Thursday, February 19, 2009

Adab Politik

Politik macam apa yang menyuguhkan gosip atau isyu kosong di headlinesmedia massa. Seakan publikasi gratis untuk partai. Padahal sebenarnya rakyat banyaklah yang membiayainya.

Radhar Panca Dahana

Beberapa kalangan menengarai pernyataan Mubarok, Wakil Ketua Umum Partai Demokrat, tentang kemungkinan Partai Golkar hanya akan memperoleh 2,5% suara dalam pemilu legislatif mendatang, adalah sebuah kesengajaan yang direstui elit partai. Ada sebuah skenario yang tertulis di baliknya. Spekulasi pun berkembang di seputar skenario tersebut. Salah satunya menyatakan, pernyataan itu disengaja untuk melihat reaksi Jusuf Kalla, yang karena memiliki pembawaan spontan –karena itu kadang kurang taktis—akan membuat Ketua Umum Golkar itu dalam posisi defensif. Secara psikologis ia akan terlihat nervous, karena ia pun tahu analisis sebagian pengamat tentang akan merosotnya perolehan suara Golkar. Kondisi itu akan kian melemahkan posisi Golkar dalam power bargaining dengan Partai Demokrat. Alhasil, Demokrat akan semakin mudah mendesakkan kepentingannya, atau bahkan “mengendalikan” Golkar.

Namun di luar perhitungan itu, sengaja atau tidak, pernyataan Mubarok dapat dipahami sebagai semacam psychological offensive yang memproduksi wacana politik tidak produktif, kurang sehat, untuk tidak mengatakan lemah moralitasnya. Karena wacana itu dimunculkan semata sebagai rumor yang kotor, lantaran tidak dilandasi data atau analisis yang adekuat. Semacam missile strike, dalam perang terbuka, yang tak memperhitungkan sasarannya mengenai sekolahan atau rumah yatim piatu.

Yang dikejar adalah efek atau efektivitas tujuan. Tak peduli dengan dampak, yang dengan mudah disebut “sampingan”. Dan itulah yang belakangan terjadi dalam kuali panas politik-demokrasi kita belakangan ini. Rumors atau gosip-gosip diproduksi dan berseliweran, hanya berupa impresi, dugaan, praduga, atau kiasan-kiasan yang involutif dan tak ada peduli pada usaha pendewasaan kultur politik kita.Maka lihat, dengar dan bacalah headlines media massa utama kita, yang dipenuhi oleh “tomat kuning”, “main yo yo”, “main gasing”, “A dan B berkelahi C tertawa”, dan berbagai kampanye negatif lainnya. Apa yang tidak diperhitungkan dalam usaha menggodok demokrasi dalam kuali panas politik ini adalah: posisi publik sebagai konsumen langsung dari produksi wacana-wacana di atas.

Berapa waktu yang dicurahkan publik untuk mencermati wacana kosong berisi nafsu-nafsu politik kaum elit itu? Berapa energi, ruang pikiran hingga kemampuan kreatif publik yang diboroskan untuk itu? Diboroskan elit yang mengira dengan itu mereka pun mendapatkan publikasi gratis. Gratis? Tidak, tentu saja tidak. Karena publiklah yang membayar itu semua. Membayar halaman-halaman suratkabar, time slot di TV dan radio, lewat iklan-iklan yang sebenarnya mendapat biaya dari publik.

Kitalah yang mengongkosi pesta itu, pesta demokrasi semata untuk kegembiraan para pestawan, sekitar hanya 40.000-an elit itu. Betapa mahal. Bayangkan satu propinsi saja, Jawa Timur, mengeluarkan ongkos (uang publik) Rp 800 milyar. Belum dihitung pengeluaran masing-masing kandidat, para pendukung, relawan, dan akhirnya publik luas yang ruang-ruang hidup mereka dimanfaatkan atau dieksploatasi oleh kampanye kandidat. Jika semua ongkos sosial dan kultural dihitung, satu propinsi itu bisa meminta ongkos publik 4-5 kali lipat dari angka formalnya; alhasil Rp 3-4 triliun. Bisa Anda bayangkan pesta di tingkat nasionalnya? Dan dengan biaya puluhan triliun, setara bujet beberapa departemen itu, demokrasi dan proses politik yang mengiringnya, memberi kita kompensasi beberapa wacana kosong yang hampir tidak peduli dengan proses atau fungsi pembelajaran yang inheren ada dalam kerja politik. Politik sebagai sebuah kultur, perannya dalam sejarah adalah juga melakukan semacam pemberadaban pada publik yang menjadi konstituen, menjadi subyek utama kerjanya.

Namun dengan “adab” politik yang berkembang di atas, fungsi itu berlangsung atau terjadi secara negatif. Publik tidak pernah bertambah cerdas, tapi justru menjadi kian konyol, asosial, licik, penuh prasangka, bahkan keji dalam menjalankan fitrah politisnya. Meninggalkan semua nilai utama dan luhur dimana sejak awal politik digagas manusia beradab.

Jika demikiran, betapa demokrasi sungguh menjadi produk impor yang sangat mewah, super maha. Semacam lamborghini bagi rakyat jelata: kebutuhan supra-lux yang harus dibeli oleh rupiah-rupiah dari tetesan keringat rakyat kecil kita. Jika hal ini dianggap fair, dianggap sebagai wajib ain bagi bangsa yang konon ingin modern, bahkan sebagai hal yang taken for granted, maka kita pun harus menerima logika: rakyat berkorban dan bekerjalah keras demi kepentingan dan kesejahteraan kami, para elit.

Betapa memilukan, jika janji demokrasi pada esensiya sudah berisi pengingkaran terhadap subyek atau tujuannya sendiri. Sungguh lebih menggiriskan, bila deviasi ini pada akhirnya rakyat banyak juga yang harus menanggung dan menambal luka yang dihasilkannya. Dan bila elit sudah tidak memiliki lagi sayap hati untuk mengubahnya, tiada lain, rakyat itulah yang tidak boleh berdiam diri. Ia harus bicara. Bergerak. Menentukan dirinya sendiri. Bagaimana? Kapan? Jangan paksa tulisan ini menjawabnya.

sumber: gatra, edisi 19 februari 2009

0 comments:

Post a Comment