Sunday, January 11, 2009

Metamorfosa Kosong 1


Adaptasi "The Terorist" Albert Camus

Para Pelakon :

WALI
FITRI
SUTRIS
DARMO
PONCO
LELAKI
PERWIRA
NYAI

SEBUAH RUANGAN. LAMPU 15 WATT TERGANTUNG DI ATASNYA. SATU GELAS BESAR DAN SATU CANGKIR KOPI. HARI BARU SAJA GELAP. SUARA SIRENE LEWAT SEKALI DI KEJAUHAN. RUANGAN ITU, EMPAT KALI LIMA METER. TIGA BUAH BANGKU, BEBERAPA KOTAK KAYU. FITRI DAN DARMO DUDUK TIDAK BERHADAPAN. SUASANA SENYAP. CUKUP LAMA. PENUH GELISAH. SUARA LANGKAH TERGESA, TERDENGAR MENDEKAT. LALU KETUKAN PINTU DENGAN IRAMA TERTENTU.

FITRI : Itukah dia?
DARMO : Belum pasti.

KETUKAN LAGI DI PINTU, DENGAN IRAMA TERTENTU.

FITRI : Itu dia.

DARMO BANGKIT, MELANGKAH DAN MEMBUKA PINTU.

DARMO : Wali!!

WALI MEMELUK DARMO KUAT-KUAT. LALU MELIHAT KE ARAH FITRI. MENDEKAT DAN BERJABAT TANGAN ERAT.

FITRI : Tiga tahun sudah, Wali.
WALI : Tiga tahun.
FITRI : Tapi penjara tak membuatmu berubah.
WALI : Tak ada yang bisa membuatku berubah, Fitri.
FITRI : Aku mengerti apa yang telah mereka lakukan padamu.
WALI : Tak ada yang bisa mereka perbuat padaku, Fitri.
FITRI : Mereka juga sudah membunuh ayah dan dua saudara lelakiku.
WALI : Aku berhasil melarikan diri.
FITRI : (MEMANDANG) Aku sempat mendengar berita itu. Rasanya aku percaya, walau lama tak kuterima langsung kabar darimu.
DARMO : Tiga bulan ia ada di gunung Lawu, dan dua bulan di hutan Menoreh. Itu yang kudengar.
WALI : Sama saja. Ruang tembok yang sempit, gunung atau pun hutan. Semua penjara. Selama aku hidup di negeri ini terali besi penjara tetap melekat dingin di kulitku.
DARMO : Keparat-keparat bule dan begundalnya itu memang mesti enyah. Tiga ratus tahun lebih mereka tidur di lapikan ibu kita.
WALI : Aku sudah siap, Darmo. Kau pemimpinku.
DARMO : Kami sudah atur rencana. Residen itu akan lewat dalam dua hari ini untuk nonton komidi stambul. Kanto sudah memberikan rincian acaranya.
WALI : Siapa teman-teman kita kali ini?
DARMO : Dadi Sutris. Dia pemuda berani. Pernah di Stovia, bergabung dengan Sutomo. Juga di PSI. Ia pernah menghajar dua marchausee. Mati. Cuma dengan satu pukulan.
WALI : Rasanya pernah kudengar nama itu.
DARMO : Satu lagi Ponco.
WALI : (TERDIAM SESAAT) Nama itu terlalu lembek didengar.
DARMO : Tapi tidak untuknya, Wali. Dia penyair. Baginya, nama itu sangat revolusioner. Ia menghabiskan dua ratus kilometer untuk sampai ke sini berjalan kaki meninggalkan seorang ibu dan istri yang baru dikawininya.
WALI : Mestinya dia orang yang sangat melankolik.
DARMO : Kesimpulan yang cepat memang jadi ciri situasi sekarang.
WALI : Itu pertanda kita bukan orang yang lembek.
DARMO : Juga tidak sembrono.
WALI : Aku terasa melawanmu, pemimpinku?
FITRI : Kurasa dia datang.

SUARA LANGKAH MENDEKAT. RELAKS. DAN KETUKAN PINTU, IRAMANYA TAK TENTU.

WALI : Itu bukan ketukan sandi kita.
FITRI : Sudah kebiasaan Ponco melakukannya.
DARMO : Ia merasa lebih sreg dengan irama itu. Aku setuju saja. Lagi, cuma ia yang memilikinya.

PONCO MASUK. MENATAP GEMBIRA FITRI DAN DARMO. LALU MELIHAT WALI.

DARMO : Kenalkan, ini bung Wali. Tiga tahun yang lalu ditangkap pasukan Gubernur Jenderal karena memaki di depan umum.

WALI DAN PONCO BERSALAMAN. WALI MENATAP TAJAM. PONCO MENGALIHKAN PANDANG KE ARAH FITRI.

DARMO : Ini Ponco. Ia menggantikan posisi Joko.
WALI : Dan Joko?
DARMO : Ia gugur di tangan centeng residen. Istrinya mau diambil.
WALI : Joko, adalah anggota kita yang selalu ada di garis terdepan.
DARMO : Kali ini Ponco yang akan menggantikannya.
WALI : Maksudmu?
DARMO : Ponco akan melempar bom yang pertama.
WALI : Dengan tangan selemah itu?
PONCO : Kau mengatakannya dengan lidah yang sangat lentur, bung. (MEMANDANG TAJAM)
WALI : Biarpun sederhana, sebuah bom mesti dilemparkan dengan tangan yang cukup kokoh.
PONCO : Ada apa denganku? Selama sepuluh tahun terakhir aku hidup di gunung. Aku tak pernah goyah membawa tiga ratus kilo air setiap hari dengan pundakku. Naik dan turun gunung. Mungkin kau berpikir aku akan ragu melakukannya? O Tidak, saudaraku. Tidak. (PAUSE) Kalaupun aku gagal...tak akan aku mampu menemui kalian lagi.
WALI : Lebih baik memang kau hirup udara gunung. Tentu lebih menyegarkan.
PONCO : Aku tak kan lari. Kau salah, saudaraku. Aku akan hujamkan dadaku sendiri ke ujung tombak para pengawal residen.
DARMO : Kau takkan melakukan itu Ponco. Peraturan dari pimpinan tak mengijinkan seorang pun dari kita mati dengan cara seperti itu. Bagaimana pun kita mesti hidup. Kau dibutuhkan, Ponco.
PONCO : Pernah kudengar cerita para prajurit dan kesatria Jepang yang melakukan hara kiri atau kamikaze.
WALI : Itu terlalu menggampangkan. Revolusi membutuhkan lebih dari itu.
PONCO : Revolusi tidak membutuhkan apa yang tidak kita miliki.
WALI : Karena kau terlampau banyak memberi ma'af pada dirimu sendiri. Kau terlalu mencintai dirimu sendiri.
PONCO : Aku mencintai orang banyak, rakyatku. Lebih dari semua milikku pribadi. Untuk itu aku akan melemparkan bom itu. Bahkan melempar tubuhku sendiri, kalau perlu.
WALI : Yang kita cintai lebih dari semua itu. Seorang revolusioner sejati mencintai keadilan.
PONCO : Seolah kau ingin mengatakan bahwa aku menerima segala kekasaran itu.
WALI : Aku tidak perduli. Aku cuma ingin mengatakan revolusioner sejati takkan pernah dan tak boleh bosan.
DARMO : Wali!
FITRI : Kupikir cukup sudah.
WALI : Ponco telah memperlakukan perjuangan ini sebagai pelampiasan nafsu pribadinya saja. Seenaknya ia mengubah kode pintu. Membaca sajak, mengenakan pakaian seperti pemain komidi, dan berpikir soal hara kiri. Perjuangan seperti ini tak bisa mengandalkan orang seperti itu. Terlebih untuk tugas yang akan menentukan nasib kita semua. Nasib revolusi ini keseluruhannya.
PONCO : Kau hanya mengambil kesan. Kau tidak mengenal saya. Karena saya mencintai hidup ini, sekarang saya berada di sini. Dan kenapa kita tak bersepakat saja, walau mungkin masih tertinggal perbedaan antara kita. Di luar memang brengsek. Tapi apa tak bisa kita bekerja dalam damai dan saling mencintai.
WALI : Kita di sini untuk berjuang dan membunuh seorang musuh. Bukan untuk membuat puisi atau novel-novel cengeng.
DARMO : Cukup! (BERGERAK) Kalian seperti remaja yang baru belajar bicara. Membiarkan emosi menjadi belatung revolusi. Aku tak melarang kalian sangsi. Tapi kebimbangan tak memberi akses apa pun untuk keberhasilan. Revolusi harus tetap berjalan. Tak perduli dengan kecerewetan macam yang kalian tunjukan.

MEMANDANG KEDUANYA. DARMO MENGAMBIL SATU BUNGKUSAN.

DARMO : Ponco, kau akan melempar bom itu yang pertama. Dan Sutris akan melakukannya untuk yang kedua. Wali akan akan mengawasi, dan Andi akan mengatur pembagian waktunya di lapangan. Residen itu harus mati. Harus. Aku dan Fitri sudah menyiapkan proklamasi, yang akan segera kami siarkan secara luas, segera setelah itu.
PONCO : Kau sudah mengaturnya, Darmo. Dan aku akan melakukannya. Residen itu akan mati.

PONCO DIAM TERPAKU KEMUDIAN. DARMO MEMANDANGNYA SELINTAS.

DARMO : Kita takkan pernah berhenti. Kita akan terus melakukan teror tanpa kompromi. Tak ada kerjasama dengan kolonial. Sampai kemerdekaan dan kejayaan negeri ini direbut.

KALI INI SEMUA DIAM. DARMO MEMANDANG SEMUANYA SATU-SATU.

DARMO : Ayo Wali, kita bicarakan apa yang mesti kau kerjakan dalam operasi ini. (MENGAMBIL BUNGKUSAN DAN KELUAR BERSAMA WALI). (BERBISIK KE ARAH PONCO) Tak usah terlampau dipikirkan, Pon.
PONCO : Sebenarnya aku merasa terhina, Dar.
DARMO : Aku akan bicara padanya nanti. (KELUAR)
FITRI : (MENDEKATI PONCO) Tak ada orang yang ingin menghinamu, Ponco. Wali memang agak berbeda. Maklum, tiga tahun sudah ia disekap dari kehidupan biasa.
PONCO : Aku mengerti. Aku mengerti apa yang dimaksud Wali. Kupikir tak hanya dia yang berpikir seperti itu. Banyak orang yang berpikir aku terlampau lemah untuk melaksanakan tugas ini.
FITRI : Kau hanya mempermainkan perasaan saja.
PONCO : Joko juga bicara hal yang sama dengan Wali. Aku dianggapnya terlalu romantik dan mengawang. Padahal berbulan sudah kupersiapkan ini. Walau tiap malam aku mesti menghadapi mimpi. Yang pengaruhnya hampir tak dapat kukuasai lagi.
FITRI : Kau ragu?
PONCO : Aku tidak pernah ragu. Sejak semula aku telah menolak menjadi awam. Walaupun untuk itu aku mesti jadi pembunuh. Daripada aku harus diam dan menunggu dengan keyakinan mistik bahwa suatu saat penyelamat akan datang. Bahwa Tuhan atau entah siapa telah menyiapkan satu hero yang akan menyelamatkan penderitaan ratusan tahun ini. Tidak. Aku suka bikin syair dan keindahan. Tapi aku mengerti bahwa hidup ini bukan fiksi.
FITRI : Bagaimana mungkin kau membunuh sementara begitu besar rasa cintamu pada hidup.
PONCO : Aku membunuh untuk menghidupkan yang lain, sesuatu yang lebih tinggi nilainya. Aku membunuh agar tidaklagi terjadi pembunuhan. Aku melihat orang-orang bernafas dan memamah biak tanpa mengetahui untuk apa ia lakukan itu semua. Dan tak bisa kau berdiam diri saja. Aku tuangkan semua itu dalam karya-karyaku. Memang kata-kata belaka, cuma kata. Aku tak rela jika lantaran itu kemudian orang mendakwaku tak mampu berbuat. Aku akan berbuat. Semua yang kumiliki kutinggalkan sudah.
FITRI : Tapi masih satu yang kau miliki.
PONCO : Diriku sendiri. (TAJAM) Namun sudah tekad kubulat, aku akan membuang milikku yang terakhir, tak jauh dari tetesan darah residen itu. Aku sudah membayangkan kematian indah seperti itu.
FITRI : Kematian yang indah. Kalau terlaksana.
PONCO : Kau pun meragukanku, Fitri?
FITRI : Kau akan berhadapan dengan manusia, Ponco. Sebuah kehidupan juga.
PONCO : Betul. Tapi aku bukan membunuh kehidupan pada waktu itu. Aku membunuh kedzaliman, melenyapkan noda hitam sejarah yang mengaramkan nasib jutaan manusia di negeri ini.
FITRI : Pada waktu itu lelaki gemuk itu tersenyum dengan halusnya. Bahkan tepat di hadapan matamu. Kau lihat ia sebagaimana indahnya hidup.
PONCO : Aku takkan memperdulikannya. Aku akan menerjunkan tubuhku bersamaan dengan jatuhnya bom itu.
FITRI : Sungguh mengesankan. Itulah mimpi yang diinginkan setiap pahlawan, setiap pejuang.
PONCO : Aku hanya berbuat. Dan rasanya hal itu terlampau konyol untuk dipakai sebagai syarat menjadi pahlawan.
FITRI : Aku hanya berpikir, bahwa ada perbuatan yang lebih bernilai dari itu. (MENUNGGU. PONCO MENATAPNYA SUNGGUH) Hukum tembak.
PONCO : (MELENGOS DAN TERHENYAK) Kau adalah pejuang sejati, Fitri. Kau cerdas.
FITRI : Dua tahun aku ikut dalam perjuangan ini. Aku pikir dan merasa, terlampau murah membayar keterpaksaan kita membunuh seseorang dengan melenyapkan hidup kita sendiri. Dengan hukuman tembak di depan para marchausee kurasa kita telah dua kali memberi arti.
PONCO : Aku bisa menghayati waktu di antara dua saat itu. Segalanya menegaskan. Bagi sebuah revolusi, tak ada lagi arti setengah hati.
FITRI : "Tak ada kata tengah dalam sejarah...Mesti ke tepi, untuk berarti. Siapa pun pelaut ia mesti berpaut Atau, dalam sepi ia kan mati."
PONCO : Kau masih ingat baris-baris itu, Fitri.
FITRI : Ma'af. Aku tak berhasil menyembunyikan perasaanku sendiri. Kekhawatiran yang aku sendiri tak mengerti, mengapa ia mesti muncul pada saat seperti ini.
PONCO : Karena aku?
FITRI : Aku tak mampu menjelaskannya, Ponco. Kau tak ada hubungannya sama sekali dengan ini. Kadangkala kesunyian yang ganjil menyergap malam-malamku. Aku merasakan sesuatu telah dengan sengaja kulenyapkan dari diriku sendiri. Sesuatu yang sangat berharga.
PONCO : Aku menghormati apa pun yang paling berharga dari seorang perempuan.
FITRI : Bukan, Ponco. Aku bukan objek yang baik untuk sebuah puisi.
PONCO : (TERTAWA KECIL) Kita tidak remaja lagi. Ini memang bukan masanya lagi, kau melempar bunga saat seorang pria berlalu di seberang pagarmu. (TERDIAM) Tapi... pakaianmu tampak indah hari ini, Fitri.
FITRI : (TERTAWA KECIL) Barangkali aku masih punya keinginan itu dalam bawah sadarku. (KERAS) Namun bisa kupastikan, ia telah hilang selama tiga tahun terakhir ini.
PONCO : Aku mengerti.

FITRI BERDIRI. HENDAK BERBUAT SESUATU. PADA SAAT ITU DARMO MASUK, BERSAMA WALI.

WALI : Aku belum melihat kawan kita satu lagi sedari tadi.
DARMO : Dia bertugas mencatat secara rinci kegiatan sehari-hari Residen itu. Berdasar laporan mata-mata kita. Dan mestinya siang ini laporannya sudah ia berikan padaku.
WALI : Kupikir ia seorang yang gesit.
PONCO : Pemuda yang menggairahkan, itu yang pasti.
DARMO : (KEPADA FITRI) Apa persediaan kopi kita sudah habis?
FITRI : Kurasa tidak. (BERDIRI)

TERDENGAR LANGKAH DAN PINTU DIKETUK DENGAN IRAMA TERTENTU.

DARMO : Tampaknya itu dia.

PONCO MEMBUKAKAN PINTU SETELAH MENDAPAT TANDA DARI DARMO. SUTRIS MASUK DAN LANGSUNG MEMANDANG KE ARAH WALI.

SUTRIS : Aha! Ini pasti Wali, saudaraku yang kutunggu. Gembira sekali melihat kau, Bung. Sudah banyak kudengar cerita tentang dirimu.
WALI : (TERSENYUM) Cerita apapun tak pernah sesuai dengan kenyataannya. Dimana-mana. (MENDEKATI SUTRIS) Senang bertemu kau, saudaraku! (BERJABATAN)
SUTRIS : (PADA DARMO) Sudah rapi tercatat dan dipersiapkan. Semuanya.
DARMO : Sehari atau dua lagi?
SUTRIS : Besok, tepat pukul empat sore, Residen itu akan datang dengan andongnya. Jajat sudah siap sejak malam ini di posnya.
DARMO : Bagus, terima kasih. Kita mulai saja, saudara-saudara. Ponco kau angkut peralatanmu. Juga kau, Sutris. Wali, tiap satu jam, setelah pukul 10 pagi besok, kau beri laporan padaku. Kau akan menjadi tangga komunikasi antara rekan-rekan kita di lapangan denganku di sini. (MEMANDANG SEMUA) Ada yang tak jelas? (PAUSE) Laksanakan!

SEMUA BERGERAK. PONCO DAN SUTRIS BERPANDANGAN.

WALI : (MENGHAMPIRI PONCO) Kau akan berhasil, Bung. (MENGHAMPIRI SUTRIS, MENEPUK PUNGGUNGNYA)
PONCO : Selamat tinggal, saudaraku. Selamat berpisah, Fitri.
FITRI : (TERISAK) Tidak, Ponco. Kau salah kata. Seharusnya, sampai kita berjumpa lagi.
PONCO : (TERSENYUM KECUT) Merdeka!
SUTRIS : Merdeka!
SEMUA : Merdeka!!

KELUAR. GELAP.

0 comments:

Post a Comment