Wednesday, January 7, 2009

Yang Hadir di Malam Takbir

cerpen Radhar Panca Dahana
HAL pertama yang tak hadir di bulan yang bagi banyak orang istimewa ini, terjadi di tanggal awal September. Bulan sembilan, baik dalam shio, rasi, posisi planet hingga warna dasar favoritku, adalah angka sempurna. Bulan yang tepat, antara lain untuk menghitung jumlah tabunganku selama sembilan bulan terakhir. Jumlah yang begitu hebat bersembunyi

Itulah salah satu kelihaianku: mendapatkan tempat persembunyian yang tak akan terduga. Di lubang itu, di balik kayu lantai yang rapuh di ruang kerjaku, kusisihkan pendapatan-pendapatan tambahan yang tak terdeteksi istriku. Kumpulan lebihan yang senantiasa berubah menjadi surprise: wisata lebaran, televisi baru, giwang emas, dan sebagainya.

Tapi kali ini ada surprise lain. Menjelang magrib, awal September itu, saat seisi rumah cermat menunggu adzan pertama ramadhan, ada sesosok bayangan mengendap dan berjongkok di lubang itu, di lantai rapuh itu. Tentu bukan bayanganku sendiri. Bayangan Manfuq, iparku, pemuda 25 tahunan, tiga tahun lebih hidup bersamaku. Betapapun bayangan itu bergerak sesebat setan, aku telah memastikan jatidirinya.
Sebagaimana kupastikan kemudian, lebih separuh angka tabungan itu lenyap. Dan bukan hanya angka, atau surprise tahunan yang lenyap. Tapi juga mimpi dan kebahagiaan kecil, senyum yang berputiksari istriku, plus asisten pribadi yang selama ini membelaku secara fisik: Manfuq. Pemuda itu kupulangkan segera ke kampungnya, sebelum ia sadar apa kesalahannya.

Sidrat, istriku, protes keras. Bukan melulu perkara ia harus menggantikan sepertiga pekerjaan rumah yang sebelumnya dilakukan Manfuq, namun lebih karena ia menganggap pengusiran adiknya itu sebagai penghinaan. Satu dari 30 lebih alasan yang ada di balik 134 kali protes yang selama ini ia lontarkan padaku. Tentu termasuk 29 kali tekadnya untuk meninggalkanku dan Bouraque, anakku; 16 kali tuntutan kompensasi cerai, 11 kali merusak barang (pintu, lemari, perabotan dapur, hiasan, kosmetik, entah apalagi). Dan tentu –dan terutama—27 kali ekspresi dendam, benci atau sekadar serapah pada Isamur, perawan yang lebih tujuh tahun kupacari dulu, perempuan yang ternyata melahirkan Bouraque.

Tapi semua absensi di awal bulan berkah ini, tak lebih berarti ketimbang sebuah peristiwa kecil. Terjadi kemudian, memasuki minggu kedua bulan sembilan.

JUM’AT, 08.30, langit kabur karena awan menggelap. Telepon berdering dan memberiku percakapan tak lebih dari satu menit. Hanya tiga kalimat kudengar dari moda komunikasi tradisional itu. Simpel. Tapi tidak akibatnya, tiga jam kemudian. Sebuah minivan baru hijau lumut, parkir di depan rumah. Seorang wanita semampai, kulit langsat, rias tebal dan rok pendek, masuk ke kamar Bouraque, tanpa kata-kata.

Ia membereskan semua barang Bouraque. Membangunkan anak yang masih tidur di hari sekolahnya yang telah libur. Setengah menyeretnya, wanita semampai itu membawa anakku keluar, dan hilang bersama minivan hijau lumut itu. Tujuh setengah menit hanya. Menit ke sembilan belas, Sidrat kembali dari belanja. Membereskannya dan menengok kamar tidur. “Kemana Burkie?” ia menyebut panggilan anak tirinya.
Tentu saja aku tak perlu menjawab. Melihat lemari pakaian, rak buku pelajaran, hingga kotak sepatu yang kosong, Sidrat segera merasa cukup memiliki alasan untuk menawanku dalam pengadilan di ruang mata dan pikirannya. Tak kurang dari sembilan pertanyaan –plus dakwaan, tentu—ia lontarkan untuk mendapatkan bibirku merapat dan mengeras. “Dimana, Burkie?!” Ia berteriak. “Pasti dia kan mengambilnya?!” Ia memvonis. Bibirku kering, kian mengeras.
Hingga kemudian ia menggebrak pintu kamar tidur. Bernyanyi dengan senggukan yang mengalun, kemudian melihat aku yang tetap kuncup kehabisan klorofil. Pada saat seperti itu, Sidrat mafhum, aku adalah tumbuhan yang takkan berkembang biarpun tak habis-habisnya disiram tuduhan dan makian.
Aksi berikutnya, mengesankan: ia memanggil Fuqahi, pembantu yang setia tujuh tahun terakhir merawat Burkie. Apa yang dialunkan Sidrat aku tak paham detailnya. Telingaku absen, karena beberapa syaraf sensorisnya mungkin terbunuh atau kebal. Tampaknya ia tengah melakukan kebiasaan terbaiknya: mencetak benak di kepala Fuqahi, pembantu setia itu bertanggungjawab pada hilangnya Burkie. Akhirnya Fuqahi –yang hanya memiliki dua kosa kata “ya” dan “tidak”—malah mendapatkan sebuah amplop penuh uang. Gaji terakhir, karena Sidrat memecatnya secara definitif.
Aku mengerti arah bola bilyar itu. Aku dibuatnya tersiksa tidak hanya karena absennya Manfuq, Burki dan Fuqahi di bulan baik ini, tapi lebih utama: aku menjadi tak berdaya, bahkan untuk mengangkat pantat yang mendorong tubuhku berdiri. Dan tak ada siapa pun di sini, rumah ini, yang mampu membantu. Kecuali perempuan itu, yang empat tahun ini menjadi istriku.
Dunia menyempit. Tapi bukan kehilangan dunia itu sebenarnya yang membuatku juga merasa lenyap. Tapi hanya sebuah kotak kecil yang berkata-kata. Ceritanya bermula di akhir bulan sembilan.

UNTUK pertama kali, aku berusaha sendiri mengatasi invaliditas sebagian dari kemampuan fisikku. Invaliditas yang membuatku hampir seperti daun-daun suplir, hidup dengan perawatan penuh disiplin. Sudah tiga tahun lebih, kematian beberapa organ ini, telah membuat beberapa perawat bosan meladeniku. Kecuali sebuah mainan kecil: telepon genggamku.
Dalam kesetiaan yang hiper pasif, alat itu memberiku dunia kecil, miniatur dunia besar yang puluhan tahun lalu menghidupiku. Aku membaca, mendengar, melihat, menikmati, bertukar pesan, menulis, mencari penghasilan, bahkan orgasme dengan kotak komunikasi tak lebih dari 80 sentimeter persegi itu. Di situlah memori seluruh kemanusiaanku kini berada. Mungkin keberadaanku sendiri.

Tapi kini aku tak dapat lagi nyenyak dengan dunia kecil itu. Sedikit-sedikit aku mesti menjangkau kembali dunia besarku. Mulai dengan menggeser pantat, mengangkat pinggul, dan menggerakkan tungkai. Hingga akhirnya aku bisa mencapai kloset untuk melepaskan hajat. Aku sudah menghapus gambar bibir dari wajahku sendiri. Juga bibir di hatiku, bibir di niatku untuk mengharapkan siapa pun memberi pertolongan.
Barangkali aku terkesan dengan kemajuanku. Tak sampai dua minggu, aku mampu memasak sendiri sarapanku. Memesan makan siang dan malamku ke rumah makan padang, cina atau sunda langgananku dulu. Memanggil Parnian, tukang ojek, membantuku mengambilkan uang di bank. Aku hidup.
Sidrat pun hidup. Tak terlampau kuperhatikan apa yang membuatnya tampak sibuk setiap hari. Sesekali kulihat makanan di meja. Entah dari mana, siapa memasak. Mungkin dia. Tapi entah untuk siapa. Tak pernah kutanyakan. Tak pernah kusentuh. Kuurus sendiri dunia besarku yang kecil. Kunikmati sendiri dunia kecilku yang besar.

ADZAN magrib sudah 29 kali berkumandang di bulan baik ini. Saat kudengar shalat witir dialunkan di surau, 15 meter dari rumahku, aku merasakan penyesalan begitu berat, mendadak sekali. Bukan...bukan sama sekali lantaran aku tak mampu melangsungkan ritus-ritus di bulan baik ini seperti banyak orang. Tapi melulu karena aku telah menghancurkan kemungkinanku untuk menjadi manusia seperti yang diinginkanNya. Sekurangnya, aku gagal memaksimalkan begitu banyak kemampuan kemanusiaan yang sejak mula Ia fitrahkan padaku.
Aku gagal menjadi manusia. Dan aku tahu risikonya. Kegagalan lain, satu persatu mendatangiku, seperti musafir yang tak jemu. Dengan ragu, aku menunggu, siapa lagi bakal bertamu.

Hari memekat. Aku hampir lupa membayar fidiyah.

HARI ke-30, bisa kurasakan kesibukan luar biasa. Dimana-mana. Di koran-koran, televisi, para tetangga, jalan depan rumah, hingga puluhan pesan elektronik di telepon genggam, dan jutaan manusia yang memenuhi pantura. Begitupun rumahku. Entah darimana, berbagai makanan dan kue-kue sudah terhidang di atas meja makan, meja tamu, dan meja tengah.

Aku lihat Sidrat seperti tukang parkir amatir, lari kanan-kiri, masuk dan keluar rumah. Membawa barang, menyiapkan barang, hingga rumah begitu meriah. Terlalu meriah. Aku tak paham, dan tak berusaha mengerti, untuk apa itu semua, untuk siapa. Aku punya kerja sendiri.

Sejak pagi menelepon Parnian. Memintanya memesan 40 boks makanan, ayam bakar komplit, plus buah dan kolak. Dengan sedikit persen, kuminta mengantarnya sebagai fidiyah ke sebuah panti asuhan yang cukup kukenal baik.

Tak tahu kenapa, Parnian membawa dulu 40 boks itu ke rumah dengan maksud memperlihatkan kualitas isi di dalamnya. Aku bilang tak perlu, aku percaya padamu, Nian. Namun terlanjur sudah. Sidrat muncul dari balik dapur, melihat tumpukan boks, mengamati Parnian yang mengangkutnya ke dalam angkot sewaan, mencermati tujuan boks-boks itu. Lalu ia memindahkan pandangannya ke arahku dengan kilatan pertanyaan yang luar biasa tajam: Parniankah yang kini berhak memasuki hidupmu?

Aku paham kemana tusukan pertanyaan itu. Namun coba tak kupedulikan. Aku menoleh ke arah lain, berjalan perlahan, memasuki kamar tidur, menutup pintu, dan berusaha melelapkan mata. Beberapa menit hening. Kesibukan luar biasa yang tadi terjadi sirna. Berganti dengung yang mengambang karena imajinasiku.

Lalu dengung berubah menjadi suara yang semula lirih dan terasa jauh, “Apa maksudnya? Apa maksudnya?” Suara Sidrat bergumam bersama benturan beling di tempat cucian. Aku pun tak mengerti: apa maksudnya? Lalu kembali hening. Sedikit lama, dan aku sedikit terlelap. Sampai suara benda jatuh mengagetkanku. Aku hendak bangun, tapi suara jatuh kedua terdengar, sedikit lebih keras. Dan akhirnya rasa kejutku sirna, karena suara jatuh itu kemudian seperti mitraliur terdengar.

Seperti musik cadas. Bunyi barang berjatuhan dan serapah, serta satu kalimat pendek yang kuat menerpa pendengaranku, “Aku tak kuat lagi! Aku tak kuat lagi?” Kurasa suara dahsyat berikutnya berasal dari taplak meja makan yang ditarik kencang, sehingga semua yang ada di atasnya berdebam dengan bebas di marmer putih lantai. Dan ah...tentu itu meja tengah yang terbalik. Suaranya kuat karena ia dibuat dengan jati kalimantan. Musik cadas itu, memintaku mengeratkan pejam mataku.

Kucoba periksa diriku. Pikiran, hati, mimpi atau kesadaranku terdalam, yang sembunyi. Hampa. Berkaca pada udara kamar, kulihat bola mataku. Hampa. Hingga sebuah suara, keras, sangat keras kurasa, terdengar di pintu kamar tidurku yang tampaknya tertimpa benda padat. Jantungku berdegup lebih kencang. Aku tahu, hipertensi kumat dengan dahsyat. Tak sadar aku sudah terduduk di tempat tidur.
Tapi hening setelah itu. Hening, cukup lama. Kudengar degup jantungku melambat dan akhirnya kembali normal. Tentu tidak dengan tensi darahku. Perlahan kudekati pintu. Kubuka pelan, dan kusaksikan tripleks penutup daun pintu itu hancur. Tepat di depannya, sebuah vcd player teronggok, remuk. Aku menatap sekeliling. Pemandangan itu ganjil dan aneh.
Bukan, ini bukan kiamat. Belum setidaknya. Yang jelas aku tidak mengenali lagi ruang yang beberapa saat sebelumnya kusebut “rumahku”. Berbagai benda menempati posisinya secara acak. Ada yang patah, berkeping, retak, tumpang tindih, berganti warna, basah, koyak, menggelinding tak henti: aku merasa dalam sinema-sinema murahan hollywood.
Sepi sekali. Aku mengerti: Sidrat sudah pergi. Definitif kali ini. Adzan ashar.

KEMBALI ke dalam kamar tidur. Aku berusaha mengunyah sepi seperti sashimi yang selalu menenteramkan lidahku. Tak berhasil. Aku menggapai communicatorku, main game. Kusudahi cepat. Kubuka lagi, melihat berbagai pesan elektronik. Kututup cepat. Kubuka lagi, memindai nama dan nomor-nomor kontak. Tutup. Buka: membaca draft-draft puisi. Tutup. Buka: tulisan dan cerpen-cerpen. Tutup. Buka: browsing, situs porno. Tutup!
Tak kurasakan, apa tubuhku terbaring, terlentang, telungkup, terduduk, atau: aku merasa hari malam tiba-tiba. Takbir bertalu, menyambut magrib. Bulan baik ini akan segera tuntas. Sebagian menghabiskan puasa dengan membakar mercon. Takbir itu seperti gamelan yang menggema dari sudut terjauh bumi. Aku belum membayar zakat. Aku belum mandi. Aku bangkit tanpa tersadari.
Tapi apa yang harus kuperbuat di kamar mandi. Aku tak tahu. Aku justru menyalakan telepon genggam, menghubungi entah siapa, hanya untuk mengucapkan, “Apa kabar?”, lalu kututup lagi. Tapi di situ masalahnya. Aku tak sadar bila tubuhku bergetar, gemetar tepatnya. Entah kenapa. Limbung seperti habis naik komidi putar. Aku coba meraih tubir bak mandi, tapi tergapai tepian kloset.. Tubuhku selamat dari jatuh, namun telepon genggam itu luput, dan meluncur tenggelam di kedalaman kloset.
Aku memandanginya beberapa lama. Menggapainya perlahan. Memandangi alat yang seakan hendak berteriak itu. Tapi ia bisu. Dan kuyup. Dunia kecilku. Aku tidak limbung lagi. Tapi naik naik komidi putar lagi, seperti kecil dulu. Sampai kusadar aku sudah terduduk di satu pojok kamar yang basah itu.
Apakah aku pun basah? Celanaku, tanganku, mataku, hatiku, dunia besar-kecilku? Aku tak tahu. Kamar itu begitu gelap. Segala absen. Kecuali takbir yang jauh. Jauh sekali. Tapi melekat di telinga hatiku. Suara beduk memberi latar yang empuk. Aku belum bayar zakat fitrah. Tapi gelap sekali. Aku tak tahu dimana tubuhku. Segalanya absen.
Cuma takbir. Takbir membawaku pergi. Menjumpai perempuan yang beberapa kali kutemui dan selalu memperkenalkan diri, “Rabi’ah, namaku.” Biasanya aku langsung menangis. Begitupun kali ini. Tapi ada yang tak hadir: airmata. Rabi’ah, aku malu padamu. Aku capek. Aku gagal menjadi aku. Aku mau tidur. Aku tidur. Tidak...belum. Ada sentuhan, seperti sebuah jari, di punggungku dingin. Mengejutkan seperti listrik, membuat mataku terbelalak tiba-tiba. Ah...apa di sana? Sesuatu yang lain.
Tak ada apa. Hanya pandang menjadi terang. Segala terang, tak ada apa. Hanya cahaya. Hanya terpana. Aku dimana? Ada yang hadir. Dan memesona. Lebarankukah tiba?
Pamulang, 30 Ramadhan 1429 H

1 comments:

Nathalia said...

cerita yang mengundang banyak pertanyaan-pertanyaan.. menggantung, membuat pembaca merenung :)

Post a Comment