Monday, March 2, 2009

Lima Pertanyaan Untuk Pemilihan

Barangkali media atau forum komunikasi virtual seperti Facebook yang populer itu bukanlah tempat paling tepat untuk mendapatkan kebenaran. Atau setidaknya menggambarkan kenyataan sesungguhnya.Namun media virtual paling terpakai di dunia itu dapat digunakan untuk melihat, mengetahui, dan menyadari bagaimana sebagian opini publik dan impulsimpulsnya berkembang. Tidak peduli,konon sukses Obama juga dibantu efektivitas informasi yang disebarkan via Facebook ke sekitar lima juta anggotanya.

Berbagai pendapat yang muncul di media itu, atas sebuah isu,kadang mengejutkan dan memberi kesadaran lain. Seperti saat saya mencoba menyodorkan beberapa pertanyaan sederhana seperti, “Apakah demokrasi di negeri ini harus diongkosi semahal itu?”; “Benarkah demokrasi itu pilihan satusatunya, bahkan given?”; “Jangan jangan demokrasi itu hanya semacam stiker,topeng,atau sekadar perban?”, dan lain-lain.

Jawaban-jawaban yang muncul sebagian nakal,menggelikan,konyol, dan mungkin terasa bodoh.Namun tak satu pun yang kekurangan nada serius di dalamnya.Hampir 100% dari para facebookers itu menjawab dengan— bila tidak sinis atau nyinyir— pesimistis bahkan tidak percaya sama sekali pada kata sakti itu: demokrasi. Ini mungkin hanya impuls. Tapi sekecil apa pun,dia tetap berharga,dan pantas direnungkan. Setidaknya untuk mereaksi perkembangan mutakhir dunia politik yang memanas karena mendekatnya pemilu. Pemilu, bukan kemenangan yang ada di puncaknya, kini seperti sudah menjadi tujuan dari keterlibatan tokoh-tokoh dan publiknya. Bahkan yang sadar,yakin,dan tidak bebal, mengetahui tiada potensi apa pun yang dimilikinya untuk menang,tetap ngeyel berpartisipasi dalam kompetisi ajaib ini. Pemilu, seperti lotre atau kasino, di mana setiap orang yang— sengaja atau tak—masuk ke dalamnya, tergiur dan terjebak mengikuti permainannya.

Berbekal hasrat yang sebenarnya dia tahu ilusif,hanya ilusi. Itulah yang terjadi, saat berbagai figur yang merasa dirinya tokoh, entah dengan wangsit atau dasar keberanian dari mana, mencatatkan dirinya sebagai calon presiden.Bukan hanya politikus tangguh, karbitan, mentah dan murahan, tapi juga pedagang/ pengusaha, praktisi hukum, pekerja sosial, aktor, pengangguran, hingga dia yang mengaku “kafir”. Apa yang umumnya mereka lakukan? Tipikal. Bahkan sangat sederhana. Menjual kebolehan dirinya, seperti penjual sepatu obral di pinggir jalan. Memamerkan kelebihan, jasa, atau pahala sosial yang katanya mereka miliki.Dan kita tahu,tidak lebih semua itu adalah sepatu obralan. Penggelembungan citra,untuk menggelembungkan nilai, lalu harga pada akhirnya. Syukur ada yang membeli atau tertipu.Jika tak ada,ya memang demikian realitasnya. Tapi siapa tahu?

Kalimat tanya terakhir di atas memberi indikasi penting dalam psikologi (masyarakat dan para “tokoh”) kita: memandang hidup tak kurang dari sebuah probabilitas yang tak membutuhkan statistik dan matematika kalkulus.


Melulu insting, intuisi, nasib baik, atau hoki.Persis gambling di meja kasino. Seperti orang tak menyangka PKS bisa menang di sentra PDIP dan Golkar (Jawa Timur dan Tengah),Dede Yusuf atau Rano Karno menang, atau bahkan SBY dahulu bisa terpilih jadi presiden. Kunci—katakanlah yang agak rasional—hanyalah pertanyaan: apa atau siapa yang dipilih? Adalah dia yang memiliki performa terbaik. Kemasan terbaik, yang memuaskan hasrat, mimpi bahkan ilusi konstituennya. Inilah masyarakat yang dibentuk oleh tradisi menonton atau visual di masa kini.Penampakan atau kemasan lebih penting dari (esensi) di baliknya. Maka, satu, tampilkan dirimu selembut dan seramah mungkin: senyum, belahan rambut rapi (kalau perlu ke kanan),busana terang,sikap rileks dan pandangan yang mengayomi. Kedua, jangan katakan yang buruk, apa pun, tentang diri sendiri, orang lain, apalagi publik (senegatif apa pun realitasnya).
Ketiga,gunakan semua media visual sebanyak-banyaknya, agar lubuk publik memendam kesan paling dalam padamu, ketimbang yang lain. Terus terang, ini resep seorang yang ingin jadi artis, selebritis, bintang sinetron misalnya. Karenanya tak heran, aktor sinetron Deddy Mizwar segera menangguk dukungan banyak partai,ketimbang ekonom kritis Rizal Ramli, misalnya, yang sudah begitu hebat berusaha melakukan penyadaran publik.


Banyak sebenarnya, orang yang cukup cerdas menyadari realitas publik seperti ini.Namun jangankan mereka prihatin dan berusaha memperbaiki, tidak hanya membiarkan, tapi justru mereka memanfaatkan. Kata sopan dari mengeksploitasi.Realitas publik itulah jawaban kedua dari pertanyaan yang harus diajukan bagi kualitas sebuah pemilihan (c/o demokrasi): siapa yang memilih? Mereka yang memilih adalah masyarakat yang telah dihancurkan dasar dan standar-standar penilaian mereka atas mutu hidup yang sebenarnya.Mereka yang digelapkan dari orientasi, kecuali pemenuhan kebutuhan yang hyper-pragmatis, luxuries, dan melulu leisure. Mereka yang kalah dan diperkosadankinidimintamenjadipemilih, aktivis demokrasi. Sistem yang tidak lagi memberikan pilihan untuk dirinya sendiri, karena itu sebenarnya menentang dirinya sendiri,demokrasi. Sistem yang paradoksal atau menyimpan pertentangan dalam diri itulah jawaban untuk pertanyaan dasar ketiga: kenapa memilih? Karena harus memilih.Namun paradoks itu sampai pada tingkat yang akut: harus memilih tanpa ada pilihan.

Pilihannya buntu hanya pada dua opsi: memilih atau tidak memilih. Dengan kondisi, pilihan kedua di-judge sebagai deviasi,menyalahi aturan, negatif, bahkan diharamkan. Pilihan itu tak bisa berkembang menjadi tiga, empat, dan seterusnya. Atau lebih esensial: tidak ada pilihan untuk memilih cara, sistem, atau logika pemilihan itu sendiri. Demokrasi itu sendiri. Ia akan menjadi aib sejarah, dosa adab. Hal inilah yang membutakan kita dari kemampuan dan kemungkinan menjawab pertanyaan di tingkat berikut: apa sebenarnya pemilihan atau pilihan itu?

Ketidakmampuan tersebut sungguh akan membuat kita asing pada pertanyaan yang lebih substansial, pertanyaan kelima: apakah hidup ini sebuah pilihan atau yang (telah) dipilihkan? Pertanyaan purba itu sudah lenyap dari saku atau berbagai gadget penyempurna hidup kita saat ini. Tak ada lagi kontemplasi mendasar tentang hidup kita saat ini.Yang ada adalah realitas yang harus—tak bisa tidak— diterima.Tak ada pilihan lain. Dan kodrat manusia, yang mendapat sedikit anugerah sifat jaiz dari Penciptanya, tak lagi bekerja.Manusia telah membekukan dirinya sendiri. Merobotkan dirinya sendiri. Membuat dunia, semesta, dan hidup yang bergulir bersama waktu di dalamnya, menjadi begitu sempit.Semacam tempurung virtual, hologram, yang merekayasa satu dunia, semesta, hidup, waktu,bahkan tuhannya yang baru. Betapa mahal,ongkos kultural (cultural cost) bahkan spiritual cost yang harus kita bayar ini.Yang tak tertanggungkan oleh anak cucu.

Wajar bila bumi, ibu kehidupan kita, menangis. Dan air matanya membuat kita tak berdaya.Tapi mana peduli kita?

Radhar Panca Dahana
Budayawan

sumber: Koran Sindo 27 Februari 2009

1 comments:

Anonymous said...

tes aja kotak koment baru dibuat

Post a Comment