakan khasana simbolik dari (hasil) kerja-kerja kultural yang diapresiasinya.
Maka, bila kerja kultural itu, katakanlah seni atau agama sebagai contoh, seorang Presiden dalam arti tertentu juga seorang yang artistikus dan estetikus, seorang yang mapan dalam religiusitasnya. Itu akan nampak dalam wacana (discourse) yang diutarakannya, dalam kode atau simbol-simbol linguistik (daya literer) yang digunakannya, dalam referensi yang menghiasinya, dalam kristal-kristal bening dan padat gagasannya.
Dari gambaran tidaklah terlalu ideal itu, standar dalam pandangan penulis, kita pun dapat menakar apa yang kita temukan –dan mungkin kita pilih—dalam bursa calon presiden serta wakil presiden di final kompetisi demokrasi belakangan ini. Telah cukup banyak, bahkan over exposure karena ulah media-media yang rakus sensasi, data dan pembuktian kapasitas dan kapabilitas para calon pemimpin bangsa itu, kita dapatkan dalam dua bulan terakhir ini setidaknya.
Dan Anda dapat menilai sendiri, siapa di antara mereka, memenuhi kualitas dasar seorang negarawan, dari kemampuan mereka melihat persoalan; dari komprehensi masalah, visi ke depan: dari nilai kebudayaan dalam diri mereka. Dari berbagai debat, mimbar, panggung kampanye, hingga hasil wawancara mereka yang begitu pragmatis, praktis, kering, bahkan cenderung artifisial, banyak pihak menganggap kita sebenarnya tak memiliki (cukup) pilihan.
Tapi demokrasi mewajibkan kita memilih. Inilah paradoks demokrasi, kekerasannya yang otoriter: kita harus memilih ketika tak ada pilihan. Bagaimana bila hal ini dihadapkan pada siswa yang sedang menghadapi UAN? Apa ia harus membuat pilihan jawaban tambahan? Sistem kita, ternyata, tak mengizinkannya. Tak mengizinkannya.

radhar panca dahana

4 comments:

mas arifin brandan said...

jogja 260809

salam revolusi! mas radhar, saya ucapkan selamat atas diterimanya kuntowijoyo award beberapa waktu lalu. saya tertarik dengan topik pancasila yang hampir tiga dekade ini mulai kehilangan ruh dan daya magis aplikatifnya. dalam realitas kehidupan berbangsa, tampaknya pancasila tinggal kerangka aksesoris yang teronggok dalam gudang sejarah. pancasila menjadi tak kontekstual bila dibenturkan dengan realitas kehidupan saat ini yang bercorak kapitalistis, individualistis, materialistis dan hedonistis. pancasila bagai kehilangan jiwa sosialismenya.

bung karno, pemimpin besar revolusi, berwasiat pada tahun 1964 melalui pidato tavip (tahun vivere pericoloso) bahwa revolusi indonesia belumlah selesai. bahwa revolusi bukan sekadar mengusir kolonial belanda, melainkan mewujudkan satu karakter bangsa yang berakar kuat pada nilai-nilai sosialisme.

hampir tiga dekade lebih, jalannya revolusi indonesia mandek, ditelikung oleh rezim orde baru yang otoritarian dan memberangus hak-hak demokrasi rakyat. kini saatnya, kaum revolusioner muda di seantero negeri perlu merapatkan barisan, mengokohkan simpul gerakan revolusioner untuk merebut kembali momentum revolusi, mengarahkan sejarah bangsa ke idealisasi cita-cita kemerdekaan, membangun jiwa pancasila, mengaplikasikan uud 1945 yang murni, konsisten dan konsekuen. menyeret koruptor dan para penghianat bangsa yang menjual aset negara, membuang jauh-jauh gaya hidup kota yang bercorak kapitalistik, materialistik dan individualistik. mendorong orientasi pembangunan yang berbasiskan pertanian desa dan kemaritiman.

bangsa ini perlu sungguh-sungguh mendorong arah pergerakan bangsa agar kembali kepada cita-cita kemerdekaan empat lima. artinya, kita kembali melanjutkan jalannya revolusi yang dirintis oleh bung karno. untuk mencapai momentum itu, kaum muda revolusioner harus mendorong perubahan besar agar nilai-nilai kebangsaan kembali menguat dan spirit kegotongroyongan yang menjadi inti jiwa pancasila dapat diwujudkan dalam kehidupan berbangsa. hanya satu jalan untuk perubahan besar: revolusi!

(mas ab, http://aruscitra.blogspot.com)

Subhan said...

Saya menyukai tulisan ini

Anonymous said...

maaf ya mas...kok reasanya kita jadi kaum minoritas kalau bicara Pancasila....saya kok kepingin mas hadir dalam kongres Pancasila yang diadakan oleh Pusat Studi Pancasila UGM (saya 2X hadir...yogya dan denpasar)nggak ada gemanya ...saya tunggu ....wayan suryanegara

fatkhulmubin said...

Menarik sebuah ujaran dari pinggiran episentrum Pancasila terucap...

Post a Comment