Wednesday, January 7, 2009

Pameran Enam Perupa , Merebut Ruang dari Sejarah Ruang


Sebagai sebuah bahasa, ekspresi atau alat ungkap manusia, lukisan atau karya rupa memiliki model dan sistemnya sendiri. Sistem atau model yang bagi Frederic Jameson memiliki sejarahnya sendiri, dan sejarah itu tidak lain adalah sejarah pemikiran. Di dalam sejarah inilah, manusia ditemukan. Tepatnya: menemukan dirinya sendiri.

“Manusia itu seperti bahasa,” kata Julia Kristeva yang kemudian melanjutkan, dalam bahasalah terjadi demistifikasi secara paripurna dari kenyataan manusia yang sebelumnya tenggelam dalam kepurbaan. Dengan bahasa itu pula, sebenarnya manusia memutus rantai penghubung eksistensialnya, secara sangat revolusioner dan permanen, dari kenyataan animalistiknya di 35-40.000 tahun yang lalu, di kala manusia Nanderthal, homo sapiens terakhir lenyap.
.Dalam bahasanya sendiri, bahasa yang piktoral, sebuah lukisan/rupa kemudian menjelaskan diri/manusia dan semua gejala alam (juga budaya dan adab) yang mengitari dan mengikutinya. Lewat apa yang disebut kode-kode figuratif dalam istilah Schefer di bukunya, Le langage visible: la peinture, sebuah karya rupa mencari dan menciptakan hubungan dengan kenyataan.
Ruang kenyataan –yang semula begitu mistis—dituang ke dalam garis, warna dan ruang rupa, serta menciptakan dialog atau diskursus di antaranya, perlintasan bahkan konflik di antar penanda dan unit-unit semantik dan sintaksisnya, sehingga akhirnya ia muncul menjadi teks yang berbeda, yang kembali menurut Schefer, menjadi sebuah ruang kultural.
Pertarungan Obyektivasi
Dalam ruang baru inilah, masalah lanjut muncul, ketika sebuah lukisan atau karya rupa menjadi sebuah teks yang terangkat dari posisi figuratif/piktoral (bahkan dalam arti luas sebagai tanda-tanda ikonik), ia tidak lagi berposisi sebagai representasi langsung, mimesis dari kenyataan, namun “un simulacre entre-le-monde-et-le-langage”, menjadi sebuah kenyataan virtual yang berada antara dunia (kenyataan) dan bahasa.
Apa yang terjadi di wilayah simulakra ini, adalah sebuah proses obyektivasi (peng-obyek-an) ruang berdasar intensi atau pretensi para aktor (kekuas(t)an) yang ada di sekitarnya. Ruang kenyataan pun tidak lagi bebas, setidaknya bebas dalam (kodrat) dirinya sendiri; bebas dalam menentukan karakter, wujud, tabiat, tujuan dan pada akhirnya makna bagi dirinya sendiri. Ruang menjadi sebuah medan pertarungan obyektivasi, pertarungan kekuat(s)an –politik, ekonomi, agama, dsb—sehingga kerap ia hanya berposisi sebagai “tempat”. Sebuah etalase, dimana kita men-tempat-kan sesuatu (yang mungkin menjadi simbol hegemoni) kita di dalamnya.
Dalam perspektif ruang seperti ini, sebuah refleksi yang memancar ke berbagai dimensi kehidupan pun dapat terlihat. Betapa ruang-ruang sosial, politik, hingga ruang pribadi manusia, kini tidak lagi bebas menentukan dirinya sendiri. Ia sudah disempitkan, dibaku dan dibekukan, bahkan diawasi dengan ketat oleh para subyek yang menciptakan obyek-obyek itu. Dan akan sangat menggiriskan bila senirupa, sebagai salah satu penanggungjawab utama yang berjuang membebaskan ruang, ternyata justru tenggelam di dalam permainan itu, bahkan ikut “bermain” atau menjadi pelaku ikutan dari proses obyektivasi ruang (kebebasan) itu.
Dengan kegelisahan itulah mungkin serangkaian karya dari enam perupa Indonesia yang memenuhi O House Gallery, hingga 20 November 2008 lalu, dapat dibaca dan dimaknai. Made Wianta, Yani M, Sastranegara, Hanafi, Firman Djamil, Eko Prawoto, Hardiman Radjab, enam perupa dengan variasi basis dan disiplin, seperti ingin meneguhkan bagaimana ruang dan rupa dapat merangkai sebuah mutualitas yang segar, jujur, egaliter, terbuka, bahkan radikal.
Posisi Baru Tubuh

Instalasi “Jalan Setelah Mata” Wianta, yang menggunakan otot-otot besi yang lentur dan penuh tenaga, mengisi hampir semua lorong pameran, tanpa menyentuh dinding. Seperti sebuah penegasan: ia tidak membutuhkan matra bi-dimensional lagi untuk berada dalam isi, bahkan menciptakan ruangnya sendiri dalam isi (volume) ruang yang ada, hanya dengan garis-garis besi yang seakan menciptakan lebih dari satu teks, tapi sebuah textum, rimbunan teks yang tiada pangkal dan ujungnya.
Begitupun, kertas-kertas tisu basah yang dipilin begitu rajin dan disiplin oleh Yani, seperti garis-garis “hujan putih” alias “Titian” garis pikiran yang lunak dan rapuh, namun ternyata menembus rumputan, daun-daun, batang pohon hingga beton-beton ruang pameran. Membentuk sebuah pernyataan kebebasan sekaligus kekuatan (tak terkira) dari bagian terapuh dan terlunak kita: pikiran. Bahwa gagasanlah yang akan mampu menembus semua penjara obyektivasi dan pelbagai kepentingan yang bermain di dalamnya.
Memang demikianlah, gagasan dan pikiranlah yang berdiam dalam bahasa, yang kemudian menjadi motor bergeraknya manusia, berubah dan berkembangnya peradaban. Maka bermainlah mereka dalam kedalaman gagasan, bukan dalam sensasi kebutuhan dan pragmatisme. Sebuah ide yang coba dimainkan oleh Hanafi dalam beberapa lukisannya, tentang seorang perenang yang mencoba merengkuh batu, sebagai sebuah metafor keabadian yang hiper-pasif, dan hanya ada di kedalaman.

Lewat berbagai karya itu, ruang-ruang di galeri O House seperti menawarkan tidak hanya posisi baru bagi manusia, bagi tubuh yang mencoba masuk ke dalamnya. Tapi juga sudut pandang, angle, yang akan menentukan bagaimana posisi itu berayun, bermain atau dimainkan. Karya-karya Wianta, Yani, juga Eko Prawoto, arstitek yang membangun impresi garis-garis kuat lewat permainan jajaran bambu dengan refleksinya pada kaca, air, dan bayangan matahari, membuat sudut-sudut konvensional yang selama ini dipengaruhi oleh gravitasi dan arsitektur tradisional menjadi pecah.

Segala sudut, dalam derajat berapapun, kini memiliki posisi eksitensial yang sama. Seperti relativitas ruang dan waktu Einstein yang merapuhkan pemahaman sakral newtonian. Dan kita seakan dapat meletakkan mata dan kepala kita dimana-mana, dalam posisi apa saja –miring, tidur, terbalik, berputar arah, dan sebagainya—dalam kedudukan yang setara, egaliter, dan demokratis dalam makna ideal yang sebenarnya.

Bersama statement-statement kritis dari Firman Djamil tentang direnggutnya ruang tradisi dan budaya asmat dari ikon modernitas, atau “Fiat 1100-39”-nya Hardiman yang menghardik kekinian melalui daya hidup sebuah klasisitas sebuah sedan Fiat kuno, pameran “Ruang yang Datang ke Atas” ini pun menjadi semacam sebuah deklarasi kembalinya subyek-subyek di dalam ruang-ruang kehidupan kita.

Subyek-subyek yang seharusnya mengambil peran, menjadi aktor utama bagi pendefinisian-diri ruang hidup mikro dan makro kita. Ruang hidup yang selama ini bukan saja kita lupakan, tapi juga kita perdaya, ekploatasi, kita manipulasi. Di sebuah ruang yang membentuk sejarahnya sendiri, merebutnya dari sejarah dominatif yang hadir di seputar kita, di dalam kamar tidur, hingga ruang di dompet kita.

0 comments:

Post a Comment